Anala melihat ke arah Aksara yang baru saja keluar dari kamar mandi. Suaminya itu sudah berganti pakaian dengan mengenakan piyama. Aksara mengambil tempat di samping Anala-duduk bersandar di atas tempat mereka.
Anala mematikan tablet yang ada di pangkuannya dan meletakkannya di atas nakas. Perempuan itu beringsut mendekat ke arah Aksara. Menyandarkan kepalanya pada pundak sang suami. Memejamkan mata dan menikmati ketenangan itu.
Aksara membalas hal tersebut dengan membawa Anala ke dalam pelukannya. Keduanya sama-sama diam. Hanya menikmati kebersamaan itu.
“Gimana hari ini di kantor, Mas?” Anala membuka obrolan.
“Baik,” jawab Aksara lembut.
“Apakah kamu bahagia?” tanya Aksara lembut kepada Anala.
“Tentu, Mas. Ada kamu, ayah, dan ibu juga di sini,” Anala tersenyum lembut menatap ke arah Aksara.
“Maaf keluargaku belum bisa menerimamu dengan baik,” ujar Aksara sendu.
“Tidak perlu membahas itu, Mas Aksa. Kamu selalu baik dengan aku saja sudah cukup,” Anala mengeratkan pelukannya kepada Aksara.
Aksara mengelus pipi Anala dengan lembut. Lelaki dengan piyama hitam itu mendekat membuat jarak antara wajahnya dengan sang istri hampir terkikis. Aksara menempelkan bibirnya dan Anala.
Mereka berdua diam dalam posisi tersebut selama beberapa saat. Hingga Aksara yang mulai melumat bibir Anala dengan lembut. Kedua tangannya beralih mengelus punggung Anala.
Aksara melepas pagutannya itu. Memberi Anala kesempatan untuk mengambil nafas sebanyak-banyaknya. Aksara mendekatkan bibirnya ke arah telinga istrinya.
“Aku mau kamu, Anala,” bisiknya dan diangguki oleh Anala.
Keduanya larut dalam sebuah penyatuan perasaan yang mendalam. Tidak ada dominasi di sana. Cukup tenang dan membuat perasaan mereka berdua mengalir lega.
Aksara memang merupakan sosok yang pendiam dan cukup dingin. Namun, hal tersebut sedikit berbeda jika lelaki itu berada di dekat Anala. Lelaki itu cukup perhatian dan mengerti apa yang dibutuhkan istrinya. Meskipun terkadang Aksara memenuhinya dengan cara berbeda.
***
Anala menyiapkan sarapan pagi ini dengan hati yang senang. Kehadiran ayah dan ibunya membuat rasa rindunya terobati. Hari ini Aksara juga memutuskan untuk tidak ke kantor karena ingin menemani orang tua Anala di rumah.
Mereka berempat sudah siap di meja makan. Sedangkan dari arah tangga, Shiren baru turun dari arah kamarnya.
“Kak Aksa, aku kantor dulu,” pamit Shiren.
“Sarapan dulu, Shiren,” ajak Anala.
“Tidak usah sok peduli. Aku tidak mau sarapan dengan orang kampungan,” Shiren menggerutu memandang kedua orang tua Anala bergantian.
“Jaga ucapanmu kepada istriku,” ucap Aksara dingin.
Anala memegang lengan Aksara dan menggeleng lembut. Melarang lelaki itu untuk menegur lebih banyak kepada adiknya itu.
“Ya udah, kalau tidak mau sarapan, bawa aja sebagai bekal,” usul Anala.
Wanita itu menyiapkan kotak bekal dan diserahkan kepada Shiren.
“Aku hari ini pulang ke rumah, Kak,” ucap Shiren kepada Aksara dan berlalu meninggalkan mereka semua yang sedang ada di ruang makan.
***
Anala memandangi Aksara dan ayahnya yang sedang bercengkrama di halaman belakang. Keduanya tampak akrab dan asyik bermain catur bersama. Bahkan, tak jarang Aksara terkekeh pelan. Sedangkan ayah Anala juga tertawa lepas di sana.
Wanita dengan dress putih bermotif floral itu tersenyum tenang melihat mereka berdua.
“Mereka berdua sangat akrab ya, Ana,” ibu Anala tiba-tiba sudah ada di samping perempuan itu.
“Iya, Bu,” jawab Anala merangkul tangan ibunya.
“Kamu kuat kan, Ana?” tanya ibunya.
Anala mengangguk.
“Mungkin ini ujian rumah tanggamu. Kalian masih baru menikah. Mungkin keluarga Aksara masih belum bisa menerima kehadiran orang lain,” ucap sang ibu lembut.
“Kamu harus mempertahankan rumah tanggamu, Ana. Buktikan kalau kamu itu layak untuk Aksara,”
“Tapi, kalau mereka sudah keterlaluan jangan diam saja. Kamu masih memiliki orang tua. Meskipun kami dari desa, tapi kami akan berusaha membelamu sepenuhnya,” peringat ibu Anala.
Anala yang mendengar perkataan ibunya itu tak kuasa menahan air matanya. Menumpahkan segala rasa sedih yang selama beberapa waktu ini ia pendam.
“Terima kasih ya, Bu, sudah percaya dan dukung Ana,” ucap Anala di sela isak tangisnya.
Mereka berdua saling berpelukan dan Anala masih terisak. Aksara yang sedang melihat ke arah sekitar tak sengaja menangkap pemandangan itu. Ia berjalan mendekat ke arah Anala. Langkahnya tenang, namun raut wajahnya cukup khawatir.
“Kenapa, Anala?” pertanyaan Aksara itu membuat Anala dan sang ibu menguraikan pelukannya.
“Nggak apa-apa, Mas,” Anala mencoba tersenyum ke arah suaminya.
“Kamu sakit?” Aksara mencoba menyentuh dahi dan leher Anala dengan telapak tangannya.
Ekspresi wajah Aksara menunjukkan raut khawatir. Hal itu membuat ibu Anala tersenyum tipis karena melihat sang menantu begitu perhatian dengan anaknya.
“Ana tidak kenapa-napa, Nak Aksa. Hanya sedang meluapkan kangennya kepada ibu,” jelas ibu dan berjalan ke arah taman belakang, menikmati waktu bersama ayah Anala.
Aksara yang masih merasa khawatir langsung menarik tubuh Anala ke dalam pelukannya.
“Kalo sakit bilang, Anala. Jangan ditahan. Ada aku,” Aksara mengelus punggung istrinya dengan lembut.
“Tenang aja, Mas. Aku baik-baik aja,” Anala membalas pelukan suaminya.
Fokus mereka berdua terusik ketika ada dering ponsel Aksara menggema di pendengaran mereka. Aksara merogoh sakunya untuk mengambil ponsel dan mengecek siapa yang menghubunginya. Lelaki itu mengernyit ketika nama ibu Hesti tertera di sana.
“Ada apa?” tanya Aksara dengan dingin setelah teleponnya terhubung.
“Ayah terkena serangan jantung, Aksara,” suara ibu Hesti di seberang sana terdengar sangat panik.
Anala melihat ke arah Aksara yang baru saja keluar dari kamar mandi. Suaminya itu sudah berganti pakaian dengan mengenakan piyama. Aksara mengambil tempat di samping Anala-duduk bersandar di atas tempat mereka.Anala mematikan tablet yang ada di pangkuannya dan meletakkannya di atas nakas. Perempuan itu beringsut mendekat ke arah Aksara. Menyandarkan kepalanya pada pundak sang suami. Memejamkan mata dan menikmati ketenangan itu.Aksara membalas hal tersebut dengan membawa Anala ke dalam pelukannya. Keduanya sama-sama diam. Hanya menikmati kebersamaan itu.“Gimana hari ini di kantor, Mas?” Anala membuka obrolan.“Baik,” jawab Aksara lembut.“Apakah kamu bahagia?” tanya Aksara lembut kepada Anala.“Tentu, Mas. Ada kamu, ayah, dan ibu juga di sini,” Anala tersenyum lembut menatap ke arah Aksara.“Maaf keluargaku belum bisa menerimamu dengan baik,” ujar Aksara sendu.“Tidak perlu membahas itu, Mas Aksa. Kamu selalu baik dengan aku saja sudah cukup,” Anala mengeratkan pelukannya kepada Aks
Bab 7Anala berjalan menyusuri tangga menuju lantai satu masih dengan balutan piyama tidurnya. Ia melangkah terburu-buru karena bangun kesiangan. Ini karena sang suami perlakuan Aksara yang tidak membiarkannya tidur nyenyak semalam.Wanita itu melangkah menuju ruang makan. Di sana sudah ada Aksara dan Shiren yang tengah menikmati sarapan mereka.“Maaf aku kesiangan,” Anala merasa tidak enak.“Sarapan, Anala,” ajak Aksara.Anala mengangguk dan menarik kursi yang ada di samping suaminya. Aksara dengan mengambil selembar roti dan mengoleskan selai stroberi di atasnya. Lelaki itu meletakkan roti tersebut di atas piring di depan Anala.“Terima kasih, Mas,” Anala tersenyum manis kepada Aksara.“Dasar tidak tahu diri. Sudah hidup menumpang. Malah seenaknya sendiri,” cibir Shiren sembari menguyah makanan yang ada di hadapannya.“Harusnya kamu itu siapkan sarapan untuk kami. Aku dan Kak Aksara itu mau pergi ke kantor. Kamu malah enak-enakan tidur,” kali ini Shiren langsung menujukan omongan ka
“Ada tamu yang datang, Nona,” ucap asisten rumah tangga menghampiri Anala yang sedang sibuk dengan laptopnya di ruang tengah. “Siapa, Bi?” tanya Anala penasaran. “Katanya orang interior gitu, Nona. Saya kurang ngerti,” ucap sang asisten rumah tangga sambil tersenyum menampilkan deretan giginya. Anala menggelengkan kepala dan terkekeh mendengar perkataan asisten rumah tangganya itu. Ia segera bangkit dan berjalan menuju ke ruang tamu, menemui orang yang dimaksud oleh asisten rumah tangganya itu. “Selamat siang, Bu Anala, ya?” sapa seorang pria berkemeja salur merah yang sedang berdiri di ruang tamu. “Iya, saya Anala. Panggil nama aja, Kak,” Anala tersenyum ramah. Ia memperhatikan laki-laki yang menyapanya itu. Lalu, beralih pada satu pria lagi yang ada di sampingnya. Anala merasa mengenal lelaki tersebut. Tatapan mereka berdua bertemu, tetapi saling diam. “Silahkan duduk,” Anala mempersilahkan kedua orang itu duduk di sofa ruang tamunya. Setelah itu, perempuan dengan jumpsuit ko
“Dasar wanita tidak berguna, sukanya cari muka di depan Kak Aksara,” Shiren geram melihat Anala yang ada di depannya.Shiren menampar pipi Anala sekali lagi. Anala menunduk memegang pipinya yang terasa panas.“Kalau bukan karena belas kasihan Kak Aksa, kamu pasti tidak bisa masuk ke keluarga kita,” Shiren menunjuk wajah Anala.“Sampai kapan kamu akan seperti ini, Shiren?” tanya Anala tenang.“Sampai kamu menyerah dan meninggalkan Kak Aksa. Dasar kalangan rendahan,” setelah mengucapkan itu, Shiren langsung pergi.Kini tinggal Anala sendirian yang ada di dalam kamar mandi tersebut. Ia melihat pantulan dirinya di cermin. Kedua pipinya memerah akibat tamparan keras Shiren. Wanita itu terpaksa memakai masker karena berusaha menutupi bekas tamparan tersebut.Sesampainya di rumah, Anala langsung meminta kompres air kepada asisten rumah tangganya.“Astaga, apa yang terjadi, Nona?” tanya asisten rumah tangga Anala.“Tidak apa, Bi. Tolong jangan bilang ke Mas Aksa ya,” pinta Anala.“Iya, Non. S
“Apa tidak bisa dipertimbangkan lagi, Mas?” Anala coba bernegosiasi dengan suaminya.“Kenapa aku harus mempertimbangkannya?” Aksara malah melontarkan pertanyaan lain kepada Anala.“Apa benefitnya bagi kita berdua?” lanjut lelaki itu dengan tersenyum miring.“Aku ingin coba dulu, Mas Aksa. Setidaknya desain buatanku tidak sia-sia,” Anala melembutkan suaranya.“Aku tidak akan mengabaikan tugasku jadi istri Mas Aksa. Bisnis ini hanya akan aku jalankan untuk menunggu kamu pulang dari kantor,” jelas Anala.“Lagian, aku juga mau sedikit berguna sebagai wanita, Mas. Tidak hanya menjadi beban kamu,” lanjut Anala menunduk lesu.“Siapa yang bilang kamu beban?” Aksara bertanya dengan tajam.Anala yang mendengar hal itu memilih membisu karena tidak berani menjawab.“Siapa, Anala?” tanya lelaki itu sekali lagi.“Ya Mas Aksa pasti tahu siapa orang yang di sekitar Mas,” jawab Anala takut.“Tidak perlu dengarkan mereka,” tegas Aksa.“Jadi, bagaimana jika aku tidak menyetujui proposalmu?” kali ini sua
Aksara membawakan secangkir teh hijau hangat untuk Anala. Ia menyodorkan secangkir teh hijau tersebut untuk diminum oleh istrinya itu. Anala merasa sedikit lega setelah meneguk minuman hangat tersebut. Aksara sengaja membawakan teh tersebut karena tahu istrinya itu masih sakit kepala.Hal tersebut tidak luput dari perhatian anggota keluarga Aksara yang sedang ada di ruang tengah. Ayah Rama bahagia melihat hal tersebut karena senang akhirnya sang putra memiliki sosok yang dicintai. Sedangkan sorot mata Ibu Hesti dan Shiren menyiratkan kebencian.“Aku dan Anala besok akan pindah,” Aksara membuka percakapan.“Kenapa mendadak sekali? Apakah rumah pribadimu sudah siap?” tanya Ayah Rama.“Sudah,” jawab Aksara dingin.“Tidak perlu pindah dulu, Aksara. Di sini saja dulu,” kali ini Ibu Hesti yang membuka suara.“Iya, Kak. Di sini aja dulu, biar aku ada temannya. Lagian nanti Kak Anala kesepian kalau harus di rumah sendirian waktu kakak tinggal kerja,” bujuk Shiren.“Aku tidak sedang meminta iz