Mag-log in“Lyra.”
Suara Kaisar memecah lamunan Lysandra. Dia mengangkat wajah, berusaha mati-matian menjaga ekspresi agar tetap datar, namun dia tahu matanya pasti memancarkan gelombang kepanikan yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan. “Ya, Yang Mulia?” suaranya serak. “Kau kenapa?” tanya Kaisar. Kalimatnya pendek, tetapi langsung ke sasaran. Matanya tak berkedip, menangkap setiap ekspresi di wajah Lysandra yang pucat. “Hamba … sakit perut, Yang Mulia,” gumam Lysandra, tangannya secara refleks menekan perut bawah. Dia membungkuk sedikit, berpura-pura kesakitan. “Tiba-tiba … mual.” Dia berharap alasan itu terdengar seperti masalah siklus bulanan pada perempuan, sesuatu yang memalukan dan tidak mungkin dibahas lebih lanjut oleh seorang pria, apalagi seorang Kaisar. Kaisar terdiam. Namun tatapannya tak pernah benar-benar beralih dari Lysandra. “Kembalilah ke kamarmu,” ucap Kaisar, suaranya kembali datar, netral. Tidak ada nada khawatir, tidak ada kemarahan. Hanya sebuah perintah. “Jangan keluar kamar sampai kau merasa lebih baik.” “Terima kasih, Yang Mulia,” bisiknya, membungkuk terlalu dalam. Lysandra hampir kehilangan keseimbangan. Dia berbalik, merasakan tatapan dua pria itu mengikuti langkah kakinya. Begitu dia sampai di pintu kamar dan segera menutupnya, Lysandra merosot ke lantai. Punggungnya menempel pada kayu yang keras. Nafasnya tersengal-sengal. Lalu dia menangis tanpa suara, tersedu-sedu. Dia menangis untuk kerajaan yang hancur, untuk orang-orang yang mungkin sudah tiada, untuk ketakutan bahwa rahasia terbesarnya hampir saja terungkap. Tiba-tiba, ketukan di pintu kamarnya membuat Lysandra berjingkat karena terkejut. Bukan suara pengawal atau pelayan. “Lyra.” Suara itu lembut tetapi tegas. Suara Kaisar Xylas sendiri. ‘Dia di luar? Kenapa? Apa kurirnya sudah pergi?’ pikir Lysandra. Dengan gemetar, dia berjalan ke pintu dan membukanya sedikit. Kaisar berdiri di depan pintu, sendirian. Lysandra tak bisa melihat ekspresi wajah Kaisar karena pencahayaan koridor yang redup. Di tangannya, Kaisar membawa sebuah cangkir keramik kecil, uap hangat mengepul dari atasnya. “Teh chamomile,” ucapnya, saat dia menyodorkan cangkir itu. “Untuk sakit perutmu.” Lysandra menerimanya dengan tangan gemetar. Namun yang lebih membuatnya bingung adalah kehadirannya. Seorang Kaisar, mengantarkan teh pada budaknya? “T… terima kasih, Yang Mulia,” ucap Lysandra. Kaisar tidak pergi. Dia memandangnya, dan untuk pertama kalinya, ada sesuatu selain kecurigaan di matanya yang dingin. Sesuatu yang mirip dengan pengertian. Kaisar berbalik untuk pergi, lalu berhenti. “Istirahatlah, Lyra. Besok, kita akan membicarakan tugas baru untukmu. Seseorang dengan pengamatan yang cukup tajam untuk pura-pura sakit perut mungkin berguna untuk mengamati hal-hal lain.” Kaisar melangkah, meninggalkan Lysandra yang masih berdiri di pintu. Dia masih memegang cangkir teh yang hangat, dengan hati yang berdebar kencang dan satu pertanyaan yang membuatnya bingung. Namun Kaisar berhenti melangkah. Dia berdiri di sana, di ambang koridor yang redup. “Yang Mulia?” suara Lysandra nyaris tak terdengar, tertahan di tenggorokan yang kering. Kaisar Xylas tidak menjawab segera. Matanya yang abu-abu itu, yang biasanya seperti es, kini tampak memandang sesuatu yang jauh, sesuatu yang tidak ada di ruangan kamar Lysandra. “Dia juga memiliki mata yang sama,” ucapnya lagi, suaranya rendah, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Lysandra. Jantung Lysandra berdebar kencang. Dia menduga-duga. ‘Siapa? Siapa yang dia maksud? Apakah dia pernah mengenal seseorang dari kerajaanku? Atau ... oh, dewa-dewa, apakah dia mengenali kemiripanku dengan keluarga kerajaan Utara?’ pikir Lysandra. Atau lebih buruk, apakah dia mengenali Lysandra dari Kerajaan Utara? Lysandra menggeleng. Membuang dugaan buruk dari pikirannya. ‘Tapi tidak mungkin. Dia seorang Kaisar Barat. Aku seorang Putri dari Utara yang seharusnya sudah mati. Dunia kami terpisah oleh perang dan propaganda. Pertemuan langsung hampir tidak mungkin. Sepertinya memang tidak mungkin,’ batinnya. “Apakah ... apakah orang itu masih ada, Yang Mulia?” Lysandra memberanikan diri bertanya, terdorong oleh rasa ingin tahu yang membuatnya penasaran. Tatapan Kaisar langsung kembali fokus padanya. Matanya tajam dan waspada sekali lagi, seolah baru menyadari bahwa dia berbicara keras. Ekspresinya kembali datar, seolah begitu seharusnya wajah sang penguasa di Kekaisaran Barat. “Tidak,” jawabnya singkat. Namun, Lysandra mendengar nada lain dari ucapan Kaisar. Seperti rasa sakit atau kehilangan. Kaisar menghela napas pendek, lalu posturnya kembali tegak. “Itu tidak penting. Yang penting adalah kau, Lyra. Aku memintamu menjadi mata-mata. Karena utusan dari kerajaan lain tidak akan mencurigai seorang budak.” Kaisar mendekat satu langkah. Dan Lysandra tak bisa bergerak mundur. “Aku tidak tahu masa lalumu yang sebenarnya. Dan untuk saat ini, aku memilih untuk tidak bertanya.” Suaranya tegas, sebuah keputusan telah dibuat. “Tapi ketahuilah, di istana ini, setiap orang adalah pion dalam permainan. Kecurigaan adalah mata uang. Dan rahasia adalah senjata yang kita miliki.” Kaisar menatapnya sekali lagi. “Tugas baru yang kubicarakan,” lanjutnya, kembali ke nada bicara yang datar. “Aku membutuhkan sepasang mata dan telinga untuk pertemuan antar kerajaan. Seseorang yang tidak mencurigakan. Seseorang seperti pelayan, atau ... budak yang pura-pura sakit perut saat mendengar kabar buruk.” Dia sedang menugaskan Lysandra menjadi seorang mata-mata. Untuknya. “Apa kau mengerti, Lyra?” Kaisar bertanya, tetapi Lysandra tahu itu bukanlah pertanyaan yang bisa dia jawab dengan kata tidak. Lysandra mengangguk, perlahan. Ya, dia mengerti. Dia terjebak. Rahasianya membuat posisinya terjebak, tetapi juga memberinya nilai tambah di mata Kaisar. Dan sekarang, Kaisar sedang memanfaatkan kelemahan Lysandra. Dia melihat cangkir teh di tangan Lysandra. “Minum teh itu. Dan besok, kau mulai bekerja,” katanya. ***Kaisar lalu melangkah pergi, meninggalkan Lysandra sendiri. Lysandra masih terdiam sebelum meninggalkan ruangan itu.Saat dia melangkah pelan menuju kamarnya, tiba-tiba saja dia tergerak untuk melihat ke jendela atas istana. Ada bayangan seorang pria tinggi berdiri di sana.Kaisar Xylas.Dia sedang menunggu.Lysandra mengepalkan tangan, lalu memutuskan untuk berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Dia tidak pergi ke taman.Lysandra memilih untuk tidak memenuhi panggilan Lord Verian. Namun, saat dia melewati koridor yang sepi, tiba-tiba ada tangan yang menariknya ke dalam ceruk gelap!Sebuah tangan menutup mulutnya.“Jangan bersuara,” bisik suara yang sangat dikenalnya berdasarkan ingatan masa lalunya.Suara Lord Verian.Dia masuk ke dalam istana!“Mereka tidak akan peduli jika aku membunuh seorang budak, ‘kan? Kau benar-benar membuatku tertarik,
Kaisar melepaskan tangan Lysandra dan berbalik, lalu kembali ke percakapan dengan utusan kerajaan lain. Seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumnya.Lysandra berdiri di sana selama beberapa detik, masih terpaku. Namun perintahnya jelas. Lysandra mengangguk pelan pada diri sendiri, lalu mulai berjalan membawa nampan minuman, kali ini dengan kepala sedikit lebih tegak.Namun di dalam hatinya bergejolak. Kaisar baru saja melindunginya dengan terang-terangan. Dia menjadikannya titik pusat perhatian.‘Kenapa dia melakukan itu? Untuk menunjukkan kekuasaannya? Atau … untuk memberiku kesempatan lebih baik untuk mendengarkan, karena sekarang orang-orang akan membicarakan aku, dan mungkin akan membicarakan hal lain dengan lebih bebas karena menganggapku tidak penting?’ pikirnya.Sepanjang acara, Lysandra berkeliling. Beberapa bangsawan meliriknya dengan penasaran. Beberapa lainnya, terutama teman Inggrid, memandangnya dengan tatapan pe
Esok harinya, Lysandra dipanggil ke ruang kerja Kaisar Xylas. Ruangan itu berukuran lebih kecil dibanding perpustakaan pribadinya. Kaisar tidak sendirian di sana. Seorang pria dengan jubah kelabu dan mata yang sangat waspada, berdiri di sampingnya. Dia adalah kepala mata-mata Kekaisaran Barat. “Lyra, ini Arion. Dia akan mengajarimu dasar-dasar,” kata Kaisar. “Cara mendengarkan tanpa terlihat mendengarkan. Cara mengingat percakapan. Cara mengenali pembohong.” Arion mengangguk, matanya yang tajam menatap Lysandra dari ujung kepala hingga kaki. “Kita mulai dengan tamu pertama. Utusan dari Kerajaan Utara,” ujarnya, sengaja menekankan kata itu. Kaisar meneruskan sambil mengamati reaksi Lysandra. “Dia akan tiba besok. Kau akan bertugas sebagai pelayan yang menyajikan minuman. Catat segalanya. Terutama,” dia melirik Arion, yang mengangguk pelan, “terutama jika dia menyebutkan nama Putri Lysandra yang hilang, a
Kaisar menoleh, separuh wajahnya masih dalam bayangan. “Kebenaran. Bukan sekaligus. Tapi sedikit demi sedikit. Dan kesetiaan. Kesetiaan mutlak sebagai seorang budak.”Kaisar kembali ke mejanya, menatap Lysandra dengan serius. “Aku tahu kau bukan budak biasa. Aku tahu kau mungkin menyembunyikan sesuatu. Rahasia yang besar.” Dia menunjuk liontin di tanganku.Kaisar mengambil napas dalam-dalam. “Jadi, ini tawaranku. Kau tetap menjadi Lyra, budak pribadiku. Kau akan melakukan tugas yang kuberikan, termasuk mengamati tamu-tamu. Tapi kau akan melakukannya untukku.”“Dan sebagai imbalan untuk hamba?” Lysandra bertanya, berusaha keras agar suaranya tidak gemetar.“Sebagai imbalan,” ucap Xylas, “aku akan melindungi rahasiamu. Aku akan memberimu pengetahuan, akses, dan kekuatan yang kau butuhkan untuk apa pun tujuan sejatimu di kerjaan ini. Entah itu balas dendam, atau mengambil kembali sesuatu yang hilang. Tugasmu sudah jelas di sini.”Jantung Lysandra kembali berdebar kencang. Kaisar menawark
Kaisar akhirnya benar-benar pergi, langkahnya menghilang di koridor. Lysandra menutup pintu, bersandar di baliknya, cangkir teh masih mengepul di tangannya. Kau mengingatkan aku dengan seseorang. Kata-kata Kaisar itu terus bergema di telinga Lysandra. ‘Siapakah orang yang dimaksud Kaisar? Apa hubungannya denganku? Atau ... apakah ini hanya akal-akalannya untuk membuatku lengah, untuk menjeratku dengan manipulasinya?’ pikir Lysandra. Lysandra mulai meminum tehnya. Rasanya hangat, menenangkan, tetapi juga pahit. Kaisar memberi pilihan yang sebenarnya bukan pilihan pada Lysandra. Menjadi matanya, atau menghadapi konsekuensi dari rahasia yang suatu saat bisa dia ungkap. Esok malamnya, ketukan di pintu kamarnya malam itu terdengar berbeda. Bukan ketukan pelayan yang terburu-buru, bukan pula ketukan pengawal yang tegas. Ini ketukan yang terukur, berat, dan penuh otoritas. Ketukannya hanya tiga kali, tetapi memenuhi seluruh ruangan kecil kamar Lysandra. Dan Lysandra sudah tahu siapa
“Lyra.”Suara Kaisar memecah lamunan Lysandra. Dia mengangkat wajah, berusaha mati-matian menjaga ekspresi agar tetap datar, namun dia tahu matanya pasti memancarkan gelombang kepanikan yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan.“Ya, Yang Mulia?” suaranya serak.“Kau kenapa?” tanya Kaisar. Kalimatnya pendek, tetapi langsung ke sasaran. Matanya tak berkedip, menangkap setiap ekspresi di wajah Lysandra yang pucat.“Hamba … sakit perut, Yang Mulia,” gumam Lysandra, tangannya secara refleks menekan perut bawah. Dia membungkuk sedikit, berpura-pura kesakitan.“Tiba-tiba … mual.” Dia berharap alasan itu terdengar seperti masalah siklus bulanan pada perempuan, sesuatu yang memalukan dan tidak mungkin dibahas lebih lanjut oleh seorang pria, apalagi seorang Kaisar.Kaisar terdiam. Namun tatapannya tak pernah benar-benar beralih dari Lysandra.“Kembalilah ke kamarmu,” ucap Kaisar, suaranya kembali datar, netral.Tidak ada nada khawatir, tidak ada kemarahan. Hanya sebuah perintah. “Jangan keluar k







