Share

Si Jingga

Author: Duarta
last update Last Updated: 2023-07-25 12:45:14

“Hei Kamu! Ngapain di sana! Nguping!”

Suara teriakan kekasih Kinanti membuat Ardhan terkejut. Begitu mesin motornya menyala, Ardhan segera angkat kaki dari tempat itu. Untung saja dirinya tahu jalan alternatif menuju rumahnya. Dalam waktu yang singkat Ardhan sudah sampai rumahnya.

“Baru pulang, Boss? Abis meeting sama Tuan Takur ya?” sindir sang Ibu ketika ia membuka pintu rumah. “Salesman biasa kok pulang malam terus. Apa sih yang kamu lakukan di kantor? Lembur terus tetapi duitnya nggak ada. Heran.”

Ardhan mengabaikan omelan ibunya yang masih berlanjut. Ia langsung merebahkan punggungnya di ranjang ketika sudah berada di dalam kamar. Lelaki itu memejamkan mata, banyak pikiran yang bermunculan. Terutama tentang kekasih Kinanti, jika tebakannya benar maka ia harus bersiap menghadapi lelaki tersebut.

Membayangkan bekerja sama dengan pria seperti itu saja membuat lelaki itu frustasi. Ia mengacak rambutnya dengan kasar, dengusan kesal keluar begitu saja dari mulutnya. Ardhan tak ingin berlarut dalam fantasinya sendiri, ia mencoba mengatur napas dan bersikap tenang. Lama kelamaan ia masuk ke dalam alam mimpi.

Rasanya baru sebentar lelaki bertubuh tinggi itu tidur namun ia harus mengakhirinya karena alarm berbunyi dengan nyaring. Ardhan membuka matanya dengan cepat kemudian berdiri dengan cepat menuju kamar mandi. Hari ini sebuah tugas penting menunggu dirinya.

Dalam waktu yang singkat ia siap untuk pergi ke kantor, pagi ini motornya juga tidak mogok lagi sehingga perjalanannya menuju kantor lancar. “Ardhan, ikut saya ke ruang rapat dulu,” kata Pak Bobby ketika mereka bertemu di koridor kantor.

“Baik Pak.”

Ardhan mengekor atasannya menuju ruangan yang terletak di ujung lorong. Di dalam ruangan besar tersebut hanya ada mereka berdua dan beberapa tumpukan berkas yang harus Ardhan bawa ketika bertemu dengan klien-nya.

“Kamu pelajari sebentar setelah itu pergilah ke proyek. Temui klien kita untuk membahas kelanjutan kerjasama ini. Laporkan apa saja yang terjadi di sana,” titah Pak Bobby. “Satu lagi, hati-hati dengan Prama ya Dhan.”

“Hati-hati kenapa, Pak?” tanya Ardhan penasaran. Tetapi Pak Bobby enggan memberitahu anak buahnya itu, pria berkacamata tebal tersebut pergi begitu saja. Ardhan duduk seorang diri di ruangan seluas itu, pikirannya kembali dipenuhi berbagai pertanyaan.

Karena terlalu memikirkan tentang Prama, ia sampai tak sadar jika ada seseorang yang masuk ke ruangan rapat tersebut. “Hei Dhan, ngapain di sini? Sales sok-sokan duduk di ruang rapat,” tegur Jundi.

“Masih pagi jangan cari perkara,” usir Ardhan, ia masih berbicara santai dengan musuhnya itu. “Pergilah, aku sedang pusing.”

“Jika kau tidak sanggup maka berikanlah kepada orang lain, masih banyak pegawai yang mumpuni kok,” kata Jundi.

 "Oke, aku akan memberitahu Pak Bobby dan staff lainnya jika kau memintaku untuk mundur dari proyek ini,” kata Ardhan sembari membereskan semua berkas.

“Tung –tunggu dulu Dhan,”ucap Jundi panik. “Kamu salah paham, aku tidak menyuruhmu mundur. Aku hanya mengatakan jika ada orang lain yang lebih mumpuni dibanding dirimu,” jelas lelaki itu.

“Siapa orang itu?” tanya Ardhan.

“Siapa saja, bisa pegawai junior yang lain bisa juga pegawai berprestasi seperti aku.”

“Baik, aku akan mengatakan pada Pak Bobby jika kau pantas menggantikanku,” timpal Ardhan, ia segera berjalan menuju pintu ruangan tersebut. Jundi mencoba menahannya, ia mengatakan jika Ardhan salah paham dengan perkataannya.

“Aku pergi dulu, selamat bertugas,” ucap Jundi sembati berjalan menuju pintu keluar. Ardhan terkekeh geli melihat tingkah laku pegawai tersebut. Setelah selesai mempelajari semua berkas, Ardhan lalu pergi menuju proyek untuk bertemu dengan klien-nya.

Lokasi proyek yang dituju oleh Ardhan ternyata tak jauh dari posisinya semalam. Prama dan temanya sudah tiba lebih dahulu. “Maaf Pak, saya terlambat,” kata Ardhan seraya berjabat tangan.

“Tidak Pak Ardhan, anda tidak terlambat. Kami memang berangkat lebih awal,” sahut Prama tersenyum simpul.

Mereka lantas berjalan menuju ke sebuah ruangan dan mulai melakukan rapat kecil. Ardhan menyampaikan apa yang tertulis di berkas dan sebagai perwakilan perusahaan dirinya harus melaporkan hasil rapat tersebut.

Ardhan tak bisa berkonsentrasi penuh karena terganggu dua hal, satu pesan atasannya dan satu lagi bola mata Prama. “Seharusnya berwarna merah bukan jingga,” batinnya.

“Kenapa Pak Ardhan? Ada sesuatu yang ingin disampaikan?” tanya Prama, wajahnya tampak serius menatap lelaki itu.

“Oh tidak Pak Prama, tidak ada,” sahut Ardhan yang panik.

Rapat kembali diteruskan hingga sebuah kesepakatan pun tercapai. Setelah itu mereka semua keluar menuju proyek yang sedang dikerjakan oleh karyawan perusahaan Prama. Ardhan tetap berada di sana untuk mengawasi sampai waktu makan siang tiba. 

“Mari makan siang dulu Pak Ardhan,” ajak anak buah Prama.

“Silakan Pak, duluan saja. Saya akan menyusul nanti,” tolak Ardhan karena dirinya masih membuat laporan untuk diberikan kepada atasannya. Begitu juga dengan Prama yang masih berkutat didepan komputer jinjingnya.

Kegiatannya keduanya terhenti karena ponsel Prama berdering dengan kencang, Ardhan terus memperhatikan lelaki yang duduk tak jauh darinya, tiba-tiba saja Prama menendang kursi di dekatnya lalu berjalan keluar ruangan.

Tentu saja hal itu membuat Ardhan terkejut, pria yang selalu bersikap ramah padanya berubah menjadi pria pemarah. Karena penasaran, Ardhan lalu mengikuti langkah Prama. Boss besar itu rupanya pergi ke tempat parkiran, lebih tepatnya menuju ke sebuah mobil berwarna putih.

Dari dalam mobil tersebut keluarlah seorang perempuan yang dikenalnya. Tebakan Ardhan semalam benar, Prama adalah kekasih Kinanti. Pria itu menghampiri kekasihnya, mereka bicara empat mata. Ardhan berniat untuk meneruskan pekerjaan namun ia urungkan karena mendengar suara teriakan Prama.

“Jangan membuatku lebih marah ya!” pekik Prama. “Sudah kubilang berkali-kali jangan datang ketika aku bekerja!”

“Aku datang baik-baik, tidak bermaksud mengganggumu lagipula ini –“

Ucapan Kinanti terhenti karena ia melihat kekasihnya sudah mengangkat tangannya, hendak memukulnya. Tanpa sadar Ardhan memajukan langkahnya, ia tergerak untuk menolong Kinanti.

“Pukul! Kenapa berhenti pukul saja!” teriak Kinanti sembari menangis. “Bukankah sudah biasa kamu memukulku, ayo pukul!”

Ardhan membulatkan matanya, ia tak menyangka jika Prama juga melakukan tindak kekerasan kepada kekasihnya. Ardhan pun mengurungkan niatnya untuk kembali bekerja, ia ingin memastikan jika Prama tak meneruskan perlakuan buruknya.

Saat sedang mengawasi pertengkaran kedua sejoli tersebut, sebuah panggilan masuk dari sang atasan memaksanya untuk menjauh dari lokasi tersebut.

“Halo Pak,” sapa Ardhan, ia berusaha setenang mungkin.

“[Dhan, bagaimana keadaan di sana? Kenapa kamu belum mengirimkan laporan?]”

“Baik Pak Bobby, sebentar lagi akan saya kirim,” jawab Ardhan.

“[Keadaan di sana baik-baik saja ‘kan, Dhan? Tidak ada kendala, semua sepakat dengan syarat dari kita?]”

“Iya Pak, semua beres,” ujar Ardhan.

“[Baguslah kalau begitu, kamu memang bisa diandalkan. Cepat selesaikan laporannya, kirim segera padaku.]”

Setelah panggilan telepon tersebut berakhir Ardhan mencari keberadaan Prama dan Kinanti namun mereka berdua sudah tak ada di tempat begitu pun dengan kendaraan putih tersebut. Posel Ardhan kembali berdering, ia menerima sebuah pesan singkat dari Prama. Seketika tubuhnya menegang.

“Mati aku!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Salesman Biasa   Akhir Cerita Bahagia

    Pria itu mematung di tempat, ia menetralkan air mukanya setelah itu ia berbalik dan menganggukkan kepalanya sopan. “Saya Prama bu, rekan bisnis Pak Ardhan. Kemarin saya mendengar jika Pak Ardhan mengalami kecelakaan saya ke sini berniat menjenguk, bu.”Ibu Ardhan mengulas senyum dan berkata, “Oh maaf saya lupa Mas Prama ini rekan bisnisnya Ardhan,” kata sang Ibu tidak enak hati. “ Mari silakan masuk mas, kebetulan di dalam juga ada rekan bisnis Ardhan.”Prama mengangguk sopan ia lantas mengikuti ibu Ardhan masuk ke dalam ruang rawat. “Ardhan Kinan, ini ada Mas Prama katanya mau menjenguk kamu, nak.”Gerakan tangan Kinanthi mematung di udara kala mendengar nama Prama begitu juga dengan Ardhan yang menghentikan kunyahannya untuk beberapa detik. Kinanthi tersadar, ia lantas mengulas senyum dan menganggukkan kepalanya. Wanita itu menggeser sedikit tubuhnya mempersilakan Prama untuk mendekat ke arah Ardhan.“Bagaimana kondisi anda Pak Ardhan?” tanya Prama sopan dan tenang.Ardhan mengulas

  • Bukan Salesman Biasa   Titik Terang

    “Mas aku mulai menemukan titik terangnya, kamu cepat sadar ya,” tutur Kinanthi pada sosok yang masih berbaring di atas ranjang dengan selang infus menghiasi punggung tangannya.Pagi ini, Kinanthi memang menggantikan ayah dan ibu Ardhan, mereka pulang ke rumah untuk beristirahat. Kinanthi tak henti-hentinya mengajak Ardhan bercerita, entah mengapa wanita itu merasa nyaman berada di dekat pria yang notabene adalah rekan bisnisnya.Berbeda ketika berada di dekat Prama, wanita itu terus merasa was-was dan ketakutan. Sikap Prama yang tak terduga sangat berbanding terbalik dengan Ardhan yang selalu bersikap tenang dan humoris. Mengenal Ardhan, Kinanthi mendapatkan banyak hal baru, keberanian salah satunya. Berkat dorongan dari Ardhan, Kinanthi menemukan sisi lain di dirinya yang berani menyelesaikan masalah apapun.Kinanthi menghela napas, ia menyandarkan bahunya sebelah tangan wanita itu bermain pada gawai kesayangannya. Jemari lentik Kinanthi berselancar ke laman sosial, ia membaca post

  • Bukan Salesman Biasa   Kinanthi Disekap!

    “Kenapa pintu ini, susah sekali dibukanya,”omel Kinanthi yang kesulitan membuka pintu kamarnya. Perempuan cantik itu meraih ponselnya lalu menepon Prama. Ia meminta tolong Prama untuk membukakan pintu kamarnya. Sayangnya lelaki itu menolak permintaannya.“Maaf sayang, aku tidak bisa membuka pintu kamarnya. Lebih baik kamu diam di sana, aku tidak ingin ada orang lain yang dekat denganmu,” kata Prama tegas.“Maksudnya apa Mas? Kamu mengurungku di sini?”“Iya, aku mengurungmu di sini!!”“Kenapa Mas?? Kenapa kamu bertindak sejauh ini??”“Karena kamu juga bertindak sejauh itu, kamu tinggalkan aku karena Ardhan!! Kamu berubah sayang,” ungkap Prama.“Aku tidak berubah karena mas Ardhan, aku berubah karena aku muak dengan sikapmu,” pekik Kinanthi.Prama yang mendengar hal tersebut merasa kesal, ia berjalan menuju kamar tamu tersebut. Ia membuka kamar tersebut dengan kasar, Kinanthi yang berdiri di belakang seketika memundurkan kakinya. Perempuan itu hampir saja terjatuh di lantai.Badan besar

  • Bukan Salesman Biasa   Kenangan Masa Lalu

    “Pakai tanya, yang berubah itu kamu ah tidak, kita berdua berubah,” jawab Prama. “Kamu berubah karena dia da aku berubah karena kamu berubah. Hubungan kita berubah dari saling cinta sampai cintaku yang bertepuk sebelah tangan.”Kinanthi sungguh sangat muak dengan kalimat sok puitis lelaki itu, tetapi ia coba menahannya semua demi Ardhan.“Kamu merasakan hal yang sama?” tembak Prama. “Tentu saja tidak.”Kinanthi tak merespon perkataan pria itu, ia sekarang sibuk menguatkan hatinya. “Sabar Kinanthi ... Sabar ... Biarkan saja dia bicara semaunya,” batin perempuan itu.“Kinanthi kamu dengar aku tidak?”Perempuan itu memutar bola matanya malas, ia ketahuan Prama tidak mendengarkan curahan hatinya. “Dengar Mas, aku dengar kamu ngomong kok.”“Baguslah kalau begitu,” timpalnya. Prama kembali mengajak Kinanthi berbicara hingga perempuan itu tidak sadar jika motor lelaki itu tidak mengarah ke taman bundar. Perempuan baru sadar ketika melihat bus besar mendahului mereka, ternyata mereka mengarah

  • Bukan Salesman Biasa   Cari Mati

    Kinanthi diam tak berkutik ketika Prama memergokinya berdiri di depan carportnya. “Jawab aku Kinanthi!!” teriak Prama murka. “Apa yang kamu lakukan di rumahku?”“Kenapa semarah ini? Bukankah aku biasa datang ke rumahmu,” ujar Kinanthi berusaha setenang mungkin. Ia tak boleh melawan Prama atau membuat lelaki itu curiga dengan kedatangannya. Jika tidak, ia akan kehilangan semua barang bukti yang lelaki itu simpan di garasinya.“Wajar saja aku marah karena kamu datang di saat aku tidak di rumah.”“Biasanya juga begitu, aku bahkan tidur di kamarmu. Kamu lupa, Mas?” sindir Kinanthi. “Katamu kita ini teman, sesama teman apakah tidak boleh berkunjung?”“Kamu ada misi apa? Siapa yang menyuruhmu ke mari?” cecar Prama.“Misi apa? Aku hanya rindu dengan suasana rumah ini. Aku merindukan calon istanaku, memangnya tidak boleh,” jawab Kinanthi santai.“Tidak kusangka kamu akan menjadi perempuan seperti ini Kinanthi. Di saat Ardhan sakit, kamu kembali padaku, mengatakan rindu, istanamu. Kamu menyesa

  • Bukan Salesman Biasa   Saksi Kunci

    “Kami akan mencoba semaksimal mungkin untuk menangkap pelaku hanya saja saat ini kami kesulitan karena pelaku memakai kendaraan yang tidak memiliki plat nomor dan juga wajahnya tertutup helm,” ujar polisi tersebut.“Kinanthi mendengus kesal, kejahatan orang itu sungguh rapi. “Ya Tuhan, bagaimana ini? Kami tidak memiliki petunjuk apapun.,” ujarnya dalam hati. Namun Kinanthi tak menyerah, demi mnencari siapa dalang dibalik kecelakaan itu, ia akan berusaha sendiri mendapatkan bukti-buktinya.Kinanthi memacu mobilnya datang ke lokasi kejadian perkara. Garis polisi berwarna kuning mengelilingi tempat itu. Ia turun dari kendaraan roda empat itu lalu berjalan mengitari lokasi tersebut, ia mulai mencari sesuatu yang mencurigakan untuknya.Setelah berkeliling lokasi kejadian, perempuan itu tak menemukan apapun, ia lantas beralih menuju lokasi yang menjadi awal mula Ardhan memacu kendaraan menjadi secepat itu. “Sebenarnya kenapa kamu berbuat begitu Mas?” gumam Kinanthi. Perempuan itu mengamati

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status