Share

04. Rencana Maura

Maura tak tahu harus bagaimana untuk mendapatkan tanda tangan Mahen. "Biar aku yang urus ya Vi. Semoga aja Mahen mau langsung tanda tangan."

"Oke, besok aku kirim dokumennya ke kamu." Vian menghela napasnya. "Terus rencana kamu gimana?"

"Mau cari rumah sama bikin usaha gitu," jawab Maura tak yakin.

Alis Vian mengernyit melihat ekspresi Maura yang tak yakin. "Aku punya saudara yang jual rumahnya di Jogja. Kira-kira kamu mau nggak?"

Maura langsung mendongak antusias mendengarnya. Matanya sedikit berbinar karena merasa mendapat angin segar. "Apa kamu bisa bantu aku buat beli?"

"Bisa banget. Nanti sekalian aku urusin balik namanya. Rumahnya lumayan gede, dua lantai. Di perumahan lagi. Jadi tetangga nggak ada yang usil, atau julid. 'Kan mereka sibuk kerja. Menurutku harganya nggak terlalu mahal buat holkay kaya kamu," ujar Vian menambahkan.

"Tapi, kandunganku udah gede. Kalau rumah di pinggiran Jakarta ada Vi?"

Vian tampak berpikir sebentar. "Aku ada Budhe di Semanggis. Suaminya pengusaha properti gitu. Nanti aku tanyain ya."

"Makasih Vi. Makasih, semoga ada rumah kosong ya," kata Maura bersyukur.

"Semoga. Budheku juga buka restoran. Nanti aku ajuin kerja buat kamu ya. Aku saranin kerjanya setelah lahiran," imbuh Vian.

Kini manik indah Maura berkaca-kaca karena terharu. Mereka berdua memang tidak dekat, tetapi Maura sering sekali dibantu oleh Vian. Bahkan sejak SMA, Vian selalu membantunya dalam diam. Sebenarnya bukan cuma Vian, tetapi ada orang lain juga selain Vian. Entah di mana orang itu berada.

"Makasih Vi. Maaf, aku selalu ngrepotin kamu."

"It's OK Ra. Aku malah seneng bisa bantu kamu. Yang penting sekarang kamu mesti berubah. Kamu juga berhak bahagia Ra."

Maura dan Vian terus mengobrol hingga sore. Selesai mengobrol, Maura kembali pulang menggunakan taksi online. Mereka bahkan tak menyadari kalau sepasang mata memperhatikan mereka sedari awal.

Sesampainya di rumahnya, ah tidak menurutnya ini rumah milik Mahen dan Mauren. Karena rumah ini dibuat khusus untuk Mauren. Di setiap sudutnya Mahen mengukir nama mereka berdua.

Maura menghela napas sambil menatap rumah besar di hadapannya. Perlahan tapi pasti, ia masuk ke dalam. Ia bersyukur karena tidak ada pelaya  yang berada di luar. Mempercepat jalannya, ia sampai di paviliun.

Sampai di paviliun, Maura segera ke dapur untuk mencari piring. Tadi, ia sempat mampir untuk membeli rujak dan makanan untuk makan malam. Juga susu hamil dan buah-buahan.

Ia menikmati rujaknya di dalam kamar. Sembari browsing mencari rumah di pinggiran Jakarta. Ia pikir terlalu jauh untuk pindah ke Jogja. Sementara keadaannya tidak mendukung. Kandungannya sudah memasuki usia enam bulan. Ia takut kalau nantinya terjadi hal yang buruk di jalan.

***

Malam ini Mahen pulang dengan senyum mengembang di sudut bibirnya. Permainan panas siang tadi membuatnya bahagia. Sepertinya ia harus mempercepat pernikahannya dengan Mauren. Agar hubungan mereka bisa sah secepatnya. Padahal bulan depan mereka memang akan menikah.

Para pelayan yang melihat Mahen penuh dengan senyuman hanya bisa terheran-heran. Tetapi juga tak berani untuk bertanya.

Mahen yang tidak melihat Maura menyambutnya pulang sedikit terheran. Biasanya Maura selalu menyambut kepulangannya dengan senyum merekah. Walaupun akhirnya ia diabaikan. "Ke mana wanita itu?"

Baru saja Bi Murni ingin menjawab tetapi Dini terlebih dulu menjawabnya. "Dia seharian ini berada di kamarnya Tuan. Dia tidak keluar sama sekali." Dini menjawab dengan percaya diri.

Padahal ia tak tahu kalau Maura baru saja pulang sehabis bertemu dengan Vian.

Mahen mengernyit heran. Benarkah? Berarti sekarang wanita itu menuruti apa maunya. Itu bagus. Setelah mendapatkan jawaban dari Dini, ia segera menuju ke kamarnya sembari bersenandung kecil.

***

Hay.... Semanggis itu hanya fiksi ya. Anggap aja itu di pinggiran Jakarta. Terima kasih sudah mampir...

I* : @auristella.riska

1188 kata

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status