Keke tak habis pikir, sebegitunyakah? rasa tergila-gila Endang pada Bujang sampai mengirimkan guna-guna yang salah sasaran. Keke tak tau, apakah justru bersyukur dengan guna-guna yang salah sasaran itu, atau malah prihatin. Jika saja yang kena adalah Bujang, betapa sedihnya dia, sebentar lagi dia akan melahirkan. Anak-anak mereka masih kecil, jika Bujang yang kena, alangkah malangnya nasib yang menimpa. Membayangkannya saja Keke sudah tak sanggup.Keke menyadari, walaupun suaminya itu bukanlah pria muda, tapi dia masih gagah bahkan semakin tampan di usianya yang mendekati empat puluh. Wajah dengan rahang tegas, pandangan mata tajam tapi meneduhkan, bibir gelap yang jarang tersenyum pada orang asing, serta kulit sawo dengan otot kuat dan tangkas yang dimiliknya. Bujang memiliki fisik yang diidamkan oleh semua laki-laki, dia kriteria laki-laki yang jantan dan gagah. Walaupun berbeda umur yang sangat jauh dengan Keke, saat mereka berjalan berdua, orang pasti menyangka mereka tak terpaut
Benar kata orang, wanita yang setengah gila akan sangat berbahaya. Dia akan melakukan apa saja agar kehendak dan keinginannya terpenuhi, tak peduli apakah jalannya halal atau haram. Endang merasa marah luar biasa saat mengetahui guna-gunanya salah sasaran, dia sudah berkorban banyak uang, uang yang bahkan dipinjamnya dari sana sini. Dia tak menyangka akan gagal, dia sudah membayangkan yang indah-indah bersama Bujang. Menikah, hidup enak dan tentu saja seumur hidup Bujang akan berada di bawah kendalinya.Bukannya malu atau insaf, mendengar ucapan Keke barusan, Endang malah meradang, dia geram luar biasa. Tanpa malu, dia merengsek masuk ke dalam rumah. Jika jalan halus tak mempan, jalan kasar harus ditempuh."Hei, mau ke mana kau?" Keke menghalangi wanita itu. Endang menatap benci, Endang semakin dekat ke tangga rumah."Minggir! Mana Bujang.""Dia tak ada di rumah." Keke masih mencoba untuk berbohong, dia tak Sudi jika suaminya malah digoda terang-terangan oleh wanita itu."Kau bohong,
Endang baru saja memarkirkan motornya, dia tak menyadari seseorang berlari ke arahnya sambil memeluknya tanpa ampun, Endang sampai terjatuh dari motornya sendiri, sedangkan motor itu menimpanya. Kesadaran Endang belum pulih, saat dia merasa cambang kasar bergesekan dengan pipinya. Sial berkali-kali, ditimpa motor, dan ditimpa tubuh besar yang baunya ampun di hidung."Akhirnya kita bertemu, Endang. Siang malam aku merindukanku, tapi istriku merantaiku seperti gajah. Tapi, sekarang takkan ada yang memisahkan kita, aku mencintaimu, Endang. Aku menunggu saat-saat seperti ini, aku sudah tak waras karena terus saja memikirkanmu."Endang merasa perutnya bergejolak mual, aroma tak sedap dari mulut itu membuatnya ingin muntah, dia berusaha menyingkirkan Luqman yang terus saja meracau mengungkapkan cintanya. "Minggir!" Endang menendang selangkangan Luqman, pria itu mengaduh kesakitan. Keributan itu mau tak mau memancing para tetangga, mereka keluar dari rumah, dan sebagian terpaksa bangun dari
Pernikahan adalah sebuah ikatan sakral yang memiliki ladang pahala jika dijalani dengan benar, pernikahan itu mudah, jika mengikuti semua aturan yang diajarkan oleh syariat. Apa aturan itu? Masing-masing menjalankan fungsinya masing-masing, saling memberi dan menerima, bertanggung jawab dalam perannya. Seperti sepasang suami istri yang berhasil menjalankan pernikahan mereka, hidup sederhana dan saling melengkapi satu sama lain.Keke bangun, menggeliatkan tubuhnya sejenak, perutnya yang membesar itu memang membuat dia agak kesulitan tidur nyenyak. Dia mendapati kasur di sampingnya sudah kosong, sedangkan si kembar masih lelap dalam ayunannya masing-masing. Sejak berumur setahun, Delia dan Delio jarang sekali bangun di malam hari, dia tidur nyenyak sampai pagi, tapi sebelum tidur, mereka harus disuapi dulu sampai kenyang.Keke bangun, membuka jendela kamar, sehingga udara segar di subuh hari menyapanya. Keke melihat jam dinding, masih jam lima subuh. Kokok ayam bersahut-sahutan, suasan
Tiga hari setelahnya, Luqman sudah mulai bekerja, wajahnya terlihat cerah saat motornya memasuki pekarangan rumah Bujang. Seperti biasa, dia akan bersenandung kecil, jika melihat Luqman yang sekarang, siapa yang akan menduga dia pernah hampir gila. Keke mendampingi Delio yang baru pandai berjalan, sesekali dia terjatuh, tapi Delio bangkit lagi, memang, dibanding Delia yang lincah, perkembangan Delio agak sedikit lambat. Sedangkan Delia sudah berlari-lari kecil sambil memetik bunga yang sedang mekar di pot. Keke hanya bisa mengelus dada, semua bunga yang mulai bermekaran sudah gundul karena tangan mungil itu."Hai Bujang kecil," sapa Luqman, dia memarkirkan motornya di depan gudang. Rokok menyelip di bibirnya yang gelap."Sudah sehat, Bang?" Bujang senang dengan keadaan Luqman yang sudah bugar. Seperti tak pernah terjadi apa-apa."Sudah, bukan ragaku yang sakit, pikiranku, ajaib benar kelapa si Endang, entah siapa dukunnya. Kalau ingat aku pernah merangkak mencari dia, malunya minta a
"Bang, tunggu!" seru Keke, dia berhenti sambil memegang perutnya yang besar, sambil menata nafasnya yang sesak. Pria yang berada tak jauh di depan Keke, memandang wanita itu sambil tersenyum.Sudah tiga hari berturut-turut, Bujang menemani Keke jalan pagi, seperti saran dokter, di kandungan yang mulai memasuki usia delapan bulan, Keke harus rutin jalan pagi agar persalinan berjalan mudah dan lancar. Sedangkan Delia dan Delio mereka titipkan pada neneknya."Lelah?" tanya Bujang. Keke mengangguk, sambil mengusap keringat di wajahnya."Iya, berhenti dulu. Sebentar saja.""Mau digendong?" Bujang menampakkan wajah geli. Keke mencibirkan bibirnya."Kalau digendong namanya bukan jalan pagi, tapi gendong pagi." Keke mulai melangkah lagi."Betul juga. Akan tetapi kalau kamu mau, aku bersedia menggendongmu.""Iya, terus ditertawakan orang kampung. Kita bisa jadi bahan gunjingan." Keke menarik nafas berulangkali. "Ayo!" kata Keke sambil memegang lengan Bujang. Rasanya, dengan berjalan berdua, me
"Abang mencium sesuatu?" tanya Keke, dia mengendus udara, kemudian menutup hidungnya, mereka baru saja hendak bersiap-siap untuk sarapan pagi. Hidangan sudah tersaji di meja makan, di saat si kembar tidur inilah mereka bisa menikmati waktu sarapan berdua, kalau si kembar bangun, terpaksa mereka gantian."Tidak." "Coba Abang lebih teliti lagi, bau bangkai." Keke menutup hidungnya, perutnya bergejolak. Bau bangkai yang sangat amis.Bujang bangkit. Memeriksa ruang tamu di berbagai sudut. Keke wanita yang super bersih, dia tak mungkin melewatkan kotoran saat membersihkan rumah. Apalagi membiarkan bangkai binatang tanpa membuangnya."Apa mungkin tikus mati?" tanya Bujang tak yakin, Keke berpikir sejenak."Tak ada tikus di rumah kita, Bang. Kerena kita punya kucing. Ini tak seperti bau tikus." Keke mengambil minyak telon si kembar, kemudian mengusapkan ke hidungnya beberapa kali, demi menyamarkan bau yang semakin menganggu. Ini hari minggu, Luqman libur, dan Bujang pun hanya akan bersanta
"Apa dia sudah pergi?" tanya Keke, saat mendengar suara langkah kaki Bujang menuju kamar, Keke langsung duduk di ranjang dan pura-pura tak melakukan apa-apa."Sudah, " sahut Bujang sambil mengelap tangannya yang basah."Sebenarnya kasihan melihat dia begitu, sungguh tak diduga, padahal dulu Kak Endang begitu dipuja di kampung ini, dia serba pandai, pintar memasak juga, setiap acara pesta pasti dia diundang untuk jadi kepala dapur.""Nafsu dunia bisa membuat orang berubah." Bujang menyahut."Nafsu untuk bisa memiliki Abang," sindir Keke. Bujang tersenyum lebar, memamerkan giginya yang rapi. Tatapan hangat dan tegas itu selalu membuat Keke tak berkutik. Jika dilihat dari dekat, pria penakluk hatinya itu memang sangat menawan. Ah, entah berapa ribu kali Keke melempar pujian dalam hati pada suaminya itu."Ya, mungkin," sahut Bujang tak tertarik."Keke rasa, ada cinta yang belum selesai.""Seperti judul sinetron.""Kalau dulu dia tak meninggalkan Abang, pasti Abang menikah dengannya, kan?"