*Happy Reading*
"Kamu mau saya cium juga?"
"Mau, dong!"
Eh! Ngomong apa aku barusan?
Seketika aku jadi gelagapan sendiri, saat menyadari ucapanku barusan. Astaga! Bisa-bisanya aku keceplosan gitu.
"Eh ... uhm ... Bu-bukan gitu maksud saya, A'. Saya ... saya cuma ...."
Duh, gimana ini jelasinnya? Aku takut, Alan mengira aku ngarep dan sok jual mahal selama ini. Meski itu memang benar, sih. Tapi harusnya aku jaga Image dikit, kan?
Setidaknya, aku tidak boleh terlihat terlalu ngarep sampai tahu perasaan Alan selama ini. Bagaimana pun Alan ini masih sangat abu-abu untukku. Bahkan, motifnya mau menikah denganku pun, aku belum tahu pasti.
"Jadi mau dicium atau tidak?"
"Ya mau!"
Eh! Refleks aku pun memukul pelan mulutku sendiri. Dengan wajah yang pastinya sudah memerah karena malu.
Aduh ya ampun ini mulut. Kenapa gak bisa kalem dikit, sih? Bocor banget sumpah!
"Aa, ih! Kenapa sih sukanya ngerjain oran
*Happy Reading*Kan? Kan? Apa aku bilang?Gara-gara semalam Alan lembur sampai subuh. Tengah hari begini dia masih bobo ganteng di ruang tengah.Kenapa ruang tengah? Ya ... karena kamarku sedang di tempati Dokter Karina. Sementara Pak Arjuna sudah pergi lagi untuk urusan bisnis. Tapi, katanya sih, hari ini mau datang lagi untuk menjemput istrinya. Itulah sebabnya, sejak datang ke sini Alan memang tidur di ruang tengah.Sebenarnya, Alan bisa saja tidur dengan Putra. Aku dan orang rumah sudah menawarkan hal itu kok. Tapi, pria itu tidak mau dan malah memilih di tidur di ruang tengah saja. Alasannya, dia tidak ingin sampai menganggu Putra jika sampai harus bekerja seperti semalam.Namun, masalahnya sekarang adalah, kalau dia tidur di ruang tengah sampai siang begini, hal itu otomatis membuat orang-orang yang lewat gagal fokus dan malehoy tiba-tiba. Soalnya, Alan itu ternyata kalau tidur gak suka pakai baju.Nah, kan, Rot
*Happy Reading*Mendengar penuturan Dokter Karina. Aku pun auto mikir keras. Sebenarnya pernikahan apa yang sedang aku jalani? Kenapa rasanya aneh gini ya hubungan yang terjalin? Banyak banget yang aku gak tahu di sini. Entah itu karena kami memang kurang komunikasi, atau memang Alan senang bergerak dalam diam tanpa suka sesumbar.Yang jelas, aku auto merasa gak ada gunanya jadi istri. Soalnya ... ayolah! Itukan masalahku juga. Masa aku gak dilibatin sih dalam hal itu. Kan aku juga pengen di ajak diskusi.Sebenarnya aku ini apa di mata Alan?"Dok?""Hm ...""Menurut Dokter ... Motif Alan menikahi saya itu, apa ya?" Dari pada aku botak mikirin hal itu sendiri. Mending aku tanyakan saja pada orang yang mengaku Dewa Amor di sebelahku ini. Yee kan?"Maksud kamu apa? Saya gak ngerti."Eh, si koplak! Katanya Dewa Amor. Masa gak ngerti maksud pertanyaan aku. Gimana sih? Dewa Amor magang kali ya dia mah."Ih, Dokter mah. M
*Happy Reading*Sebelumnya. Aku selalu merasa bersalah tiap kali mengingat tentang Viola. Karena aku mengira sudah merebut Alan darinya. Namun, saat tahu bahwa kenyataannya tidak begitu. Kini aku malah selalu kesal sendiri tiap kali melihat nama Viola terus muncul di layar ponsel suamiku.Karena kini aku tahu, dia justru mau merebut Alan dariku. Yah ... sejenis pelakor lah. Lagi pula, Apaan sih nih cewek? Gatel bet dah ah nelponin suamiku mulu. Minta digaruk memang. Sini lah aku garuk pake linggis di belakang rumah. Biar yahud rasanya, yee kan?Ingin sekali aku mengangkat panggilan dari Viola itu. Biar bisa aku maki kayak di sinetron-sinetron yang sering kalian tonton. Namun, aku belum berani selancang itu saat ini. Karenanya, mengutip titah Alan semalam. Aku pun mengabaikan telpon itu, dan memasukannya kembali ke kantor daster."Ning teu di angkat, Mi?" (Kok gak di angkat, Mi?)Teh Laras ternyata kepo."Kajeun ah, Teh. Teu penting iye." (Biar
*Happy Reading*"Cie ... yang abis di--""Jangan resek, deh, Dok." Aku berdecis kesal, dan melotot galak. Saat lagi-lagi mendengar bisikan yang berisi ledekan Dokter Karina saat pulang dari acara mandi di sungai dan makan liwet.Nih Dokter emang bener-bener, deh! Bikin aku makin senang--eh, malu aja hari ini. Gak liat apa nih muka aja masih merah plus anget gini? Kayaknya sesampainya di rumah aku harus minum obat penurun panas, deh. Takutnya aku mendadak demam gegara dicium Alan, yee kan?Dicium?Aaarrggg ... rasanya aku pengen guling-guling tengah sawah kalau inget lagi. Tapi jangan! Sawahnya lagi bagus. Sayang kalau di pake buat guling-guling. Mending buat photo-photo aja, bakal jadi kalender tahun depan.Okeh skip! Otakku memang makin eror kayaknya sejak mendapat si kenyal-kenyal anget dari Alan.Sebut saja permen yupi. Soalnya kenyalnya sama, manisnya pun sama. Kalian jangan minta, ya? Permen ini hanya mili
*Happy Reading*"Pulang!" ucapnya dengan suara dalam yang tegas sekali. Tanpa sadar aku menelan saliva kelat mendengarnya.Dia beneran marah, pemirsah!"Ta-tapi ... masih hujan, A'," cicitku sambil melirik keluar saung yang memang masih hujan lebat.Tanpa kata, Alan meraih belakang tubuhnya dan memperlihatkan sebuah payung padaku. Lah? Kalau dia bawa payung, kenapa dia ujan-ujanan, ya?Masih tanpa kata, Alan lalu membuka payung itu dan menyodorkannya padaku. Tak lama, dia memberikan kode untuk segera pergi dari sana."Eh, Aa kok duluan. Sini barengan. Biar gak kehujanan." Aku mencoba meminta atensinya."Sudah kehujanan."Benar juga."Ya udah atuh. Jalannya jangan cepet-cepet. Licin loh ini. Nanti saya jatuh."Kukira karena marah dia tidak akan memperdulikan rengekanku barusan. Ternyata dia memelankan langkahnya, dan langsung meraih tanganku untuk dituntunnya.Pematang sawah sangat li
*Happy Reading*Aku tengsin banget!Demi apa? Bisa-bisanya aku nyosor Alan gak tahu malu kayak gitu. Mana kepedean lagi nyangka Alan pengen di cium. Ternyata eh ternyata. Tuhan ... boleh pinjem alat pemutar waktunya Doraemon, gak? Aku mau nyemaletin mukaku, yang sering banget ilang kalau depan Alan.Heran, deh. Kenapa sih, aku sering banget mempermalukan diri sendiri kalau dekat Alan? Pertanda apa, coba? Padahal, aku kan juga pengen kelihatan alim depan suamiku sendiri. Nah ini? Jatoh mulu harga diriku.Yang paling menyebalkannya lagi adalah, selain mulutnya yang asal ceplos itu. Wajahnya juga tetep aja lempeng bin kaku, meski udah dapet sosoran dari aku. Gak ada gitu merona atau ... minimal rona senang dapet hadiah dari bininya. Padahal, aku seneng loh disosor dia waktu di sungai. Kok dia nggak, ya? Apa ... sosoranku kurang?Au ah! Kadung malu, aku pun langsung ngacir aja kemaren. Inginnya sih, menghindar selamanya. Tetapi mana bisa? K
*Happy Reading*"Aku capek pacaran, Fan. Kapok tepatnya. Jadi, kalau kamu emang beneran serius sama aku. Langsung ketemu Abah aja, deh. Nanti pacarannya biar abis ijab qobul aja."Aku pun refleks menggaruk belakang leher yang sebenarnya tidak gatal, saat akhirnya teringat kalimat di atas yang kayaknya memang pernah aku ucapkan pada Irfan.Jangan tanya bagaimana kondisi wajah dan perasaanku. Tentu saja sudah memerah seperti orang demam kembali, dan kikuk parah.Ah, lagi-lagi aku mempermalukan diri sendiri."Sudah ingat?" Seakan tahu apa yang aku rasakan, Alan pun menyindir. Namun, tetap dengan wajah datar dan hanya melirik sekilas saja ke arahku. Membuatku langsung membuang muka ke arah jendela pintu di sampingku."Ternyata susah ya, nikah sama pengacara itu. Sukanya ngajak muter-muter mulu. Padahal jalan pintas langsung ke inti terbuka lebar. Tapi malah milih yang njelimet banget. Gak kasian apa, sama otak saya yang p
*Happy Reading*"Aa, ih! Jangan ambekan kenapa? Bukan gitu maksud Hasmi." Aku ingin meralat ucapanku, agar mood Alan kembali. "Hasmi cuma ..."Kemudian aku pun terdiam sejenak. Memikirkan cara lain untuk mengurangi rasa bersalahku, dan juga tak membiarkan Alan makin salah paham."Cuma apa?" Alan tidak sabaran."Cuma belanja sendiri, biar bisa nawar.""Berarti kehadiran saya memang sangat mengganggu?""Bukan!"Ih, nyebelin! Tumbenan dia ambekan gini.Aku kembali terdiam, memikirkan jalan tengah masalah ini. Gimana caranya bisa belanja sendiri tanpa menyinggung Alan? Tapi juga tidak membuat Alan menunggu dengan bosan.Tau sendiri kan, kalau ibu-ibu udah belanja. Pasti gak bisa bentar. Sekalipun aku belum jadi ibu-ibu. Tapi kadang jiwa ibu-ibu selalu terpanggil jika sedang belanja. Kasian Alan kalau harus kubuat menunggu lama. Karena itulah, sebisa mungkin aku harus cari cara biar Alan sibuk atau--Aha! Aku punya ide