“Tuan Presiden!” Suara Art setengah memekik, menunjukkan keterkejutan. Sesosok wajah menguasai penglihatannya saat ini.
Jared Filmore, pria nomor satu di negara itu datang dengan kawalan ketat, berjejer para pria tinggi dengan jas hitam senada di belakangnya. Siapa yang percaya ini? Tidak ada, bahkan dirinya sendiri. Art si pelukis tidak terkenal kedatangan tamu agung yang dielukan seluruh penjuru negeri karena kepemimpinan yang bagai oase di tengah gurun---katanya.Pengetahuan Art hanya sebatas pria itu adalah seorang presiden. A I U E O-nya, dia merasa tidak tertarik untuk tahu."Apakah Anda Tuan Artlan?" tanya Jared.Dengan sedikit gugup Art menjawab, “Benar, Tuan. Saya Artlan,” akunya. Sebisa mungkin menata diri agar tidak terlihat konyol. “Tapi mereka memotongnya menjadi Art,” dia menambahkan.Jawaban itu menarik senyuman tipis di bibir Jared, mengangguk ringan sedikit merasa lucu. Entah siapa 'mereka' yang dimaksud oleh pemuda berambut gondrong itu. "Umm, Tuan Artlan ....”"Art! Sebut saja Art! Tidak perlu sekompleks itu. Saya merasa tidak pantas, terlebih oleh orang seperti Anda."Jared terkekeh kecil menanggapi sikap yang apa adanya. "Memangnya seperti apa aku?"Art tersenyum 'tak berlebihan. "Sepertinya tidak perlu saya jelaskan, Anda sudah tahu jawabannya, Tuan."Jared malah tertawa. "Baiklah kalau begitu,” katanya tidak memperpanjang. "Jadi Art, bolehkah saya masuk?"Art kelabakan sendiri menyadari kebodohannya, membiarkan pembicaraan dengan orang penting berlangsung di ambang pintu. "Oh, maaf dengan itu," katanya. "Silakan, Tuan." Dia menepi dengan satu tangan terjulur ke dalam memberi ruang pada tamu istimewanya untuk masuk. "Maaf, tempatnya sedikit berantakan.""Tidak masalah," tanggap Jared.Sebuah bangunan kecil dan sederhana. Terletak di antara himpitan sungai kecil dan sebidang tanah yang ditanami beberapa jenis bunga dan sayuran. Tidak ada yang berantakan di dalam rumah seperti yang dikatakan Art tadi, semua tersusun sesuai porsi dan kepantasan yang lumayan menyita mata.Jared Filmore dengan tetap diikuti dua pengawal berkeliling melihat-lihat. Bukan dinding bercat kelabu atau lampu yang tergantung seperti cula badak yang menjadi sejurus perhatiannya, dia menikmati beragam lukisan indah yang dihasilkan oleh kemahiran tangan seorang pemuda bernama Art. “Lukisan-lukisan yang indah. Karya yang tak pantas dibelakangi.” Dari lukisan, pandangan Jared beralih ke wajah Art, ada senyuman bangga di wajahnya yang tak lagi muda. "Sesuai dengan namamu, Art ... kau adalah seni."Art menanggapi pujian itu dengan ucapan terima kasih sedalam hati. "Saya tersanjung. Terima kasih, Tuan Presiden."Jared tersenyum lagi.Tepat di sebilah dinding yang tergores lukisan pemandangan indah di dasarnya, Jared melebarkan senyum. Menyapu setiap detail dengan perasaan lebih bangga lagi. "Inilah alasan kenapa aku datang kemari menemuimu, Nak. Aku melihat karya yang sama di taman kota, dan ada namamu di sana." Lantas dia menoleh Art yang nampak canggung berdiri di sampingnya. "Aku ingin kau melukis dinding rumahku sebagai hadiah untuk putriku."ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ“Kau memancing ikan yang besar. Pergilah dan lakukan kesenanganmu. Hari ini tidak ada tugas yang penting.”Art memulas senyum menyikapi lawan bicara di line telepon. "Kupegang kata-katamu, Pak Tua," ujarnya seraya meraih sebotol parfum lalu menyemprotkan asal saja ke leher serta bagian dada. Cermin di dalam kamar bernuansa monokrom itu nampak bening memantulkan bayangannya yang tidak pernah berlebihan dalam segala hal, kecuali beberapa yang mencubit ketenangannya. “Jangan menggangguku dengan misi yang mendadak.”Lawan bicara di seberang tertawa keras, "Kali ini kau boleh mematikan ponsel. Aku akan sibuk di dapur untuk menggulung sushi."Panggilan diputus.Layar ponsel ditatap Art sembari tersenyum sebal. "Sialan itu! Awas saja kalau sampai dia berulah dengan panggilan yang tiba-tiba.” Lalu dimasukannya benda pintar itu ke dalam saku celana.Semua yang dibutuhkan telah menyatu di dalam tas ukuran sedang, Art menentengnya di tangan kanan. Waktu mendorongnya keluar untuk menjalankan permintaan seorang Jared Filmore yang katanya ingin dibuatkan lukisan dinding.Dari rumah galery, Art melaju bersama sebuah sepeda motor yang dibelinya dari Tobias Ricky, seorang teman yang bergelut dengan dunia balap dan otomotif.Satu jam lebih setengah, waktu yang dimakan untuk sampai di istana Filmore.Setelah memastikan motornya terparkir dengan baik, lelaki muda itu berjalan memasuki area halaman dengan tas gendong di balik punggung, melangkah tanpa canggung. Pandangan disapukannya ke sekitaran, ada banyak penjaga mengisi beberapa titik.Melihatnya berjalan, para penjaga itu memasang kewaspadaan tinggi, berpikir dirinya mungkin saja seorang penjahat, atau terburuknya dia dianggap orang gila yang meminta segigit apel.Tapi kemudian seorang pria dengan usia mungkin setengah abad atau lebih, datang dari dalam rumah dan menghampiri."Apakah kau yang bernama Art?"Angguk dan jawaban 'iya' dari Art langsung dibalas cepat dengan gestur mempersilakan untuk masuk ke dalam rumah oleh pria itu.Para penjaga kembali ke posisi tegak, mematahkan kewaspadaan mereka terhadap pemuda yang dilihat dari sisi mana pun tidak ada pantas-pantasnya sebagai tamu keluarga naratama, dia datang dengan sebuah motor butut. Dari segi penampilan, Art juga terlalu apa adanya. Jeans panjang dipadu kemeja putih dibalut rompi rajut bercorak zigzag, membalut tubuhnya yang entah berotot atau tidak. Ukuran longgarnya terlalu menginterupsi."Panggil aku Paman Delbert."Mendengar perkenalan dari pria tua itu, Art mengangguk diiringi senyum. "Baik, Paman Delbert."Perjalanan Art bersama si pria tua sudah sampai di sebuah koridor setelah melewati tiga ruangan luas. Ada sepasang pintu elevator, mereka berdua memasuki kotak logam itu bersamaan, sampai berakhir di lantai empat."Ini adalah dinding yang disiapkan Tuan Presiden." Delbert menunjukkan dengan tangannya. Sebilah dinding di sebuah ruangan yang luasnya berkisar lima kali lima meter, sudah tersaji dengan cat seputih salju. “Dan ini adalah foto yang harus kau lukis.”Art mengecilkan mata saat melihat sebingkai foto di atas meja kecil yang di dalamnya berisi potret seorang gadis dengan senyuman lebar tak dibuat-buat. "Kenapa aku merasa tak asing dengan wanita itu," kata hatinya, naik ke kepala lalu memikirkannya."Nona Krystal Filmore, putri satu-satunya Tuan Presiden." Pak Tua Delbert memberitahu seolah bisa membaca apa yang ada dalam pikiran pemuda itu."Ouh," Art mengangguk kecil. Dia tahu presiden memiliki seorang putri, tapi baru tahu jika sosoknya seperti itu--yang ada di foto. "Lalu di mana Tuan Presiden?" tanyanya mengesampingkan pikiran lucu tentang sosok seorang Krystal.“Tuan Presiden ada pertemuan dengan para menteri. Beliau menyerahkan semua bagian ini padaku," jelas Delbert. Terang saja, pria itu dalah orang kepercayaan Jared untuk mengurus segala hal mengenai rumah.Art mengangguk paham tanpa bertanya lagi.Meja berisi vas foto Krystal tadi diluruskan Delbert untuk mempermudah lingkup pandangan Art. "Lukislah sebaik mungkin, Nak. Jangan kecewakan Tuan Presiden, karena ini disiapkan sebagai kado ulang tahun untuk Nona. Aku akan suruh pelayan mengantarkan makanan dan minuman untuk menemani pekerjaanmu."Art mengangguk dengan senyuman. “Aku akan berusaha.”Keadaan di pengungsian mendadak ricuh.Hilangnya Krystal dan Art membuat semua penghuni diserang cemas termasuk teman-temannya. Dibantu warga, mereka menyisir semua tempat yang kemungkinan didatangi Krystal dan juga Art pagi ini atau mungkin dari semalam."Barang-barang mereka masih ada, tapi kemana perginya?" Satu teman wanita yang paling dekat dengan Krystal mondar-mandir di depan tenda, cemas. Melly, namanya Melly Howard."Mereka pasti baik-baik saja, Melly. Mungkin hanya berjalan-jalan. Aku yakin hubungannya dengan Art juga tak sederhana seperti katanya. Art setampan itu, Krystal tidak akan mengabaikannya ya, 'kan?" Gadis berambut panjang dengan riasan tebal berasumsi tenang, bahkan diselip senyum---Pearl Odette."Tapi Krys tak membawa ponsel, itu bukan kebiasaannya!" hardik Melly. "Dia juga bukan wanita bodoh yang pergi tanpa izin lalu membuat cemas semua orang, Pearl!" Dia tak peduli hubungan seperti apa yang dijalani Krystal dengan seorang Art, yang jelas keselamatan mereka le
"Kalau kau mendekat, gadis ini akan kulempar ke sungai!" Sebenarnya Art bukan tipe orang yang takut dengan ancaman, tapi keadaan saat ini benar-benar di luar dugaan. Dia menoleh ke bawah sana. Aliran sungai terlihat deras dalam keadaan cukup keruh, hujan masih terus turun hingga sore kemarin. Orang itu juga tak ada nampak bercanda, jadi Art harus benar berhati-hati. Berpikir sesaat, sampai .... "Diam di tempatmu atau kau akan menyesal." Sedikit gertakan mungkin akan berhasil. Tapi yang terlihat pria itu justru memasang seringai. "Kapan lagi aku punya kesempatan mati bersama putri presiden." Art langsung membulatkan mata. Pria itu ternyata tahu jika Krystal adalah seorang putri presiden. "Siapa kalian sebenarnya?" Dia menyipitkan mata. Rupanya penculikan ini tak sederhana. Mereka mengetahui jelas siapa Krystal, demikian berarti semua yang mereka lakukan sudah matang direncanakan. "Hahahaha!" Pria itu malah tertawa. Tak nampak sedikit pun raut lelah dan pegal di wajahnya, tubuh K
Dalam mobil itu terasa hening. Krystal diam dengan pandangan mengarah ke jalanan di balik kaca, sementara Art fokus pada kemudi.Sesaat sebelum keluar motel, gadis itu sempat meminta maaf untuk kesalahan konyolnya pada Art, tapi tanggapan pria itu terlalu sederhana baginya yang berucap sungguh-sungguh. Alhasil sekarang perasaannya malah bertambah kacau makin tak tenang."Tak perlu berlebihan, aku tak akan terpengaruh dengan hal kecil."Terus terngiang di telinga Krystal, sesombong itu perangai seorang pengawal. Dia tak memiliki kata lain untuk menimpal. Pria itu ... entah kenapa lebih mengintimidasi dari pada ayahnya sendiri."Kita sudah sampai."Suara seksi Art menyentak dalam hening. Krystal menoleh dan mendapati pria itu tengah melepas sabuk pengaman kemudian membuka pintu dan keluar. Dia mengikuti hal serupa, tapi saat hendak membuka pintu, sudah terbuka lebih dulu karena Art yang melakukannya."Terima kasih." Krystal nampak canggung setengah mati. Tas diselempangkan lalu keluar d
Hujan masih saja deras. Krystal berdiri, memandang ke luar jendela dengan perasaan resah. Teh hangat di tangan mulai mendingin.Bukan karena hujan, tapi ini kali pertama dia berada satu kamar dengan seorang pria. Hatinya terus berkicau; semoga pagi lekas datang dan dia terbangun dengan perasaan tenang.Berbeda dengan Krystal, Art seperti tak ada beban. Pria itu duduk di atas sofa, fokus pada ponsel dengan dahi mengernyit sesekali, lalu datar kembali.Krystal memerhatikan melalui ekor mata, bibirnya tergerak mencebik dengan suara yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. "Sesantai itu. Apa dia sering satu kamar dengan wanita?" Sedikit ingin tahu tentang itu. "Hh, aku lupa, wajah tampannya pasti sangat sayang jika tidak dimanfaatkan. Aku yakin dia sudah meniduri banyak wanita." Memikirkan itu Krystal jadi kesal sendiri."Sial, memangnya siapa dia? Kenapa jadi aku yang pusing. Awas saja kalau sampai malam ini dia berani kurang ajar padaku!" Detik berikutnya gadis 26 tahun itu melang
Dalam tiga hari, berita tentang Raul Abellard yang terserang penyakit kulit aneh langsung menyebar ke seluruh penjuru negeri.Belum diketahui penyebab pasti, yang jelas pria dengan posisi penting di pemerintahan itu harus mendapat perawatan intensif hingga membaik.Art tersenyum puas. Soda kalengan di tangan ditenggak satu teguk dengan elegan. "Selamat menikmati keterpurukanmu dengan bisul-bisul itu, Pak Tua.”Tidak peduli dari mana Daichi mendapatkan serbuk aneh itu, Art hanya perlu berterima kasih. Rekaman cctv parkiran yang menunjukkan perbuatannya juga telah dihapus Daichi melalui peretasan seperti biasa.Satu telapak tangan meraih remote di atas meja lalu mematikan layar yang baru saja menyiarkan berita tentang kondisi Abellard."Itu baru awal. Akan datang waktu aku menuntaskan apa yang telah kau mulai." Berubah dalam sekejap, sorot mata Art berganti tajam. "Kau harus membayar semuanya, Abellard."Dia tak ingin kematian mengenaskan Hanna hanya menjadi tragedi yang terkubur begitu
Ketampanan tak biasa dengan tatanan wajah tak manusiawi, tubuh tinggi di atas 180 senti dengan pundak, dada dan lengan bidang juga berotot. Jago beladiri, pandai berbicara walau tak banyak, kemampuan otomotif juga mekanik yang sejalan. Dan yang paling mengejutkan ... tangan dinginnya, jari-jari lancipnya ... bisa menghasilkan karya yang begitu indah."Bagaimana bisa manusia sesempurna itu?"Pertanyaan itu pasti akan berulang dia ucapkan.Krystal tak bisa mengkondisikan perasaannya. Jantungnya terus bertalu seolah akan meledak. Bayangan wajah Art mengusir semua yang ada di kepalanya, menguasai tak tahu malu. Lukisan dirinya di dinding kamar seperti sihir yang mengantar pikirannya pada sosok sialan itu, sosok yang sudah hampir dua minggu ini terus dilihatnya setiap saat."Sayang."Suara itu entah mengacau, atau justru menyelamatkan Krystal dari dunianya, dunia tentang seorang pria yang tak ada siapa pun lagi di dalamnya. Gadis itu menoleh ke sisi kanan dan mendapati Erica berjalan mende