Home / Urban / Bukan Pengawal Biasa / Rumah Presiden Diserang

Share

Rumah Presiden Diserang

Author: Bintang Perak
last update Last Updated: 2024-04-20 14:04:13

Sudah memakan setidaknya empat jam dari awal dia memulai, kuas bercat digoreskan dengan sangat hati-hati. Art benar-benar tidak ingin mengecewakan Tuan Presiden, lukisan Krystal harus semirip mungkin dengan aslinya. Tidak masalah seberapa lama dia akan menghabiskan waktu.

Tanpa bersuara, langkah kaki Paman Delbert makin mendekat. Tatapan tidak beralih dari lukisan yang sedang dikerjakan Art. "Kau benar-benar luar biasa, Nak,” pujinya.

"Uhh, Paman. Sejak kapan kau di sana?" tanya Art, sekilas menoleh ke belakang di mana Delbert berdiri.

"Baru saja," jawab Delbert, pandangannya tetap pada lukisan. "Kau hanya baru menyelesaikan bagian wajah dan rambutnya, tapi aku sudah sekagum ini."

Disikapi Art dengan senyuman. "Ini bahkan belum kusempurnakan, Paman."

Delbert menggeleng, tak bisa berkata-kata.

Tidak terdengar obrolan lagi setelahnya, suasana disergap keheningan dan Delbert resmi jadi penonton.

Tiga jam sudah berlalu. Bagian tubuh Krystal dan gaun birunya sudah sempurna dalam lukisan.

Waktu menunjuk angka jam sepuluh malam.

"Sebaiknya istirahat dulu, Nak. Kau bisa teruskan setelah lelahmu hilang." Delbert melihat jemari Art mulai melemah mengatur kuas, tak akan baik hasilnya jika memaksa.

"Kau benar, Paman. Sepertinya aku butuh merebah beberapa saat." Art mengambil kesempatan itu.

"Itu lebih baik," kata Delbert. "Gunakan sofa di sana untuk melenturkan otot-ototmu."

"Baik, Paman."

Sofa itu ada di pojok berdekatan dengan jendela yang mengarah ke view halaman belakang yang indahnya luar biasa.

Delbert berlalu pergi untuk memberi ruang dan waktu.

Dimanfaatkan Art untuk beristirahat. Dari ujung jemari sampai lengan bagian atas, dia merasakan pegal lumayan kuat. Tidur sejenak mungkin akan mengembalikan energi yang sudah lemah. Namun sebelum itu, alarm ponsel disetelnya terlebih dulu, cemas akan kebablasan hingga esok pagi.

Satu jam dari sekarang.

****

"Lapor, Ketua! Gerbang utama berhasil mereka terobos!" Seorang lelaki kurus memberitahu dengan nada panik. Kepalanya menoleh berulang-ulang ke belakang, cemas tak main-main.

Yang disapa ketua sontak kelabakan. "TAHAN MEREKA SEMUA! JANGAN SAMPAI BERHASIL MENEMBUS KE DALAM!" Dia mengomando anak buahnya dengan suara keras.

Semua berhambur ke bagian halaman untuk membantu teman-teman mereka yang sudah terjun lebih dulu di kegaduhan.

Puluhan pria datang dengan senjata tajam menyerbu rumah presiden. Tidak ada waktu untuk bermain tebak-tebakan siapa dalang di balik penyerangan ini.

Pasukan pengamanan yang ditugaskan di kawasan itu mendadak bekerja keras tanpa pemberitahuan. Sebisa mungkin mereka harus menghalau para penjahat sebelum membahayakan seisi rumah.

Di ruangan lukisnya, Art tidak sadar jika dia sudah tidur lebih dari dua jam. Alarm yang diaturnya ternyata dalam mode senyap, jelas tak akan berbunyi.

Sepasang bola matanya terbuka sontak langsung melotot. Signal dalam kepala bekerja cepat, suara-suara tak biasa ditangkap pendengarannya. Bukan suara Paman Delbert atau para pelayan yang membangunkan, jelas berbeda dan Art tak akan menerka sampai ke sana. Dia bangun lalu melongok melalui jendela, pemandangan di bawah sana mengejutkannya.

Banyak pria tengah terlibat dalam perkelahian.

"Apa mereka sedang berlatih?" tanya Art pada dirinya, sedikit merasa aneh. Dia berpendapat, setidaknya carilah tempat dan waktu yang tepat jika itu memang latihan. Namun detik selanjutnya, pasang matanya menyipit tajam, memerhatikan seorang pria yang baru saja terkapar dengan tusukan di bagian bahu menyusul darah yang merembas di sekitarnya. Cukup menyentak kesadaran Art, walaupun jarak dari lantai tiga ke lantai dasar lumayan tinggi, dia bisa memastikan kebenaran penglihatannya.

"Tidak, tidak ada latihan apa pun di sana," dia bergumam, menyadari sesuatu lebih serius dari pada itu. Dia melanting dari tempatnya, penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya di bawah sana.

Tidak terpikir melalui lift seperti tadi siang bersama Delbert, dia menuruni tangga dengan langkah terburu-buru, bahkan lebih dari itu.

Menjejaki lantai kedua, Art tiba-tiba merasa ada di dunia peri. Perabotan yang tertata semua bertema wanita. Tapi itu bukan yang dia tuju, harus segera mencari tangga untuk turun ke lantai satu.

Sayang, selalu ada godaan di tengah rasa terburu-buru.

Art memasuki sebuah ruangan luas yang bukan sejenis kamar. Suara musik disetel nyaring. Tapi bukan itu yang membuat langkah kakinya jadi terganggu.

Dua orang nampak kelabakan dengan kemunculannya. Menghalangi tubuh setengah polos mereka menggunakan bantal sofa sebisa-bisa.

"Siapa kau?!" Pria dari pasangan itu bertanya.

Dengan cepat Art memalingkan wajah, melambaikan tangan ke belakang lalu berbalik pergi.

"Sial!" rutuknya seraya berjalan cepat, meninggalkan tempat itu seraya bersungut-sungut. "Bisa-bisanya mereka bercinta di saat genting."

Ternyata tangga itu ada di pojok menempel dengan dinding paling tepi dari bangunan, Art menemukannya dan turun ke lantai satu.

Sampai di sebuah ruangan, dia mendapati pemandangan yang mengerikan. Seorang wanita berpakaian pelayan tergeletak di bawah lantai dalam keadaan bersimbah darah.

Art ingat, wanita itu adalah yang tadi mengantarkannya makanan dan minuman ke ruang lukis. Sesaat dia membatu, mengingat bagaimana pelayan paruh baya itu menyemangatinya dengan senyum sangat mengembang.

"SELAMAT MENEMPUH AJALMU, PAK TUA!"

Teriakan berbau anarkis tersebut menarik dan menyentak perhatian Art dari irama melow. Dia kembali ke mode sadar dalam sekejap, langsung melanting ke arah ruangan yang berada di sayap kiri.

Dan ....

"AAAARRRGGGHH!"

Teriakan kesakitan mendengking membelah langit.

Delbert terkejut setengah mati, bola matanya melotot lebar. Pria yang baru saja hampir menghabisinya sudah lebih dulu ambruk dengan luka serius di kepala bagian depan. Wajah Delbert bahkan terkena cipratan darah.

"Art!" pekik Delbert.

Art berdiri tegak dengan tatapan tajam. Orang tadi dikepruknya menggunakan vas bunga yang terbuat dari guci lumayan besar, dia ambil dari sebuah meja.

"Anda baik-baik saja, Paman?"

Delbert ingin mengangguki pertanyaan Art, tapi kepalanya mendadak kaku, pun dengan mulutnya yang turut terasa beku, tidak bisa berkata. Seumur hidupnya selain di dalam film, tidak sekali pun dia pernah melihat apalagi mengalami kekerasan yang mengerikan seperti yang baru saja terjadi di hadapannya.

Sebenarnya Art ingin mendengar jawaban Delbert, tapi sesuatu membuatnya tidak bisa menunggu.

Satu orang pria bersenjata api datang dari arah tangga lantai dasar. Dengan seringai, pria itu mengarahkan laras panjangnya ke arah Art, berpikir semua akan selesai dalam sekejap, termasuk Delbert yang semakin mengkhawatirkan sisa umurnya.

Dua detik digunakan Art untuk berpikir, mengedarkan bola mata untuk mencari sebuah benda. Sampai kemudian dia menemukan sesuatu di bawah kaki.

Dan ....

Hanya dengan sebilah pecahan guci, Art membuat senjata itu terlempar dari tangan pemegangnya.

Pria itu tentu terkejut. Tendangan kecil yang mengacaukan.

Tanpa membuang waktu, keduanya berjalan saling mendekat, lalu mulai bergelut dengan tangan tak bersenjata. Adu jotos berlangsung cepat. Art menunjukkan sisi lain dalam dirinya. Selain pandai melukis, dia juga hebat dalam kelahi. Delbert tidak menyangka sampai ke sana.

Setelah berhasil menumbangkan satu lawannya, lainnya datang dengan jumlah tak hanya tiga.

Rumah presiden kini persis sarang penyamun.

Delbert menyisi ke satu bagian bersama seorang pelayan wanita yang sama tua, mungkin istrinya. Sedangkan Art sibuk seorang diri menghadapi para begundal.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Pengawal Biasa   Chapter 35

    Perkelahian sengit terjadi di bawah terowongan rel kereta api, pukul sembilan waktu setempat. Satu lawan empat. “JANGAN LARI KAU, BEDEBAH!!!” Satu meneriaki dengan suara keras, lalu mengejar. “KEMBALIKAN TAS ITU PADA KAMI!” Lawan tunggalnya terus berlari menembus gelap tak peduli suara-suara rusuh di belakangnya. Sebuah tas hitam berukuran 30x20 senti ikut berjoged di tangan kanan, terayun terombang-ambing namun tetap dipertahankan. “Ck! Kemana larinya sialan itu?!” Dua dari empat orang yang tersisa berkeliling badan mengedar tempat, setelah dua lainnya pingsan lebih dulu habis dihajar musuh yang hanya satu. Tak mereka dapati orang yang sedang mereka kejar, tiba-tiba saja menghilang entah kemana. Namun detik berikutnya .... HAPP! DUGG! Setungkai kaki panjang entah dari mana munculnya menendang dua orang tadi sekaligus. Keduanya tersungkur sampai ke tengah rel. Ternyata orang itu bersembunyi, menunggu lawannya lengah. “Keparat!” teriak salah satunya seraya mengusap cairan mera

  • Bukan Pengawal Biasa   Chapter 34

    “Apa alasan Anda begitu percaya pada anak itu, Ketua?” Sargas bertanya pada Jared, ingin tahu. Saat di markas besar Phantom, Jared bukan lagi seorang presiden, melainkan ketua Phantom, itulah alasan panggilan Sargas sesaat lalu. Acara sarapan pagi baru saja usai. Ternyata tidak ada pembahasan penting apa pun seperti yang dikatakan Jared. Art hanya diperkenalkan dengan Awan Ketujuh--lantai ajaib Phantom. Dan anak itu baru saja berlalu dari ruangan bersama Demian Goon. Jared tersenyum, dia sudah paham benar apa yang ada dalam pikiran dan pandangan Sargas terhadap Art. Pria kacamata itu belum bisa mempercayai, terlebih Art hanya anggota baru yang bahkan belum genap enam bulan bergabung dengan Phantom Security. “Dia pelindung putriku. Aku hanya menghargai pekerjaannya,” jawab Jared, masih santai. “Dengan mempersembahkan Awan Ketujuh?” sergah Sargas, keberatan. “Ya,” jawab Jared. “Dia pantas mendapatkan penghargaan ini.” “Tapi, Ketua--” “Berulang kali putriku dicelakai musuh, berul

  • Bukan Pengawal Biasa   Chapter 33

    Menyadari dirinya melewati batas, Art segera menjauhkan diri. Baju depan Krystal yang kancingnya sudah dibuka tiga oleh tangannya, dia rapikan lagi.“Maaf, aku hanya terbawa suasana, aku tidak bermaksud begitu,” ujarnya menyesali. Mulanya dia berniat bangkit, berjalan-jalan untuk setidaknya membuang keinginan kuat dari kelelakiannya, namun ....“Art!”Krystal menahan tangannya.Mereka bersitatap lagi.“Aku tidak keberatan!” kata Krystal, lalu menelan ludah setelahnya, merasa ganjil menyikapi dirinya sendiri.Art mengerut kening. “Maksudmu?”Sesaat Krystal terdiam. Bibirnya bergerak-gerak, ragu untuk berkata. Napas dipautnya sebentar, modal mendorong diri dan suaranya agar keluar. Sampai kemudian .... “Aku tidak keberatan melakukan hal yang tadi. Bukankah kita ....” Rasa ragu itu muncul lagi, namun tak lama .... “suami istri?” tandasnya.Demi apa pun Art terkejut, tak menyangka dia akan mendengar itu dari mulut seorang Krystal yang dasarnya begitu takut dengan hubungan demikian dengan

  • Bukan Pengawal Biasa   Chapter 32

    “Bagaimana bisa ada ular sebesar itu di dalam mobil?” Art berkicau tak habis pikir.Saat ini dia dan Krystal sudah berada di dalam kendaraan yang sama, mulai melaju meninggalkan area danau.“Mungkin terjatuh dari pohon.”Menanggapi asumsi Krystal, pikiran Art bergerak mundur ke pemandangan tempat di mana mobil dia parkirkan tadi.“Tidak mungkin!” sanggahnya setelah dengan jelas meraih ingatan, hanya berlangsung tujuh detik saja. “Pohon sekurus itu tidak akan mungkin menampung ular sebesar tadi. Jika dari danau, tidak ada bekas di rerumputan pergerakannya.”Ukuran phyton itu sebesar betisnya, panjang dan bertenaga, sementara pohon yang disebut Krystal terlihat tak memungkinkan. Daunnya saja hampir botak. Pohon lain lebih sehat bahkan berjauhan jarak.“Huh, lebih jelasnya ular itu sedang berjemur!” sungut Art, kesal sendiri.Krystal terkekeh tanpa suara.Art sempat kesulitan menyingkirkannya karena sang reptil terus berontak dan berusaha ingin melilit. Beruntung dia punya banyak cara. S

  • Bukan Pengawal Biasa   Chapter 31

    Selepas dari kegiatan mengunjungi anak-anak di panti asuhan siang ini, Krystal meminta Art berbelok ke suatu arah di mana ada hamparan Danau Biru menguasai sebuah wilayah di timur Arvis.“Kenapa tiba-tiba ingin ke sini?” tanya Art, ingin tahu. Dia menurunkan tubuh, ikut duduk seperti Krystal di bawah pohon tepian danau.“Udara segar di sini membuatku tenang,” jawab Krystal tanpa mengalihkan tatapan dari depan. “Saat kecil aku sering ke sini bersama Ibu.” Bibirnya menarik senyum, membayangkan masa-masa berkesan itu.Dia sudah bisa mengatur perasaan di hadapan Art. Lebih tenang dan biasa tanpa ada letupan di dalam dada.Art mengangguk sekali sebagai tanggapan. “Sayang sekali kita tidak membawa makanan, minuman, buah-buahan dan alas duduk.”“Kau benar. Andai mereka ada, ini akan terlihat seperti piknik sungguhan.” Krystal sependapat.“Memang sungguhan," sanggah Art. “Hanya makan minum dan alas duduk yang membedakan.”Krystal tersenyum sedikit lebih lebar kali ini.Dalam beberapa saat ked

  • Bukan Pengawal Biasa   Chapter 30

    Selang dua hari kemudian ....Suara derap langkah kaki milik Mesach Shiloh menggema di sebuah lahan sepi jauh dari pedesaan Nadav, kemudian melambat, kaku dan membelalak setelah penglihatannya dikuasai sesuatu beberapa meter di depan sana.Beberapa saat Shiloh membeku, sementara isi kepala terus mencerna keadaan.Pohon yang hanya berdiameter kurang lebih tiga puluh senti beberapa jarak di depan, mengekang seseorang dengan seutas ikatan di batang induk berserat kasar.“Dia benar-benar menepati janjinya,” gumam Shiloh, takjub, juga sedikit masih tidak percaya.Dia yang dimaksudnya tentu adalah Art.Orang itu, pria yang diikat di badan pohon itu ... adalah orang yang telah membuat putri Shiloh menetap di rumah sakit jiwa hingga sekarang. Dia adalah si perampok sekaligus pemerkosa yang sudah tiga tahun ini buron, selalu beruntung dan lolos dari kejaran polisi.Tapi Art ... semudah ini anak itu menangkapnya. Bagaimana bisa?“Tuhan memberkati melalui tanganmu, Anak Muda.”Ponsel di saku Shi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status