Lelaki seram itu dengan telaten mengobati sikut ku, sebenarnya tidak seberapa hanya sebuah luka kecil karena pecahan kaca dari lemari yang dia lempar vas bunga.
Aku masih belum berani menatapnya. Lelaki ini sungguh tak bisa kutebak."Benarkah kamu sangat takut melihatku?" Aku mengangguk tanpa melihatnya. Rasanya sudah tidak tahan sekali beberapa hari saja bersamanya.Lelaki itu meletakkan kembali peralatan p3k ke meja lalu kembali mendekatiku, tanpa aba-aba apapun dia memelukku."Aku hanya takut kamu pergi. Cukup disini saja dan aku janji tidak akan menyakitimu lagi." Entahlah aku sendiri tidak bisa mempercayai ucapannya. Lebih baik sekarang untuk tidak mengucapkan apapun karena hanya akan memancing emosinya saja. "Mengerti?" Aku mengangguk, lalu tuan Marcell membetulkan posisi selimutku.Vika datang untuk mengantarkan makan siang. Tuan Marcell gegas mengambil alih nampannya dan segera mungkin memberi isyarat pada Vika untuk keluar.Kali ini lelaki yang seram itu mulai menyuapkan makanan pada mulutku dan pastilah aku menurutinya karena takut untuk menolaknya tetap dengan mata yang masih tertutup."Buka matamu, cepat!" Perintahnya membentak, dengan sangat berat kuturuti saja untuk membuka mata.Dia mencengkeram daguku kuat memaksaku untuk menatapnya. Aku yang mendapati perlakuan kasarnya lagi hanya bisa menangis tanpa suara."Tuan kenapa sangat suka menyiksa saya seperti ini? Kenapa tidak melempar vas tadi pada saya?" Aku masih menangis. Lelaki itu malah semakin kuat mencengkeramku."Haaaargh!" Semua perlengkapan makan diatas nampan dia lempar kesembarang arah. Sebagian pecah mengenai tanganku. Melihat darah dari pecahan piring itu, dia langsung melepas cengkramannya lalu meraih tanganku. Aku masih menangis."Bukankah baru saja anda berucap tak akan lagi menyakitiku?" Kuhempas tangannya kasar lalu menyibak selimut yang dia kenakan untukku tadi. Berjalan melewati pecahan piring itu tanpa peduli perih pada telapak kaki yang mungkin terluka."Selena!" Baru kali ini dia menyebut namaku, tapi aku tak mempedulikannya dan tetap berjalan menuju kamar mandi.Mengunci pintu kamar mandi dari dalam lalu menyalakan shower untuk mengisi bathroom dan langsung masuk kedalamnya. Lagi, tak kupedulikan gedoran pintu dan teriakan lelaki itu.Air ini sudah bercampur darah yang disebabkan pecahan piring yang menancap kakiku. Lukanya tak terasa lagi dibanding keyakinanku untuk mengakhiri ketakutanku ini.***"Selena." Ucap suara yang ternyata berasal dari Vika. Mata ini rasanya berat sekali untuk dibuka, ruangan yang sangat berbeda dibanding kamar mewah yang kutempati sebelumnya. "Syukurlah kamu sadar " dia memelukku yang posisinya masih terbari diranjang.Ruangan bernuansa putih dan sebuah kantong infus yang teegantung diatasku. Bisakah kukatakan bahwa ini seperti ruangan rumah sakit?"Kamu tau bagaimana paniknya tuan Marcell saat mendapatimu tenggelam dibath up." Wanita itu menangis sambil menceritakan peristiwa yang kulewati. Aku hanya mengela nafas panjang, seharusnya dia tak perlu menolongku. "Selena, kamu baik-baik saja?""Menyadari diriku masih hidup artinya tidak akan baik-baik saja." Ucapku lemas. Setelah ini pasti akan banyak kesakitan yang akan aku rasakan dari lelaki yang katanya sudah menolongku itu."Tuan Marcell tidak akan menyakitimu Sel. Percayalah padaku." Sebenarnya setiap kali Vika berucap seperti itu membuatku muak saja. Bagaimana bisa mewajarkan sikapnya selama ini."Tapi Vika, kamu tidak akan meninggalkanku disini sendirian bukan?""Setelah tuan Marcell selesai dengan pekerjaannya dan datang kemari artinya aku harus pulang juga." Aku gegas menggeleng dan meraih tangannya."Aku tidak mau bertemu dengannya lagi." Rasanya aku sudah sangat takut kala Vika mengatakan tentang kedatangan lelaki itu."Dia tak mungkin menyakitimu." Bagaimana meyakinkan wanita didepanku ini bahwa tuannya sangatlah kejam.Dalam ketakutan, sosok yang tengah kita bicarakan sudah muncul dari balik pintu. Kali ini dia masih mengenakan setelan jas lengkap. Aku segera beringsut untuk emnutupi tubuhku dengan selimut.Vika membelai punggungku lalu beranjak pergi. Ingin sekali berlari untuk ikut pergi bersamanya tapi lelaki itu masih berdiri diambang pintu."Bagaimana keadaanmu?" Aku tak berani menatapnya. Dia segera mendekat, duduk dihadapanku. "Kenapa kamu tak pernah menjawab pertanyaanku?" Kali ini nadanya mulai meninggi.Aku hanya dia menundukkan kepalaku. Bagaimana kalau dia menyakitiku lagi, "Kenapa senekat itu untuk menjauh dariku?." Kini dia mulai menurunkan suaranya, mengusap kepalaku pelan. Lalu beranjak lagi, aku mengintip dari celah selimut ternyata mengambil makanan untuk kemudian dia bawa lagi kehadapanku."Kamu harus banyak makan, lihatlah tubuhmu hanya berbalut kulit menutupi tulang. Apakah bibimu tak pernah memberimu makan?" Setidaknya aku tak pernah ketakutan saat tinggal bersama bibi dibanding setiap hari bertemu dengannya. "Cepat makan, sebelum aku berubah kasar padamu!" Mulai kubuka selimutku, menerima nampan yang dia berikan lalu menyuapkan makanan kemulutku sambil menahan tangisku."Jangan pernah berbuat bodoh seperti itu lagi, atau aku sendiri yang akan menghabisimu." Aku mendongak kearahnya, matanya menatapku."Kalau saya melakukannya lagi apakah artinya tuan akan membunuhku?" Kuberanikah diri bertanya namun tak dijawab olehnya. "Baiklah akan saya ulangi lagi agar tuan segera membunuhku." Aku kembali fokus makan, tapi tangannya sudah menarik rambutku."Sudah kukatakan jangan menantangku.""Tuan tau jendela itu? Saya bisa saja melompat kebawah dan semuanya berakhir." Melupakan takut untuk menantangnya. "Baru beberapa hari saja hidup bersama tuan sudah sangat menyakitkan." Tangannya kini melepaskan jambakan dan berganti membelai kepalaku. Tanpa berkata lagi dia beranjak pergi keluar kamar.***Sejak terakhir bertemu tuan Marcell, dia belum lagi menampakkan diri lagi. Setiap hari Vika yang menungguku dirumah sakit hingga saat ini diperbolehkan pulang."Aku ingin pulang kerumahku sendiri." Vika menggeleng."Tuan sudah memintaku untuk mengajakmu pulang kerumah." Baru saja berfikir untuk membebaskan diri, beberapa pria tegap bersetelan hitam-hitam sudah masuk kedalam. Mereka menjelaskan sebagai utusan tuan Marcell untuk menjemputku.Sesanpainya dirumah mewah ini, Vika menemaniku masik kedalam kamar yang ternyata sudah banyak berubah. Semua furniture telah berganti menjadi berbahan kayu. Tak bisa menemukan kaca kecuali cermin elastis yang sepertinya bukan terbuat dari kaca. Kejutan apalagi yang dibuat oleh tuan Marcell."Istirahatlah!" Perintahnya kemudian beranjak keluar. Aku berjalan pelan menuju ranjang karena kedua kakiku masih berbalut perban. Benar kata Vika aku harus beristirahat untuk mempersiapkan diri menyambut siksaan tuannya itu.Aku memilih duduk diranjang saja hingga suara pintu terbuka yang bisa kupastikan adalah sosok menyeramkan itu. Hanya bisa menghela nafas panjang untuk mengatur ritme ketakutanku.Tuan Marcell berjalan mendekat dan duduk disebuah kursi yang memang diletakkan disebelah ranjang.Melihatnya hanya diam saja dan melihatku, membuatku merubah posisi untuk tidur dengan selimut yang kutarik sampai menutupi kepalaku."Aku akan menuruti semua kemauanmu, tapi berjanjilah tidak akan pergi""Sel apakah kau masih takut denganku?" Aku hanya diam saja mendengar pertanyaan yang keluar darinya. "Sel, masih seramkah aku untukmu?" Aku menggeleng dengan lambat, senyum yang awalnya mengembang berubah raut sedikit kaku. Apakah lelaki ini akan marah lagi?"Tuan..." Tuan Marcell menggeser duduknya untuk menjauh dariku, entah kenapa aku justru merasakan desiran yang begitu menghujam perasaanku. "Maksudku bukan begitu." Nafasnya terdengar berat, wajahnya dipalingkannya tanpa melihatku. Aku yang masih memaku ditempatku ini mulai merasakan ketakutan bila lelaki ini akan memunculkan sifat tempramentalnya. Tanganku saling bertemu diatas pangkuanku, mencoba mempersiapkan diri untuk menyambut keadaan bilamana tuan Marcell benar-benar akan marah padaku. "Sel, aku tak tau bagaimana caranya membuatmu tak takut lagi. Tapi selama kamu masih tinggal disisiku selama itu pula aku akan berusaha untuk menaklukkan amarahku." Tuan Marcell mendekat lagi
*"Hei!" Teriak pemuda yang sepertinya ku temui beberapa hari lalu. Aku hanya menoleh kemudian kembali melanjutkan jalanku dan memilih untuk mengabaikannya saja. Baru saja beberapa langkah saja, tangan itu sudah berhasil menarikku untuk ikut duduk ditempat yang biasa kugunakam untuk melepas penat. "Kenapa?" Aku mencoba melepaskan eratannya, pemuda bermata biru itu hanya memaku didepanku dan belum mengucapkan sepatah katapun. "Kenapaaaa?" Aku menggeram. "Anggap saja ucapan terimakasih." Dia memberikan sebatang coklat seperti yang biasa dibeli teman-temanku. Melihat dia pergi aku membiarkannya saja, karena pandanganku kini hanya berfokus pada coklat yang sepertinya sangat enak sekali. Sudah lama aku ingin memakan voklat ini, tapi selalu alasan uang yang membuatku tak bisa merealisasikan keinginanku sendiri. Setelah memghabiskannya aku segera pulang, berjlana dengan riangnya menuju rumah bibi yang berjarak tak cukup jauh dari lapangan ini.
Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaannya. "Tuan tak akan meninggalkanku ditengah jalan lagi kan?" Mengingat kejadian kapan lalu saat dia meninggalkanku dipinggiran laut yang jauh dari rumah. Tuan Marcell menggeleng lalu membelai ujung kepalaku, sungguh hangat sekali sikapnya yang membuatku mengembangkan senyum untuknya. Nampak tuan Marcell melirik kearah arloji dipergelangan tangannya, aku hanya diam saja seraya mengamati sekitar. "Selena?" Suara dari sosok lelaki yang sempat kutemui diswalayan waktu itu. Menyadari kehadiran Mattew, tuan Marcell gegas mendekatkan posisi duduknya untuk lebih mendekat. "Dengan siapa Matt?" Mencoba berbasa-basi dengan mengamati gerak gerik tuan Marcell yang masih bersikap biasa. "Bersama temanku, oh ya semua teman sekelas kaget ketika aku memberi kabar bahwa kamu sudah menikah dan tinggal sekota denganku." Aku menelan saliva yang terasa berat, seandainya bisa saja kukatakan bahwa lelaki disebelahku ini bukanla
Tuan Marcell hanya memandangku dengan lekat, manik matanya yang kebiruan terlihat jelas bahkan rahangnya yang biasanya mengeras itu nampak begitu tegas. Aku bisa merasakan degup jantungku sendiri yang tak beraturan."Sel?" Aku menelan saliva mendengar suara seraknya. "Bolehkah aku menciummu?" Tanpa bisa menjawab pertanyaannya langsung menutup mataku seolah memberi kesempatan padanya. Sosok itu sudah menempelkan bibirnya pada bibirku. Fikiranku sudah berkelana dan membayangkan lebih tapi nyatanya dia langsung menarik bibirnya lagi. Ketika kubuka mata untuk melihatnya sudah beranjak didepan jendela memandang kearah laut. Aku mendecah kesal. Apalagi yang akan kuperbuat kali ini, menuruti kekecewaan dengan melanjutkan membersihkan ranjang yang masih belum kubereskan. "Sel." Kembali dia mendekat, dengan cepat aku langsung menarik selimut yang akan ku lipat tadinya. Memasang badan untuk berbaring diranjang dan menutup selimut sampai batas wajahku. Takku pedulikan lagi panggilannya. Tuan
Malam ini tidak berbeda dengan malamku sebelumnya yang masih saja berselimut ketakutan. Memakan sisa camilan tadi siang yang diantar Vika, biasanya dia sudah mengantar makan malamku tapi malam ini apakah dia terlupa? Sesekali menengok kearah pintu, takut bila tuan Marcell masuk dan entah apa yang akan dia lakukan padaku. "Sel." Suara serak khasnya yang membuka pintu bersamaan dengan Vika dibelakangnya membawa nampan yang sudah kutunggu sedari tadi. Setelahnya Vika langsung keluar kamar membawa bekas gelas kotor siang tadi. Tuan Marcell menata dua piring hidangan lengkap dimeja makan lalu menarikku agar duduk disebelahnya. Aku hanya menurutinya saja agar tak perlu memancing emosinya. "Habiskan makananmu." Tanpa disuruhpun pasti akan kuhabiskan makanan dihadapanku ini. "Sel." Panggilnya yang membuatku terpaksa menoleh. "Iya tuan?" Aku menatap kearahnya yang menunjukkan lukanya yang sudah berganti perban baru. "Tanganku masih sakit, tolong suapi aku." Aku melotot kearahnya tapi sek
"Tuan!" Aku berteriak kala dia menghores luka ketangannya, mengambil tissue yang ada didasboard mobilnya dan menekan lukanya dengan cepat. "Apa yang anda lakukan?" Bukannya sebuah jawaban yang ku dapati malah sebuah senyum yang mengembang. Untuk saat ini hanya bisa membersihkan lukanya menggunakan tissue yang ada. "Kau mencemaskanku?" Dia bersuara, mencekal tanganku yang masih berusaha menekan luka dengan tissue. "Tuan ini kenapa sih?" Aku malah membentaknya tak peduli dengannya yang mungkin akan marah setelah ini. "Apakah hobi anda memang menyakiti orang lain dan diri sendiri?" "Anggap saja ini perjanjian, sekali aku menyakitimu saat itu pula aku akan menyakiti diriku sendiri." Aku menoleh lagi kearahnya. *Sekembalinya kami kerumah ini, aku masih mendiamkannya walau sesekali merasa khawatir dengan luka ditangannya. Sepertinya tuan Marcell memang sudah gila. Kembali ke kamar, melepaskan beberapa aksesoris yang terpasang sebagai pelengkap penampilanku tadi. Toerdengar suara pint