BAB 6

Sementara itu, Selena keluar dari mobil. Di kejauhan, Linggar tampak berjalan keluar pagar, mendekati mobil Selena yang berhenti di luar pekarangan.

Namun langkah Selena terhenti. Pandangannya terpaku pada pemandangan mengerikan: seekor ular hitam besar melingkar di sekitar rumah Linggar. Ular itu tidak nyata, tapi ghaib, dengan aura gelap yang memancar kuat. Mata ular itu menatap tajam ke arah Selena, seperti ingin menyerangnya.

“Selena, mobilnya masuk saja,” ajak Linggar dengan nada datar.

Selena menggeleng pelan. “Linggar, ada sesuatu yang nggak bisa aku abaikan. Aku nggak bisa masuk ke rumahmu. Kita bisa bicara di luar saja?” tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang.

Linggar mengernyit, lalu menoleh ke rumahnya sendiri. “Ada sesuatu di rumah gue?” tanyanya ragu.

Selena mengangguk singkat, mendengar suara Aki di dalam batinnya terus memintanya menjauh.

Tanpa banyak bicara, Selena menarik tangan Linggar dan membimbingnya kembali ke mobil. Saat mereka masuk ke dalam mobil, Rangga tiba-tiba menyentuh pundak Linggar dari bangku depan. Linggar terkejut dan hendak mengibas tangan Rangga, tapi kekuatannya terasa lebih besar dari yang Linggar kira.

“Nggak apa-apa, dia lagi bantu netralin kamu,” jelas Selena singkat. Ia lalu meminta sopirnya untuk menjauh dari rumah Linggar.

Di dalam hati, Selena tahu siapa yang “mengambil alih” tubuh Rangga. Itu Aki, sosok penjaga Selena yang sangat setia dan melindunginya tanpa diminta. Jika ada bahaya mengintai Selena, Aki akan datang dengan sendirinya, apapun situasinya.

Beberapa saat kemudian, mereka berhenti di sebuah kafe tak jauh dari perumahan Linggar. Rangga yang kelelahan tetap tinggal di mobil untuk beristirahat. Tubuhnya masih terasa lemah karena energi besar Aki yang berulang kali menguasainya.

Di dalam kafe, Linggar duduk berhadapan dengan Selena, wajahnya terlihat tegang. “Ada sesuatu yang kamu lihat di rumah gue, ya?” tanyanya pelan.

Selena mengangguk. “Ada seekor ular besar, bahkan lebih besar dari rumahmu. Ular itu melingkar dan menjaga rumahmu, tapi energinya sangat negatif,” jawab Selena dengan jujur.

Linggar menelan ludah, diam sejenak. “Iya, gue juga merasa rumah itu nggak beres,” gumamnya.

Selena menatap Linggar, menimbang-nimbang sebelum bertanya. “Maaf sebelumnya, Linggar. Kalau boleh tahu... apa orang tua kamu pernah melakukan sesuatu?”

Linggar mengerutkan kening, bingung. “Maksud kamu... melakukan apa?” tanyanya penasaran.

“Makhluk seperti yang ada di rumahmu nggak akan muncul tanpa alasan. Dia hanya datang kalau dipanggil atau dikirim orang lain. Jadi, kesimpulannya ada dua: kalau orang tuamu bukan pelakunya, berarti ada orang lain yang mengirim makhluk itu,” ujar Selena, mencoba menjelaskan. Linggar mengerjap, bingung mencerna kata-katanya.

“Tapi, Linggar,” Selena melanjutkan, “aku belum nanya nih. Kok kamu tahu aku bisa lihat apa yang ada di badan kamu?” tanyanya sambil menatap Linggar.

Linggar menghela napas. “Gue... lumayan peka. Yang gue lihat cuma bayangan hitam, tapi yang lu lihat, itu asap hitam,” jawabnya.

“Sejak kapan ini mulai terasa?” tanya Selena.

Linggar memikirkan sejenak sebelum menjawab, “Udah sekitar enam bulan. Gue mulai ngerasa ada yang aneh. Nyokap sama bokap gue terus ribut di rumah. Sekarang mereka udah pisah rumah, gue tinggal sama bokap. Tapi di rumah malah makin banyak kejadian aneh.”

Selena memperhatikan wajah Linggar yang terlihat lelah. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, ‘Apa dia jadi pendiam gara-gara orang tuanya sering bertengkar? Tapi nggak juga, dia emang low profile banget dan nggak suka membaur’.

“Aku bakal coba minta bantuan, dan kalau aku bisa, aku pasti bantu kamu. Tapi kamu masih ingat nggak, kapan tepatnya semua ini mulai terjadi?” tanya Selena.

Linggar memejamkan matanya sebentar, mencoba mengingat. “Hari itu…”

Delapan bulan yang lalu.

Linggar baru saja pindah dari kota lain dan tinggal di rumah yang sekarang ditempati bersama keluarganya. Mereka adalah keluarga yang sering berpindah-pindah karena tuntutan pekerjaan orang tuanya. Linggar sendiri sudah terbiasa dengan kehidupan nomaden itu, mungkin terlalu terbiasa sampai ia tak lagi merasa perlu membangun hubungan dengan orang lain.

“Nggar, nanti kamu sekolah di sini, ya,” ujar ibunya saat itu.

“Hm,” jawab Linggar singkat. Baginya, pindah sekolah adalah rutinitas yang membosankan. Ia bahkan tak punya seorangpun teman dekat karena selalu berpindah.

Linggar akhirnya masuk ke sekolah baru, sekolah yang sekarang juga dihadiri Selena. Awalnya, semuanya terasa normal. Namun, satu bulan setelah mereka pindah ke rumah itu, Linggar mulai merasa ada yang tidak beres. Ia sering melihat sosok perempuan berbaju hijau berjalan-jalan di dalam rumah.

Setelah kemunculan perempuan itu, situasi di rumahnya berubah drastis. Ayah Linggar mulai sering pulang dengan wajah muram, penuh amarah. Setiap kali, kemarahan itu dilampiaskan pada istrinya, sampai akhirnya ayahnya pernah menampar ibunya di depan Linggar.

Pertengkaran demi pertengkaran membuat ibunya Linggar akhirnya memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah satu bulan yang lalu, meninggalkan Linggar tinggal hanya bersama ayahnya.

***

“Jadi... kamu udah lihat sosok perempuan yang kayak ratu itu?” tanya Selena setelah mendengar cerita Linggar.

Linggar mengangguk pelan. “Iya, gue udah lihat dia,” jawabnya dengan suara rendah, seperti ada sesuatu yang masih disembunyikan di balik ceritanya.

"Baik, nanti aku coba ceritain ke guruku, siapa tahu dia bisa bantu." Ucap Selena, terlihat Linggar memberikan senyum kecil.

"Terima kasih." Jawab Linggar, dan Selena membalasnya dengan anggukan serta senyum.

‘Jika orang tua Linggar bukan pelakunya, bisa jadi pemilik lama rumah itu yang bertanggung jawab, dan keluarga Linggar tanpa sadar menjadi korban’. Pikir Selena.