Share

BAB 2

Kerumunan orang dengan baju juga ekspresi wajah yang berbeda-beda terlihat sedang berdesak-desakan. Namun tidak dengan wanita berambut panjang yang sedang duduk disamping bus jendela itu. Dia menyelipkan rambutnya dengan perlahan, sama sekali tidak memperdulikan keadaan di sekitarnya.

Namun sepertinya sesuatu sedang mengganggu pikiran wanita itu saat ini. Tidak, mungkin lebih tepatnya dia sedang melamun. Entah apa yang sedang mengganggu pikiran wanita cantik itu.

"Nyonya... Nyonya..."

Wanita itu terlonjak mendengar panggilan dari pria yang telah memanggilnya sedari tadi. "Ah! Iya?"

"Pulpen milik mu jatuh Nyonya," ucap pria itu dengan sopan.

"Ah, terima kasih," Keira menunduk mengambil pulpen miliknya yang terjatuh.

Benar, wanita yang sedang melamun itu adalah Keira Asher. Dia sudah berada di dalam bus itu sejak beberapa menit yang lalu. Lantas, dia ingin pergi kemana? Pulang.

Yah, bus sudah menjadi alat transportasinya sejak sedari dulu. Alasannya? Bukan kah sudah jelas? Itu karena dia tidak memiliki alat transportasi pribadi. Jika dia memiliki alat transportasi pribadi, tidak mungkin dia rela berdesak-desakan di bus seperti ini.

Selain itu, bus juga alat transportasi paling terjangkau baginya. Karena dia bekerja di perusahaan besar bukan berarti dia bisa menghabiskan gajinya sesuka hati. Selama ini dia selalu menyimpan gaji miliknya dan berusaha agar tidak boros.

Dia bukan orang kaya, apa yang kalian harapkan?

Tidak lama kemudian bus itu berhenti di sebuah halte. Keira segera mengambil tas miliknya dan turun dari bus bersama beberapa penumpang lainnya yang juga memiliki pemberhentian yang sama dengannya.

Kedua kakinya berjalan pergi dari halte itu. Dia melewati beberapa rumah yang merupakan rumah milik tetangganya. Dan seperti biasanya, rumah-rumah itu tampak seperti tidak berpenghuni. Keira berjalan dengan menghitung setiap langkah kakinya, kebiasaan yang selalu dia lakukan sejak kecil.

Dua puluh tujuh...

Dua puluh delapan...

Dua puluh sembilan...

Tiga puluh.

Kedua kaki itu berhenti melangkah dengan tiba-tiba. Keira terdiam sejenak, perlahan mendongak menatap langit sore yang tepat berada di atas kepalanya.

"Wah, apa yang telahku lakukan?" gumam Keira. Kedua mata hazel itu beberapa kali berkedip, lalu...

"AGGHHH! AKU PASTI SUDAH GILA!" teriak Keira mengacak-acak rambutnya.

...

Jarum pendek pada jam tangan itu telah menunjuk pada angka delapan. Dan pemilik jam tangan itu saat ini sedang sibuk memainkan jari-jarinya di atas paha mulusnya. Terlihat jelas rasa gelisah juga gugup pada wajah cantiknya.

Tidak pernah di seumur hidupnya dia merasa se-gugup ini, bahkan tidak saat dia melakukan interview pekerjaan. Untuk pertama kalinya dia benar-benar merasa seperti ini.

Luar biasa.

Taksi yang sedang membawanya saat ini akhirnya berhenti, sesuai dengan alamat yang telah diberikan kepadanya beberapa jam yang lalu.

"Nyonya, kita sudah sampai," ucap pria paruh baya itu menoleh kebelakang. Senyuman menghiasi wajah yang sudah tidak muda lagi.

"A-Ah... tunggu sebentar," wanita itu mengeluarkan uang dari dalam tas miliknya. "Ini, Tuan."

Pria itu mengambil uang itu dari tangan sang penumpang. "Terima kasih Nyonya, semoga harimu menyenangkan."

Wanita itu pun turun dari taksi, yang berjalan pergi meninggalkannya. Dia terdiam dan menatap sebuah bangunan empat lantai yang tepat berada di hadapannya saat ini.

Le Calandre.

Itulah nama yang terpampang pada bagian atas bangunan itu. Sebuah restoran Italia yang begitu terkenal akan kemewahannya dan di sinilah Keira berada saat ini. Dengan tubuh langsingnya yang di balut oleh mini dress hitam dan beberapa manik-manik yang mempercantik mini dress itu.

Cantik, dia terlihat begitu cantik.

Keira menarik nafas sejenak, lalu melangkahkan kedua kakinya memasuki restoran itu untuk pertama kalinya. Benar, ini yang pertama kalinya dia menginjakkan kaki di restoran mewah ini. Bahkan gajinya selama beberapa bulan pun tidak akan cukup untuk makan di restoran ini.

KLING!

"Selamat datang!" sambut pria dengan seragam pelayan. "Nyonya Keira?" tanyanya dengan sopan.

Keira mengerutkan alisnya, lalu menganggukkan kepalanya. "I-Iya, itu aku."

"Mari, ikuti saya Nyonya," ucap pelayan itu tersenyum sambil membungkukkan badan.

Keira mengikuti setiap langkah pelayan yang berjalan di depannya. Dia berjalan melewati beberapa meja pengunjung lainnya. Matanya melihat sekeliling restoran bergaya klasik itu, yang telah di tata dengan sedemikian rupa. Rasa takjub terlukis dengan begitu jelas pada mata hazel miliknya.

Pelayan itu kemudian menghentikan langkahnya, lalu menoleh. "Ini meja anda Nyonya."

Keira mengalihkan pandangannya. Saat itulah dia melihat seorang pria dengan setelan jas biru gelap bludru. Pria itu duduk seorang diri di meja itu sambil melihat keluar kaca restoran.

"Silahkan duduk Nyonya..." pelayan itu menarik kursi yang ada di meja itu.

"T-Terima kasih," Keira duduk dengan perlahan.

Pelayan itu lalu berjalan pergi dari sana setelah menyelesaikan tugasnya. Menyisakan Keira bersama pria yang telah menunggunya sejak beberapa menit yang lalu di meja itu.

"Kau terlambat," ucap pemilik suara serak itu.

Keira menghela nafas. Lagi-lagi kalimat itu yang selalu terucap dari pria yang lebih tua darinya itu. "Maafkan aku Tuan Walsh."

Benar, pria itu adalah Navier.

Atasannya sekaligus pria yang telah menjadi alasan dari teriakannya beberapa jam yang lalu juga kegugupannya saat ini. Dan kehadirannya di tempat ini tentunya telah menjadi jawaban, jika Keira telah menerima ajakan makan malam Navier.

Bingung?

Tentu Keira merasa bingung saat ini tentang ajakan makan malam ini. Namun juga merasa bodoh karena telah menerima ajakan Navier. Beberapa jam yang lalu dia telah menyiapkan diri jika saja dia akan di pecat, namun sekarang dia malah makan malam di sebuah restoran mewah bersama atasannya yang telah dia maki.

Jadi sekarang, siapa yang gila?

Keira mengumpat di dalam hati. Dia merutuki kebodohannya yang entah sudah ke berapa kalinya. Dia bahkan saat ini tidak dapat melihat wajah Navier, mengingat bagaimana dia memaki Navier saat itu.

Kedua mata hazel Keira perlahan melihat ke arah Navier. Dia melihat wajah tenang itu, yang tidak menunjukkan ekspresi sama sekali. Dan dia pun menyadari kalau ini yang pertama kalinya dia melihat Navier tidak menggunakan kacamata. Dia menatap setiap garis...

Mata.

Hidung.

Dan bibir itu.

Tampan, sangat tampan.

Keira tahu jika Navier memiliki wajah yang tampan, namun sama sekali tidak pernah terlintas di benaknya kalau ketampanan Navier sangatlah sempurna.

"Kau tidak suka wine?"

Keira terlonjak. Dia segera mengalihkan pandangannya secepat mungkin. "A-Ah, suka. Saya suka."

Dia mengambil segelas wine merah itu dan meminumnya dengan perlahan. Sudut matanya tidak sengaja melihat Navier yang sedang menatapnya dari balik gelas kaca itu, membuatnya nyaris tersedak.

Keira meletakkan gelas wine itu kembali ke atas meja, lalu mengusap sudut bibirnya menggunakan sebuah serbet.

"Tidak buruk..." ucap Navier dengan tiba-tiba.

"Huh?" bingung Keira.

"Your appearance, not bad," singkat Navier.

Keira terdiam sejenak sebelum menyadari maksud dari ucapan Navier. Rupanya Navier baru saja menilai penampilannya saat ini. Keira memutar matanya dengan malas.

Come on! Apa pria ini tidak bisa mengucapkan suatu kalimat pujian yang juah lebih pantas untuk di dengar?

Menyebalkan... benar-benar menyebalkan.

"Terima kasih, Tuan Walsh," ucap Keira dengan penuh penekanan.

Tidak lama kemudian seorang pelayan berjalan ke arah meja mereka, mengantarkan makanan yang telah Navier pesan sebelumnya. Dan saat itu juga rasa kesal Keira hilang begitu saja. Kedua matanya berbinar melihat makanan itu.

Yah, dia adalah penggila makanan. Baginya hanya makanan satu-satunya yang dapat menjadi obat dari suasana hatinya. Bahkan buktinya saat ini telah terlihat dengan jelas di depan mata kalian.

"Nikmatilah," ucap Navier mempersilahkan Keira.

Keira mengangguk. Tanpa menunggu lama, dia memotong steak itu dan memasukkan potongan steak itu ke dalam mulutnya. Mata Keira membola saat itu juga, merasakan betapa enaknya steak dengan harga jutaan itu.

Dia sudah tidak peduli lagi dengan alasan Navier yang mengajaknya makan malam. Karena yang terpenting sekarang, dia bisa menikmati steak dengan harga selangit ini secara cuma-cuma. Kesempatan emas seperti ini tidak akan datang dua kali bukan?

Navier memperhatikan setiap gerak-gerik dan ekspresi yang di tunjukkan oleh wanita yang berada di hadapannya saat ini. Melihat bagaimana kedua alis itu yang berkerut juga senyuman tipis yang terukir pada wajah Keira.

"Aku memaafkanmu Nyonya Keira," ucap Navier meletakkan garpu yang sedang ia pegang.

"Apa maksudmu Tuan Walsh?"

"Psikopat gila."

Keira langsung terbatuk-batuk. Ingin rasanya dia menghilang saat ini juga dari hadapan Navier. Dia benar-benar merasa malu saat ini karena makian yang telah dia lontarkan kepada Navier.

Oh, bunuh saja dia sekarang!

Keira berdehem lalu memperbaiki posisi duduknya. "B-Begini Tuan Walsh saya minta maa--"

"Navier," ucap Navier memotong ucapan Keira.

Keira mengerutkan alisnya. "M-Maaf?"

"Panggil aku Navier," ucap Navier sambil menatap Keira.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status