Aksara membawakan secangkir teh hijau hangat untuk Anala. Ia menyodorkan secangkir teh hijau tersebut untuk diminum oleh istrinya itu. Anala merasa sedikit lega setelah meneguk minuman hangat tersebut. Aksara sengaja membawakan teh tersebut karena tahu istrinya itu masih sakit kepala.
Hal tersebut tidak luput dari perhatian anggota keluarga Aksara yang sedang ada di ruang tengah. Ayah Rama bahagia melihat hal tersebut karena senang akhirnya sang putra memiliki sosok yang dicintai. Sedangkan sorot mata Ibu Hesti dan Shiren menyiratkan kebencian.
“Aku dan Anala besok akan pindah,” Aksara membuka percakapan.
“Kenapa mendadak sekali? Apakah rumah pribadimu sudah siap?” tanya Ayah Rama.
“Sudah,” jawab Aksara dingin.
“Tidak perlu pindah dulu, Aksara. Di sini saja dulu,” kali ini Ibu Hesti yang membuka suara.
“Iya, Kak. Di sini aja dulu, biar aku ada temannya. Lagian nanti Kak Anala kesepian kalau harus di rumah sendirian waktu kakak tinggal kerja,” bujuk Shiren.
“Aku tidak sedang meminta izin kalian. Hanya memberitahu,” ucap Aksara tajam.
“Kenapa tiba-tiba sekali, Aksara?” tanya Ayah Rama.
“Tanya saja kepada anak dan istri kesayangan Anda. Apa yang mereka lakukan sampai membuat istriku terluka seperti ini?” jawab Aksa menahan amarahnya.
“Maaf, Kak Aksa. Aku tidak akan mengulangi lagi,” rengek Shiren.
Sedangkan Aksara tidak menanggapi hal itu sama sekali.
“Di sini saja dulu, Aksara. Mari kita berkumpul bersama,” pinta Ayah Rama.
“Baiklah, aku akan tetap tinggal di rumah ini. Tetapi, kalian yang angkat kaki,” ujar Aksara dingin.
“Jangan keterlaluan, Aksara,” kali ini nada bicara Ayah Rama mulai naik.
“Apanya yang keterlaluan? Bukankah aku satu-satunya ahli waris seluruh harta kakek. Rumah ini termasuk peninggalan kakek, bukan?” sarkas Aksara tersenyum miring.
“Kamu sudah menguasai Pradipta Group dan aset lainnya, Aksara. Bagaimana mungkin kamu mau mengambil alih tempat tinggal kami juga?” Ayah Rama kembali memelankan suara.
“Maka, biarkan aku dan istriku meninggalkan rumah ini,” ucap Aksara sekali lagi.
“Baiklah, tapi ayah mau meminta satu hal sama kamu,” ujar Aksara.
“Biarkan adikmu, Shiren bekerja di perusahaan,” lanjut Ayah Rama.
“Untuk apa? Apakah pembagian keuntungan bisnis masih belum cukup?” suara Aksara semakin berat dan dingin.
Anala sedari tadi hanya bisa diam dan memperhatikan percakapan itu. Wanita yang duduk di samping Aksara tersebut tidak berniat untuk membuka suara sama sekali. Anala memilih untuk menggenggam dan mengelus tangan Aksara dengan lembut. Berusaha menyalurkan rasa kehangatan supaya suaminya itu merasa sedikit lebih tenang.
Perlakuan Anala tersebut berhasil membuat Aksara lebih rileks. Terasa dari genggaman suaminya yang melunak dan tidak sekeras sebelumnya. Aksara menarik nafas panjang.
“Baiklah, mulai besok Shiren bisa bekerja di kantor,” perkataan Aksara tersebut berhasil membuat ayah, ibu tiri, dan adiknya tersenyum sumringah.
“Tetapi hanya sebagai staff biasa,” lanjut Aksara.
Senyum di bibir Ibu Hesti dan Shiren sedikit memudar setelah mendengar perkataan Aksara. Sedangkan Ayah Rama bereaksi berbeda.
“Tidak apa, Aksara. Yang penting Shiren bisa belajar supaya nanti bisa membangun bisnisnya sendiri,” Ayah Rama terdengar antusias kali ini.
“Iya, tidak masalah meskipun jadi staff biasa, Aksara,” Ibu Hesti menimpali.
“Makasih banyak, Kak,” Shiren pura-pura tersenyum sumringah di depan kakaknya.
***
Anala berkeliling mengedarkan pandangan untuk melihat segala detail yang ada di ruangan. Saat ini dirinya sudah berada di rumah baru yang telah disiapkan oleh Aksara.
“Suka?” tanya Aksara yang berdiri di belakang Anala.
“Suka, Mas,” Anala menoleh ke arah Aksara dan tersenyum tipis.
Aksara menggandeng tangan Anala untuk menuju ke kamar mereka berdua. Lelaki itu memperlihatkan tatanan interior yang ada di dalam kamar. Anala suka dengan suasana dan desain di kamar tersebut.
Kamar tidur barunya memiliki jendela kaca berukuran besar yang membuatnya cukup leluasa untuk melihat pemandangan luar.
“Mas Aksa, di sini masih ada satu ruang kosong ngga?” tanya Anala ragu-ragu.
“Ada. Kenapa?” Aksara bertanya balik.
“Aku boleh pakai?” Anala kembali bertanya perlahan.
“Untuk apa? Kamu mau pisah kamar?” bukannya menjawab, tetapi Aksara malah bertanya dengan tajam.
“Eh, bukan, Mas Aksa,” Anala menggelengkan kepalanya.
“Untuk sesuatu yang lain. Nanti aku jelasin kalau Mas Aksa ada waktu untuk ngobrol,” jelas wanita dengan dress berwarna biru laut itu.
“Sekarang bisa. Aku tidak ke kantor hari ini,” jawab Aksara.
“Aku selesaikan untuk menata pakaian kita dulu boleh, Mas?” ijin Anala.
“Iya. Minta bantuan bibi supaya cepat selesai. Aku tunggu di ruang tengah,” Aksara berlalu meninggalkan Anala di dalam kamar.
Anala membuka koper pribadinya. Ia mengambil sebuah map berwarna hitam. Wanita itu juga mengambil tablet miliknya yang biasa digunakan untuk menyimpan berbagai karya desainnya. Anala menarik nafas panjang mencoba meyakinkan diri untuk membicarakan hal ini kepada Anala.
Perempuan itu berjalan menyusuri tangga menuju ke ruang tengah. Ia menghampiri Aksara yang tengah menikmati siaran berita di televisi.
“Mas Aksa,” panggil Anala.
Aksara menoleh ke arah istrinya. Lelaki itu menepuk spot sofa di sampingnya agar Anala duduk di sana.
“Apa yang mau kamu bicarakan, Anala?” tanya Aksara.
“Mas, aku ada rencana untuk buka bisnis,” Anala membuka suara.
“Bisnis? Kamu kekurangan uang?” Aksara mengerutkan keningnya.
“Uang bulanan kamu kurang?” lanjut lelaki itu.
“Bukan begitu, Mas Aksa,” Anala menepis pemikiran suaminya.
“Lalu?” tanya Aksara dingin.
“Seperti yang Mas tahu, aku suka sekali desain. Aku mau buka bisnis merchandise dan desain custom, Mas. Aku kerjanya di rumah, Mas Aksa. Makanya aku butuh ruangan,” jelas Anala.
“Aku udah buat proposalnya buat Mas Aksa review dulu,” Anala menyerahkan map yang digenggamnya ke arah Aksara.
Lelaki dengan kaos hitam itu menerima map tersebut dan mulai mengecek isinya. Aksara mengecek setiap lembarnya dengan teiliti. Di dalam map tersebut ada rencana bisnis, desain, hingga jenis peralatan yang akan digunakan oleh Anala.
Sedangkan Anala harap-harap cemas melihat suaminya yang sedang serius tersebut.
“Kamu sampai menyiapkan sedetail ini?” Aksara memandang Anala secara serius.
“Iya, Mas Aksa,” Anala mengangguk antusias.
Anala dengan sigap membuka tablet yang ia letakkan di atas meja. Dia membuka koleksi desain yang sudah dibuatnya selama ini.
“Ini ada beberapa desain lain yang udah aku buat, Mas,” Anala menunjukkan isi tabletnya kepada Aksara.
“Bagaimana jika aku tidak memberikan izin?” tanya Aksara dengan mata fokus melihat isi tablet Anala.
“Ada tamu yang datang, Nona,” ucap asisten rumah tangga menghampiri Anala yang sedang sibuk dengan laptopnya di ruang tengah.“Siapa, Bi?” tanya Anala penasaran.“Katanya orang interior gitu, Nona. Saya kurang ngerti,” ucap sang asisten rumah tangga sambil tersenyum menampilkan deretan giginya.Anala menggelengkan kepala dan terkekeh mendengar perkataan asisten rumah tangganya itu. Ia segera bangkit dan berjalan menuju ke ruang tamu, menemui orang yang dimaksud oleh asisten rumah tangganya itu.“Selamat siang, Bu Anala, ya?” sapa seorang pria berkemeja salur merah yang sedang berdiri di ruang tamu.“Iya, saya Anala. Panggil nama aja, Kak,” Anala tersenyum ramah.Ia memperhatikan laki-laki yang menyapanya itu. Lalu, beralih pada satu pria lagi yang ada di sampingnya. Anala merasa mengenal lelaki tersebut. Tatapan mereka berdua bertemu, tetapi saling diam.“Silahkan duduk,” Anala mempersilahkan kedua orang itu duduk di sofa ruang tamunya.Setelah itu, perempuan dengan jumpsuit korean wa
“Dasar wanita tidak berguna, sukanya cari muka di depan Kak Aksara,” Shiren geram melihat Anala yang ada di depannya.Shiren menampar pipi Anala sekali lagi. Anala menunduk memegang pipinya yang terasa panas.“Kalau bukan karena belas kasihan Kak Aksa, kamu pasti tidak bisa masuk ke keluarga kita,” Shiren menunjuk wajah Anala.“Sampai kapan kamu akan seperti ini, Shiren?” tanya Anala tenang.“Sampai kamu menyerah dan meninggalkan Kak Aksa. Dasar kalangan rendahan,” setelah mengucapkan itu, Shiren langsung pergi.Kini tinggal Anala sendirian yang ada di dalam kamar mandi tersebut. Ia melihat pantulan dirinya di cermin. Kedua pipinya memerah akibat tamparan keras Shiren. Wanita itu terpaksa memakai masker karena berusaha menutupi bekas tamparan tersebut.Sesampainya di rumah, Anala langsung meminta kompres air kepada asisten rumah tangganya.“Astaga, apa yang terjadi, Nona?” tanya asisten rumah tangga Anala.“Tidak apa, Bi. Tolong jangan bilang ke Mas Aksa ya,” pinta Anala.“Iya, Non. S
“Apa tidak bisa dipertimbangkan lagi, Mas?” Anala coba bernegosiasi dengan suaminya.“Kenapa aku harus mempertimbangkannya?” Aksara malah melontarkan pertanyaan lain kepada Anala.“Apa benefitnya bagi kita berdua?” lanjut lelaki itu dengan tersenyum miring.“Aku ingin coba dulu, Mas Aksa. Setidaknya desain buatanku tidak sia-sia,” Anala melembutkan suaranya.“Aku tidak akan mengabaikan tugasku jadi istri Mas Aksa. Bisnis ini hanya akan aku jalankan untuk menunggu kamu pulang dari kantor,” jelas Anala.“Lagian, aku juga mau sedikit berguna sebagai wanita, Mas. Tidak hanya menjadi beban kamu,” lanjut Anala menunduk lesu.“Siapa yang bilang kamu beban?” Aksara bertanya dengan tajam.Anala yang mendengar hal itu memilih membisu karena tidak berani menjawab.“Siapa, Anala?” tanya lelaki itu sekali lagi.“Ya Mas Aksa pasti tahu siapa orang yang di sekitar Mas,” jawab Anala takut.“Tidak perlu dengarkan mereka,” tegas Aksa.“Jadi, bagaimana jika aku tidak menyetujui proposalmu?” kali ini sua
Aksara membawakan secangkir teh hijau hangat untuk Anala. Ia menyodorkan secangkir teh hijau tersebut untuk diminum oleh istrinya itu. Anala merasa sedikit lega setelah meneguk minuman hangat tersebut. Aksara sengaja membawakan teh tersebut karena tahu istrinya itu masih sakit kepala.Hal tersebut tidak luput dari perhatian anggota keluarga Aksara yang sedang ada di ruang tengah. Ayah Rama bahagia melihat hal tersebut karena senang akhirnya sang putra memiliki sosok yang dicintai. Sedangkan sorot mata Ibu Hesti dan Shiren menyiratkan kebencian.“Aku dan Anala besok akan pindah,” Aksara membuka percakapan.“Kenapa mendadak sekali? Apakah rumah pribadimu sudah siap?” tanya Ayah Rama.“Sudah,” jawab Aksara dingin.“Tidak perlu pindah dulu, Aksara. Di sini saja dulu,” kali ini Ibu Hesti yang membuka suara.“Iya, Kak. Di sini aja dulu, biar aku ada temannya. Lagian nanti Kak Anala kesepian kalau harus di rumah sendirian waktu kakak tinggal kerja,” bujuk Shiren.“Aku tidak sedang meminta iz
“Anala berada di sini bukan untuk menjadi pelayan kalian,” ujar Aksara kepada semua anggota yang tengah berada di meja makan untuk sarapan.“Ada apa, Aksa?” tanya Rama, ayah Aksa dengan suara lemah.“Tanya saja kepada Ibu Hesti dan Shiren, apa yang mereka lakukan kepada istriku?” kata Aksara dingin.“Ada apa ini, Hesti, Shiren?” tanya Ayah Rama kepada istri dan anaknya.Sedangkan orang yang ditanya hanya menunduk dan tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Hal tersebut membuat Aksara merasa geram. Ia menarik tangan Anala perlahan dan menunjukkan ke semua orang yang ada di sana.“Apa yang kalian lakukan sampai tangan Anala begini?” tanya Aksara dingin.“Jawab,” bentak Aksara.“Maaf, Kak Aksa. Aku dan ibu ngga sengaja, Kak,” rengek Shiren mulai mengeluarkan air mata ketakutan.“Iya Aksa, ibu minta maaf. Kami tidak sengaja,” kali ini Ibu Hesti yang memohon.“Aksa, ibu dan adikmu tidak sengaja. Mungkin ini hanya kecelakaan kecil,” ujar Ayah Rama membela dua wanita kesayangannya itu.Aksara m
“Pasti kau mengandalkan bentuk tubuhmu untuk menggoda Kak Aksara,” ujar Shiren, adik Aksara dengan pedas.Anala yang mendengar hal itu hanya bisa menundukkan kepalanya.“Untuk apa Aksara menikahi gadis tidak jelas ini jika bukan karena untuk memenuhi hasrat dan kebutuhan biologisnya,” perkataan pedas itu keluar dari mulut Hesti, ibu tiri Aksara.“Jangan harap kau leluasa menjadi nyonya,” Shien menunjuk tepat di depan muka Anala.Sedangkan orang yang dimaki dengan perkataan kasar itu hanya membisu. Mata Anala memanas, ingin menangis. Tetapi, ia berusaha menahannya. Anala tidak ingin dirinya terlihat lemah. Meskipun kenyataannya memang ia tidak berani bertindak kepada kedua wanita di hadapannya.Anala berpura-pura tuli tidak merespon apapun. Ia tetap ikut duduk di meja makan bersama dengan Shiren dan ibu tiri Aksara. Anala ingin ikut makan siang setelah bersusah payah berkutat memasak dibantu dengan para pelayan.Baru saja Anala ingin menyendokkan sesuap nasi ke mulutnya, tetapi ia suda