Share

Binti Raharjo
Binti Raharjo
Penulis: Wahyu Hakimah

Prolog

Wati bergerak pelan, menahan napas ketika ia berhasil mengelabui Mbok Bariyah, perempuan paruh baya yang didaulat sebagai pengasuh sekaligus pembantunya. 

Perempuan tua itu kini terkapar karena obat tidur. Sebenarnya, Wati juga tak tega. Sosok tua itu terlampau baik. Bagaimanapun juga, meski baik, dia adalah suruhan Singgih. Wati harus berlaku tegas, agar hidupnya selamat.

Dua bulan yang lalu, atau bisa dibilang ketika usia kandungannya enam bulan, Wati mengetahui sebuah rahasia. Rahasia yang seharusnya tidak ia dengar. Namun, itulah nasibnya, lewat skenario Tuhan. Perempuan itu akhirnya tahu juga, apa niat sebenarnya Singgih menikahinya.

Singgih hanya menjadikannya tumbal.

Wati sejak awal memang sangsi, bagaimana mungkin Singgih yang tampan, punya jabatan tinggi, setiap penampilan terlihat mahal, perlente, mengatakan minat pada dirinya yang hanya seorang pelayan restoran. Ia yang hanya seorang perempuan  berparas biasa saja. Kecantikan orang kampung, meski Wati memang berkulit putih cerah. Namun, perawakannya biasa, tidak tinggi, bahkan Wati merasa rendah diri karena memiliki betis yang senantiasa bengkak karena terlalu banyak berdiri. Pekerjaannya yang hilir mudik melayani pelanggan restoran tempatnya bekerja.

Saat itu, ketika ia sedang beristirahat, memijat kakinya, Singgih mendekat lalu keakraban tercipta hari demi hari, minggu demi minggu. Saat perkenalannya telah sampai bulan ketiga, Singgih melamarnya. Resmi, di hadapan kedua orang tuanya, di pesisir Cirebon.

Semua mata tetangga tertuju padanya. Mereka saling berbisik. Mengumamkan syak wasangka. bagaimana mungkin, Wati yang sederhana, wajahnya jauh dari ayu bisa menggaet lelaki dari ibukota? Bahkan, barang belanja dan hantaran sebanyak tiga pedati, seandainya masih ada pedati di zaman itu. Yang jelas, sangat banyak. Tentu saja, hal itu menyilaukan pandangan semua penduduk kampung di kawasan pinggiran itu. Mereka hanyalah nelayan miskin. Seperti kebanyakan penduduk di sana yang mencari ikan atau menjadi petani garam.

Wati mendengkus penuh iba. Ratapan hatinya menerbitkan setitik air mata. Ia mengelus perut buncitnya, berbisik lirih, "Kamu akan aman, Nok."

Entahlah, meski dia tidak tahu sebenarnya, apakah bayinya nanti lelaki atau perempuan. Namun, di sudut hatinya, Wati merasa yakin, bahwa anaknya perempuan. Anak perempuan yang cantik, kuat menghadapi segala cobaan, marabahaya yang akan menghadang ke depan. Meski bahaya itu tak kasat mata. Tak dapat di indra kedatangannya.

Tas kecil yang berada di ribaannya itu, ia pilin pelan. Tas mungil yang hanya memuat beberapa lembar pakaian juga beberapa perlengkapan bayi. Wati mengusap sudut matanya, ada setetes lelah yang mengalir di sana semakin menderas, tetapi ia harus menguatkan diri.

Saat berada di metromini tadi, beberapa orang melirik penuh kecurigaan. Melihat perempuan dengan perut sebesar  tempayan air, di malam yang telah larut, tentu saja terbersit rasa curiga.

Wati akan lari jauh. Bukan ke Astanajapura. Karena tempat itu pasti yang akan dituju Singgih esok harinya ketika mendapat laporan dari Mbok Bariyah, mengenai dirinya yang raib.

“Gadung! Gadung! Gadung!”

Kernet metromini melaung ketika mulai memasuki daerah Cipinang. Sebentar lagi akan sampai ke Terminal Pulo Gadung, dan kemungkinan metromini tersebut tidak akan masuk ke dalam terminal.

“Gadung, Mas!”

 “Gadung, kiri! Ibu hamil … ibu hamil.”

Wati melangkah hati-hati. Ia menengok ke kiri lalu ke kanan, memastikan tidak ada kendaraan dalam jarak dekat yang akan melintas. Terminal terbesar di Jakarta itu tetap sibuk meski jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lebih. Wati melihat beberapa kios mulai tutup. Ia mencari jalur bus lintas Sumatera.

Perempuan muda dengan perut buncit itu patut bersyukur, lumayan banyak bus yang ng-team di sana. Ia bergegas menuju tempat menjual tiket, yang sudah tutup. Wati hampir mati lemas. Ia, tidak mungkin bersembunyi di Jakarta. Namun, tiba-tiba, seorang calo menyeretnya ke dalam bus. 

Setelah menyelesaikan pembayaran, dibantu seorang kernet ia berhasil melabuhkan diri pada tempat duduk nomor tiga dari  sopir bus mengemudi.

Lagi-lagi, Wati mendesahkan kesyukuran. Meski bus belum berangkat dan menurut calo yang menjual karcis baru akan bertolak sekitar satu jam lagi.

“Mau ke mana, Mbak?”

Wati sebenarnya enggan berbasa-basi pada perempuan di sampingnya. Lebih tepatnya, pada siapapun. Tujuannya hanya satu, rumah teman yang dulu pernah menjadi rekan kerjanya saat di restoran. Ia malas harus mengatakan tujuannya, pada orang asing. Meski tidak harus secara detail mengatakannya. Entahlah, ia malas. Dia hanya ingin memejamkan mata lalu mengenyahkan ingatannya tentang Singgih enyah.

Akan tetapi, perempuan itu akan menjadi teman seperjalanannya menyebrangi Selat Sunda menuju Pulau Sumatra. Wati tidak boleh gegabah.

"Terminal Rajabasa, Mbak.”

“Ohhh ….” Perempuan itu manggut-manggut. “Mau lahiran di sana?”

Wati mengangguk kecil. Merasa mual. Yang jelas dia merasa tidak enak kalau tidak menjawab, takut terlepas bicara.

“Lampungnya, mana?”

“Dekat situ, Mbak. Sekitar Terminal. Pagar Alam.”

“Gaduh, sama suami?” Selidik perempuan itu.

Wati memberengut. Perempuan di sampingnya akan terus menerornya dengan setumpuk pertanyaan. Dia mengendurkan sandaran duduknya, agar lebih nyaman.

“Mbak tau orang pintar?” tanya Wati lirih.

“Heh, orang pintar?” Perempuan itu sedikit mengernyit. 

"Iya."

“Dukun atau Kyai? Maksudku, mau ke Lampung itu, mau nyari orang pintar?”

Wati merenungi jari-jarinya, dia memutar cincin kawin di jari tangannya yang mulai membengkak. Lalu pandangannya kembali ke depan, memandang punggung kursi di depannya.

“Saya mau melepaskan diri dari ilmu hitam. Dari guna-guna.”

Perempuan itu terbelalak. Lalu menggaruk kepalanya. Dia merapikan rambutnya yang keriting di bawah, sedangkan pangkal rambutnya terlihat hanya bergelombang. Mungkin obat keritingnya sudah habis. Perempuan itu cepat-cepat menyimpul rambutnya menjadi gulung sekenanya. Sulur-sulur rambutnya sebagian mencuat keluar.

“Ilmu hitam seperti apa?”

Wati menoleh ke luar. Bus yang mereka tumpangi mulai bertolak keluar terminal. Lampu-lampu yang berwarna kuning seakan cat air yang tumpah, meleleh, mengabur ketika laju bus kian bertambah. Dia menghadap perempuan di sampingnya, meski pergerakannya terbatas.

“Mbak, mau menolong saya? Sebagai sesama perempuan.”

Perempuan itu menjulurkan tangannya, “Aku, Lasmi.”

“Aang.”

Wati memilih mengenalkan diri sebagai Aang, nama panggilan kedua orang tuanya. Dia menceritakan semuanya. Sebab kenapa, berusaha lari dari rumah suaminya yang tampan dan kaya. Lari sejauh mungkin. Bukan karena takut mati. Toh setiap yang bernyawa pasti mati, tetapi dia tak rela harus mati konyol. Mati karena menjadi tumbal agar anak dan istri tua Singgih tetap hidup.

Ya, Wati baru tahu dua bulan yang lalu. Singgih menikahinya untuk mengalihkan sebuah kutukan turun temurun.

Jin penunggu keris leluhurnya. Perjanjian dengan jin yang berwujud Kera Putih. Itulah jawaban mengapa dia selama ini senantiasa mimpi di datangi sosok itu. Ada yang bilang penunggu rumah yang ditempatinya. Akan tetapi, ketika dia bertanya pada Singgih, itu hanyalah mimpi, sebuah bunga tidur.

Tentu saja Wati merasa tawar hati

Setiap malam dia didekap rasa takut karena makhluk itu seperti ingin mencumbunya. Wati bahkan pernah berniat memukul makhluk itu dengan sebilah tongkat. Namun, ketika bilah itu dia angkat tinggi-tinggi, ada suara menggelegar yang membuatnya terduduk lemas, menggigil: kalau kamu pukul, suamimu akan mati.

 Iya, sangat jelas. Itu yang terjadi dalam mimpinya.

Singgih menikah dengan perempuan yang sangat dia cintai. Telah memiliki dua orang anak perempuan. Singgih masih ingin memiliki anak lagi. Anak laki-laki. Namun, seorang pintar yang menjadi kepercayaannya mengatakan kalau dia tidak mencari galang ganti, istrinya akan mati membawa bayi kecil itu. Bayi laki-lakinya. Keadaan belum benar-benar aman, sampai ada nyawa pengganti. Yaitu, bayi perempuan lain.

Lasmi meremas jemari Wati lembut.

Entahlah, mendengar cerita Wati, meski saat bercerita perempuan muda itu tanpa berurai air mata, dia merasa iba. Dia mengangguk, menyalurkan kekuatan dan dukungan dengan genggaman erat nan hangat.

“Bismillah, Ang. Kamu dan anakmu pasti selamat. Lepas dari kutukan itu.”

“Benarkah bisa selamat, Mbak?”

“Bisa! Kamu harus punya tekad kuat. Ikhtiar yang tepat. Semua akan bisa kita kalahkan termasuk rasa takut itu.”

Wati mengangguk. Dia, kembali mengelus perutnya. Semoga, ikhtiar yang sedang dia usahakan berhasil. Meskipun dalam sudut hatinya ada rasa nelangsa, relung jiwanya porak-poranda.

Iya, karena dia terlanjur jatuh cinta begitu dalam pada Singgih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status