Bab138"Maaf," lirih Desca, 1 tetesan air mata jatuh di pipinya. Desca berniat berbalik namun Jeremy meraih tangan wanita itu."Aku masih perlu waktu," kata Jeremy membuat Desca menarik tangannya dan berlari ke atas ranjangnya.Desca memasukan dirinya ke dalam selimut. Wanita itu menangis sesegukan, menahan rasa malu karena penolakan Jeremy.Bukan hanya perasaan malu, tapi juga perasaan kuatir dengan keadaan perutnya kini yang sudah berusia 1 bulan lebih.Jeremy kembali merasa bersalah. Mau berapa orang wanita lagi, yang akan dia kecewakan.Desca dan nyonya Jovanka begitu baik kepadanya, akan sangat tidak tahu malu, jika dia malah menyakiti hati Desca.Lelaki itu pun mendekati Desca, yang masih menangis dalam selimut. "Desca," lirih Jeremy.Namun wanita itu mengabaikannya, dan masih saja terus menangis. Jeremy menarik pelan selimut itu, hingga terlihat wajah Desca yang memerah dan juga basah air mata.Jeremy tersenyum dan naik ke atas ranjang.Dengan perlahan, Jeremy membalikkan tubu
Bab139"Tidak." Rebecca menggeleng."Jadi mengapa wajahmu pucat begini? Dan bolak- balik kamar mandi?"Rebecca menarik napas, sembari menahan perasaan mualnya."Saya mengundurkan diri, nanti berkasnya akan saya serahkan besok," sahut Rebecca pelan."Rebecca! Jangan memancingku. Ada apa sih sama kamu? Mengapa sikapmu masih seperti ini," bentak Jeremy. Rebecca mendongakkan wajah. "Hak saya bukan, untuk mengundurkan diri?" Rebecca berkata dengan suara dan bibir bergetar.Mata wanita itu kini berkaca- kaca. Dia sudah bertekad untuk kembali ke Negaranya. Dari pada di Negeri Fantasy, dia nyaris gila dalam bertahan.Patah hati sukses membuatnya hidup segan mati tak mau."Ya, kamu benar itu hak kamu! Setidaknya berikan saya alasan yang jelas, apa yang membuat kamu ingin mengundurkan diri? Apakah kamu membenci saya?""Saya tidak mungkin membenci, lelaki yang mencuri hati saya.""Lalu mengapa kamu berniat meninggalkan aku?" Jeremy bertanya, sembari menggenggam kedua tangan Rebecca."Lepas, kit
Bab140Jeremy melajukan mobilnya dengan terburu- buru, menuju apartemen Rebecca. Dadanya berdebar- debar, seakan sanga takut tidak bisa bertemu dengan wanita itu lagi.Perasaan kuatir mendominasi hatinya kini. Jeremy kini sangat ketakutan, jika Rebecca pergi dan menghilang dari hidupnya.Bagi Jeremy, Rebecca adalah penyemangatnya selama ini. Bukan hanya penyemangatnya, tapi Rebecca juga berjasa dalam memajukan perusahaannya. Sesampainya di parkiran apartemen, Jeremy keluar dari mobil dengan tergesa, berlari menuju pintu apartemen wanita itu. Jeremy membunyikan bel beberapa kali, sampai pintu terbuka. Sosok Rebecca telah rapi, tidak lagi mengenakan pakaian kantor."Ada apa, Tuan." Jeremy menatap lekat wanita di depannya dan mendorong kasar ke dalam.Jeremy menutup pintu apartemen itu, dan menguncinya. Rebecca terdiam, melihat tingkah Jeremy. Lelaki itu memasuki kamar, dan di sambut dua koper besar telah siap, di sisi tempat tidur Rebecca."Kamu mau kemana? Kenapa kamu seperti ini kep
Bab141Jeremy mengusap kasar wajahnya. Menghubungi Rebecca berkali- kali, tapi tidak kunjung bisa. Wanita itu sepertinya mematikan sambungan teleponnya."Shiit, kemana dia pergi," lirih Jeremy. Lelaki itu mencari ke seluruh ruangan, hingga ke kamar mandi. Di depan cermin, di atas wastafel, terlihat sebuah benda kecil pipih terletak.Di sampingnya terletak sebuah kertas putih. Jeremy meraih benda pipih itu, sebuah alat tes kehamilan, yang menampilkan garis dua positif.Kemudian lelaki itu beralih melihat kertas di sampingnya. Kertas resep obat untuk mengatasi mual dan juga vitamin.Di atas kertas itu bertuliskan nama nyonya Rebecca. Wanita itu positif hamil.Dibelakang kertas, tertulis pesan. "Ketika kamu melihat ini, aku telah pergi jauh, membawa kenangan darimu. Berbahagialah, Tuan Jeremy. Anak kita, akan kuurus dengan baik disisiku."Jeremy mengacak- ngacak kertas putih itu dengan frustasi. Mengapa Rebecca pergi? Bahkan wanita itu membawa buah hati mereka."Aku calon Ayah, tapi aku
Bab142"Hallo, manis," seru nyonya Jovanka, tersenyum manis berjalan dengan anggun ke arah tempat duduk."Nyonya Jovanka," lirih Deslim. "Jeremy ...." wanita itu kemudian berteriak, ketika melihat Jeremy berjalan di belakang nyonya Jovanka.Nyonya Jovanka duduk, ketika para pegawai pengadilan mempersilahkannya. Jose White terdiam di pojokkan tanpa suara, dia duduk bersama seorang perempuan, yang tak lain adalah Mary White.Meskipun wanita itu sudah berkumpul keluarganya, tapi dia tidak sepenuhnya dalam keadaan baik- baik saja.Kadang kalau kumat, dia akan mengamuk layaknya orang gila. Jose White tidak tega, membiarkan Mary selamanya terkurung di rumah sakit jiwa. Sebab itulah, kini Mary berada dalam pengasuhannya."Aku tidak melakukan hal jahat itu," bentak Deslim tidak terima.Nyonya Jovanka tersenyum menyeringai. "Oh ya, apakah bukti itu tidak benar? Bagaimana mungkin?""Ini fitnah, pasti kalian yang mengada- mgada. Apalagi itu ponsel Case, bagaimana mungkin ponselnya ada, sedangka
Bab143"Jeremy, aku ...." Belum selesai Desca berkata, Jeremy sudah mengangkat telapak tangannya, memberi kode Desca untuk berhenti bicara."Tidurlah, aku masih banyak pekerjaan." Jeremy berkata tanpa mau menoleh ke arah Desca sama sekali.Desca menarik napas kasar. Pernikahan mereka sudah berjalan 1 bulan lamanya. Tetapi sikap Jeremy masih saja dingin dan selalu beralasan sibuk dan capek.Desca mendekat dan meletakkan sebuah benda ke atas meja kerja Jeremy.Usai kepergian Desca, Jeremy melirik benda, yang tadi wanita itu letakkan di atas meja.Alat test kehamilan lagi yang harus dia lihat. Melihat alat yang menunjukkan positif kehamilan itu, membuat hati Jeremy merasa terluka lagi.Kembali bayangan Rebecca yang pergi membawa benihnya, membuat sesak di hati Jeremy. Bukan kebahagiaan yang Jeremy rasakan, ketika tahu Desca hamil.Tapi, perasaan semakin terluka di penuhi penyesalan, karena teringat sosok Rebecca lagi. Sekuat tenaga Jeremy mengikhlaskan dan melupakan tentang wanita itu.
Bab144"Apa? Jatuh dari tangga?" Jeremy terkejut dan langsung mematikan sambungan teleponnya. Lelaki itu berlari, menuju mobilnya. Dengan kecepatan tinggi, Jeremy memacukan mobil, menuju rumah sakit terbesar di Negeri Fantsay.Di ruang UGD, Desca masih di periksa. Nyonya Jovanka nampak gelisah menunggu hasil."Please, bertahanlah Desca, maafkan aku." Kini perasaan menyesal, menyelimuti hati Jeremy.Teringat akan permintaan- permintaan Desca yang diabaikan, membuatnya kembali dilanda rasa bersalah."Seharusnya aku move on dan fokus kepada Desca, yang sudah jelas sah menjadi istriku. Tapi mengapa dengan bodohnya aku diam- diam menyimpan kecewa dan menyalahkan Desca atas kepergian Rebecca," batin Jeremy berperang, antara perasaan menyesal dan juga perasaan egois.Sesampainya lelaki itu di parkiran rumah sakit, dia berlari tergopoh- gopoh, menuju UGD."Mom," panggil Jeremy. Wanita itu pun menoleh."Bagaimana kejadiannya? Kenapa Desca bisa terjatuh dari tangga."Nyonya Jovanka terisak. "M
Bab145Rumah tangga Jeremy dan Desca semakin dingin. Bahkan, wanita itu tidak pernah sama sekali lagi mau bicara pada Jeremy. Semenjak keguguran 1 bulan yang lalu, Jeremy pun tidak berani mengganggu Desca. Sadar akan kesalahan diri, Jeremy mengalah.Lelaki itu pun enggan memaksa sang istri untuk bicara, hanya sesekali menyapa, meski jarang ada sahutannya.Jeremy selalu berusaha sigap mengurus Desca. Hatinya perih, ketika melihat wanita itu termenung seorang diri.Wajahnya tidak berseri lagi, pucat dan seperti kehilangan gairah hidup."Sayang, bagaimana kalau kita pergi liburan?" tanya Jeremy, mendekati Desca dan memeluk wanita itu dari belakang."Untuk apa liburan? Lagi pula aku sudah tidak memiliki semangat lagi menjalani hidup. Selain gagal menjadi istri, aku juga sudah gagal menjadi Ibu. Rasanya hidup ini sangat percuma, hanya kegagalan yang menimpaku."Suara itu terdengar putus asa.Jeremy mengeratkan pelukannya dan meletakkan wajahnya di pundak Desca."Siapa bilang kamu gagal me