Share

Si Jingga

“Hei Kamu! Ngapain di sana! Nguping!”

Suara teriakan kekasih Kinanti membuat Ardhan terkejut. Begitu mesin motornya menyala, Ardhan segera angkat kaki dari tempat itu. Untung saja dirinya tahu jalan alternatif menuju rumahnya. Dalam waktu yang singkat Ardhan sudah sampai rumahnya.

“Baru pulang, Boss? Abis meeting sama Tuan Takur ya?” sindir sang Ibu ketika ia membuka pintu rumah. “Salesman biasa kok pulang malam terus. Apa sih yang kamu lakukan di kantor? Lembur terus tetapi duitnya nggak ada. Heran.”

Ardhan mengabaikan omelan ibunya yang masih berlanjut. Ia langsung merebahkan punggungnya di ranjang ketika sudah berada di dalam kamar. Lelaki itu memejamkan mata, banyak pikiran yang bermunculan. Terutama tentang kekasih Kinanti, jika tebakannya benar maka ia harus bersiap menghadapi lelaki tersebut.

Membayangkan bekerja sama dengan pria seperti itu saja membuat lelaki itu frustasi. Ia mengacak rambutnya dengan kasar, dengusan kesal keluar begitu saja dari mulutnya. Ardhan tak ingin berlarut dalam fantasinya sendiri, ia mencoba mengatur napas dan bersikap tenang. Lama kelamaan ia masuk ke dalam alam mimpi.

Rasanya baru sebentar lelaki bertubuh tinggi itu tidur namun ia harus mengakhirinya karena alarm berbunyi dengan nyaring. Ardhan membuka matanya dengan cepat kemudian berdiri dengan cepat menuju kamar mandi. Hari ini sebuah tugas penting menunggu dirinya.

Dalam waktu yang singkat ia siap untuk pergi ke kantor, pagi ini motornya juga tidak mogok lagi sehingga perjalanannya menuju kantor lancar. “Ardhan, ikut saya ke ruang rapat dulu,” kata Pak Bobby ketika mereka bertemu di koridor kantor.

“Baik Pak.”

Ardhan mengekor atasannya menuju ruangan yang terletak di ujung lorong. Di dalam ruangan besar tersebut hanya ada mereka berdua dan beberapa tumpukan berkas yang harus Ardhan bawa ketika bertemu dengan klien-nya.

“Kamu pelajari sebentar setelah itu pergilah ke proyek. Temui klien kita untuk membahas kelanjutan kerjasama ini. Laporkan apa saja yang terjadi di sana,” titah Pak Bobby. “Satu lagi, hati-hati dengan Prama ya Dhan.”

“Hati-hati kenapa, Pak?” tanya Ardhan penasaran. Tetapi Pak Bobby enggan memberitahu anak buahnya itu, pria berkacamata tebal tersebut pergi begitu saja. Ardhan duduk seorang diri di ruangan seluas itu, pikirannya kembali dipenuhi berbagai pertanyaan.

Karena terlalu memikirkan tentang Prama, ia sampai tak sadar jika ada seseorang yang masuk ke ruangan rapat tersebut. “Hei Dhan, ngapain di sini? Sales sok-sokan duduk di ruang rapat,” tegur Jundi.

“Masih pagi jangan cari perkara,” usir Ardhan, ia masih berbicara santai dengan musuhnya itu. “Pergilah, aku sedang pusing.”

“Jika kau tidak sanggup maka berikanlah kepada orang lain, masih banyak pegawai yang mumpuni kok,” kata Jundi.

 "Oke, aku akan memberitahu Pak Bobby dan staff lainnya jika kau memintaku untuk mundur dari proyek ini,” kata Ardhan sembari membereskan semua berkas.

“Tung –tunggu dulu Dhan,”ucap Jundi panik. “Kamu salah paham, aku tidak menyuruhmu mundur. Aku hanya mengatakan jika ada orang lain yang lebih mumpuni dibanding dirimu,” jelas lelaki itu.

“Siapa orang itu?” tanya Ardhan.

“Siapa saja, bisa pegawai junior yang lain bisa juga pegawai berprestasi seperti aku.”

“Baik, aku akan mengatakan pada Pak Bobby jika kau pantas menggantikanku,” timpal Ardhan, ia segera berjalan menuju pintu ruangan tersebut. Jundi mencoba menahannya, ia mengatakan jika Ardhan salah paham dengan perkataannya.

“Aku pergi dulu, selamat bertugas,” ucap Jundi sembati berjalan menuju pintu keluar. Ardhan terkekeh geli melihat tingkah laku pegawai tersebut. Setelah selesai mempelajari semua berkas, Ardhan lalu pergi menuju proyek untuk bertemu dengan klien-nya.

Lokasi proyek yang dituju oleh Ardhan ternyata tak jauh dari posisinya semalam. Prama dan temanya sudah tiba lebih dahulu. “Maaf Pak, saya terlambat,” kata Ardhan seraya berjabat tangan.

“Tidak Pak Ardhan, anda tidak terlambat. Kami memang berangkat lebih awal,” sahut Prama tersenyum simpul.

Mereka lantas berjalan menuju ke sebuah ruangan dan mulai melakukan rapat kecil. Ardhan menyampaikan apa yang tertulis di berkas dan sebagai perwakilan perusahaan dirinya harus melaporkan hasil rapat tersebut.

Ardhan tak bisa berkonsentrasi penuh karena terganggu dua hal, satu pesan atasannya dan satu lagi bola mata Prama. “Seharusnya berwarna merah bukan jingga,” batinnya.

“Kenapa Pak Ardhan? Ada sesuatu yang ingin disampaikan?” tanya Prama, wajahnya tampak serius menatap lelaki itu.

“Oh tidak Pak Prama, tidak ada,” sahut Ardhan yang panik.

Rapat kembali diteruskan hingga sebuah kesepakatan pun tercapai. Setelah itu mereka semua keluar menuju proyek yang sedang dikerjakan oleh karyawan perusahaan Prama. Ardhan tetap berada di sana untuk mengawasi sampai waktu makan siang tiba. 

“Mari makan siang dulu Pak Ardhan,” ajak anak buah Prama.

“Silakan Pak, duluan saja. Saya akan menyusul nanti,” tolak Ardhan karena dirinya masih membuat laporan untuk diberikan kepada atasannya. Begitu juga dengan Prama yang masih berkutat didepan komputer jinjingnya.

Kegiatannya keduanya terhenti karena ponsel Prama berdering dengan kencang, Ardhan terus memperhatikan lelaki yang duduk tak jauh darinya, tiba-tiba saja Prama menendang kursi di dekatnya lalu berjalan keluar ruangan.

Tentu saja hal itu membuat Ardhan terkejut, pria yang selalu bersikap ramah padanya berubah menjadi pria pemarah. Karena penasaran, Ardhan lalu mengikuti langkah Prama. Boss besar itu rupanya pergi ke tempat parkiran, lebih tepatnya menuju ke sebuah mobil berwarna putih.

Dari dalam mobil tersebut keluarlah seorang perempuan yang dikenalnya. Tebakan Ardhan semalam benar, Prama adalah kekasih Kinanti. Pria itu menghampiri kekasihnya, mereka bicara empat mata. Ardhan berniat untuk meneruskan pekerjaan namun ia urungkan karena mendengar suara teriakan Prama.

“Jangan membuatku lebih marah ya!” pekik Prama. “Sudah kubilang berkali-kali jangan datang ketika aku bekerja!”

“Aku datang baik-baik, tidak bermaksud mengganggumu lagipula ini –“

Ucapan Kinanti terhenti karena ia melihat kekasihnya sudah mengangkat tangannya, hendak memukulnya. Tanpa sadar Ardhan memajukan langkahnya, ia tergerak untuk menolong Kinanti.

“Pukul! Kenapa berhenti pukul saja!” teriak Kinanti sembari menangis. “Bukankah sudah biasa kamu memukulku, ayo pukul!”

Ardhan membulatkan matanya, ia tak menyangka jika Prama juga melakukan tindak kekerasan kepada kekasihnya. Ardhan pun mengurungkan niatnya untuk kembali bekerja, ia ingin memastikan jika Prama tak meneruskan perlakuan buruknya.

Saat sedang mengawasi pertengkaran kedua sejoli tersebut, sebuah panggilan masuk dari sang atasan memaksanya untuk menjauh dari lokasi tersebut.

“Halo Pak,” sapa Ardhan, ia berusaha setenang mungkin.

“[Dhan, bagaimana keadaan di sana? Kenapa kamu belum mengirimkan laporan?]”

“Baik Pak Bobby, sebentar lagi akan saya kirim,” jawab Ardhan.

“[Keadaan di sana baik-baik saja ‘kan, Dhan? Tidak ada kendala, semua sepakat dengan syarat dari kita?]”

“Iya Pak, semua beres,” ujar Ardhan.

“[Baguslah kalau begitu, kamu memang bisa diandalkan. Cepat selesaikan laporannya, kirim segera padaku.]”

Setelah panggilan telepon tersebut berakhir Ardhan mencari keberadaan Prama dan Kinanti namun mereka berdua sudah tak ada di tempat begitu pun dengan kendaraan putih tersebut. Posel Ardhan kembali berdering, ia menerima sebuah pesan singkat dari Prama. Seketika tubuhnya menegang.

“Mati aku!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status