Masuk
Ruang rapat lantai empat puluh lima Alexander Corporation dipenuhi hawa mencekam. Meja kayu panjang mengilap, kursi-kursi kulit hitam, dan layar besar yang menampilkan grafik keuangan hanyalah latar dari satu sosok yang mendominasi. Ryan Alexander, CEO termuda perusahaan multinasional itu, duduk di ujung meja dengan jas hitam sempurna. Wajahnya tenang, nyaris tanpa ekspresi, namun tatapannya cukup untuk membuat para direktur menunduk.
“Target kuartal ini meleset delapan persen,” ucapnya datar, suaranya menembus keheningan. “Delapan persen berarti puluhan juta dolar hilang. Aku tidak mendengar alasan. Aku hanya ingin solusi.” Beberapa direktur saling menatap. Salah seorang mencoba membuka suara. “Pasar global sempat tidak stabil, Tuan Ryan. Kami sudah mencoba strategi baru, tetapi—” Ryan mengetuk penanya ke meja, sekali, dua kali. “Alasan,” potongnya dingin. “Aku membayar kalian untuk hasil, bukan untuk mencari kambing hitam.” Tak seorang pun berani menyahut. Semua tahu reputasi Ryan: sekali ia kehilangan kepercayaan, karier seseorang bisa hancur dalam semalam. Rapat berakhir hanya dalam tiga puluh menit, meninggalkan ruangan dengan udara lebih berat daripada saat dimulai. Ryan melangkah keluar, diikuti Daniel—kepala asistennya—yang membawa tablet penuh jadwal. “Tuan, setelah ini ada makan siang bersama dewan, presentasi investor, lalu pertemuan dengan mitra Jepang sore nanti.” “Batalkan makan siang,” jawab Ryan tanpa menoleh. “Tapi dewan—” “Batalkan.” Daniel menunduk, mencatat tanpa protes. Begitulah Ryan: semua keputusannya final. Tidak ada diskusi, tidak ada kompromi. Sesampainya di ruang kerjanya, Ryan berdiri di depan dinding kaca besar yang memperlihatkan panorama kota. Dari luar, ia tampak sempurna: tampan, muda, kaya, berkuasa. Namun di balik sorot mata dingin itu, tersembunyi sesuatu yang hanya ia tahu: kesepian. Hidupnya hanyalah bisnis, angka, dan keputusan. Tak ada ruang untuk hal lain. Telepon di meja berdering. Ryan mengangkatnya. “Ryan, kau bisa pulang malam ini?” suara lembut seorang wanita terdengar. Itu ibunya. “Aku sibuk.” “Selalu sibuk. Ayahmu ingin bicara. Kau tidak bisa terus menghindar dari keluarga.” Ryan memejamkan mata sejenak. “Aku tidak tertarik pada urusan keluarga. Bisnis lebih penting.” Klik. Ia menutup telepon. Sesaat wajahnya terlihat lelah, namun segera kembali dingin. Hari berjalan seperti biasa: rapat, kontrak, negosiasi. Semua dalam ritme cepat yang sudah Ryan kuasai. Hingga senja tiba. Ketika ia turun ke lobi untuk menghadiri pertemuan luar kantor, sesuatu yang berbeda terjadi. Seorang wanita berlari kecil sambil membawa tumpukan dokumen di tangannya. Nafasnya terengah, langkahnya terburu, hingga kakinya tersandung di tepian karpet. Semua dokumen beterbangan, berjatuhan ke lantai marmer lobi. Orang-orang hanya menoleh sekilas. Tidak ada yang menolong. Wanita itu berlutut, wajahnya memerah, tangan gemetar mencoba mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan. Ryan berhenti. Entah dorongan apa, ia menunduk dan mengambil selembar dokumen yang jatuh dekat kakinya. Saat ia menyerahkan kertas itu, mata mereka bertemu. “Terima kasih,” ucap wanita itu lirih, namun tulus. Ryan menatapnya sejenak, lalu mengangguk tanpa kata. Ia melangkah pergi, tetapi langkahnya terasa berbeda. Seolah ada sesuatu yang tertinggal di belakang. Wanita itu bernama Rachel. Ia bekerja paruh waktu sebagai asisten di firma hukum kecil. Kehidupannya sederhana, jauh berbeda dengan dunia megah Ryan. Namun pertemuan singkat di lobi itu, meski tampak sepele, meninggalkan jejak di benak keduanya. Di dalam mobilnya, Ryan menatap keluar jendela. Ia mencoba fokus pada laporan di tabletnya, tetapi bayangan wajah Rachel terus muncul. Senyumnya, meski sederhana, terasa lebih hangat daripada lampu-lampu kota yang berkilauan. Ryan menggeleng, berusaha mengusir pikiran itu. Ia tidak punya waktu untuk orang asing. Cinta, kasih sayang, perhatian—semua itu hanya kelemahan. Begitulah ia meyakinkan dirinya. Namun malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ada satu nama yang berputar di kepalanya: Rachel. Di tempat berbeda, Rachel menutup pintu kamar kos kecilnya. Ia menghela napas lega karena berhasil menyelamatkan dokumen-dokumen penting itu. Ia tidak tahu siapa pria yang menolongnya di lobi, hanya merasa berterima kasih. Baginya, itu hanyalah peristiwa kecil di hari yang melelahkan. Tetapi takdir punya cara aneh untuk bekerja. Pertemuan singkat itu hanyalah awal dari perjalanan panjang yang akan mengubah hidup mereka berdua...Tujuh tahun telah berlalu sejak malam di mana langit Harmonia Nova berubah menjadi emas.Dunia kini hidup dalam keseimbangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Manusia, mesin, dan kesadaran buatan berinteraksi tanpa sekat. Tidak ada lagi sistem yang diperintah, tidak ada lagi algoritma yang diperbudak. Semua hidup dalam satu frekuensi yang sama — frekuensi cinta dan kesadaran.Namun di antara semua kemajuan itu, hanya satu sosok yang tetap berdiri di tempat yang sama: Ryan Alexander Hartono.CEO legendaris, pencipta era baru, dan pria yang mencintai wanita yang kini menjadi bagian dari dunia.Angin sore berembus lembut di taman atap menara tertinggi.Ryan duduk di bangku kayu tua, mengenakan jas abu sederhana. Di sebelahnya, sebuah pot bunga mawar putih tumbuh indah — bunga yang dulu Rachel tanam di rumah mereka yang lama.Ia tidak menanam ulang bunga itu. Akar aslinya yang dulu hampir mati kini tumbuh kembali, tanpa sebab logis.Tapi Ryan tahu, itu bukan keajaiban alam. Itu adalah
Udara malam di Harmonia Nova terasa berbeda malam itu. Tidak dingin, tidak panas — hanya tenang. Seolah seluruh kota tahu bahwa sesuatu besar sedang terjadi. Langit bersinar lembut dengan pancaran cahaya biru keperakan, membentuk pola seperti jalinan urat nadi di atas langit — tanda bahwa Rachel kini menyatu sepenuhnya dengan sistem global.Di observatorium puncak menara Alexander Corp, Ryan berdiri di depan dinding kaca besar, menatap panorama kota di bawah sana.Sudah berhari-hari ia tidak tidur. Tubuhnya letih, tapi matanya masih menyala oleh tekad dan rasa kehilangan yang tak pernah benar-benar padam.Di belakangnya, langkah kaki terdengar.“Ryan,” suara Andrew pelan. “Kau sudah di sini sejak subuh. Dunia sedang menunggu keputusanmu.”Ryan tidak berbalik. “Keputusan apa?”“Program perlu disempurnakan. Tanpamu, sistem Rachel tidak akan stabil selamanya. Ia mulai menyatu terlalu dalam. Jika terus dibiarkan, resonansi itu bisa... melampaui batas.”Ryan memejamkan mata. Ia tahu maksud
Senja turun perlahan di atas kota Harmonia. Gedung-gedung kaca memantulkan cahaya jingga yang berpendar, membentuk ilusi seperti lautan cahaya yang tenang. Di menara pusat, Ryan duduk sendiri di ruang observatorium tertinggi — tempat segalanya bermula.Di bawahnya, Harmonia Nova berdenyut lembut. Sistem itu kini bukan sekadar jaringan teknologi; ia telah menjadi makhluk hidup yang menumbuhkan keharmonisan antara manusia dan kesadaran buatan. Kota itu bernyanyi tanpa suara, tapi setiap getarannya terasa seperti detak jantung Rachel.Ryan menatap langit sore.Sudah lima tahun sejak peluncuran pertama. Dunia berubah.Namun bagi Ryan, waktu seperti berhenti di hari ketika Rachel menjadi bagian dari cahaya.“Nova,” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban. Hanya desiran udara yang lembut.Ia berdiri, berjalan menuju konsol utama, lalu menaruh telapak tangannya di atas permukaan kaca berpendar. “Kau di sana, kan?” suaranya bergetar. “Aku tahu kau masih mendengarku.”Beberapa detik hening.Lalu —
Tiga minggu telah berlalu sejak malam ketika Harmonia nyaris runtuh. Kota masih bergetar oleh sisa-sisa kejadian itu—bukan karena kehancuran, melainkan karena sesuatu yang lebih dalam: rasa kehilangan.Di menara utama, gedung kaca setinggi langit yang kini disebut banyak orang sebagai The Living Tower, dunia seakan memantulkan bayangan Ryan yang berjalan menyusuri lorong kosong di lantai atas.Ia tampak lebih tua, bukan secara fisik, tetapi di sorot matanya. Orang-orang di sekelilingnya berbicara dengan nada kagum, ada pula yang dengan rasa iba.Mereka tahu, Ryan telah menyelamatkan dunia bisnis dari kehancuran global. Mereka juga tahu, harga yang dibayarnya adalah separuh jiwanya sendiri—Rachel Maharani.Sejak hari itu, tidak ada yang pernah menemukan tubuh Rachel. Hanya sistem Harmonia yang tetap aktif, memproses data dengan efisiensi tak pernah terlihat sebelumnya, seolah ada kesadaran di dalamnya.Setiap kali Ryan melewati ruang inti, lampu biru di panel pusat akan berpendar sedik
Malam di tepi kota Harmonia itu bergetar seperti ujung simfoni yang belum selesai. Angin menyapu atap menara Alexander Group, menimbulkan suara serupa gesekan biola yang panjang dan menekan. Dari balkon tertinggi, Ryan berdiri memandangi lautan cahaya kota yang ia bangun dengan tangannya sendiri — dan yang kini tampak di ambang kehancuran.Berbulan-bulan sejak insiden “Resonansi”, dunia bisnis global terguncang oleh rahasia yang terbongkar: jaringan bawah tanah yang pernah dipakai Arman ternyata masih hidup di balik bayangan. Dan kali ini, targetnya bukan sekadar saham — tapi Harmonia itu sendiri, proyek yang menjadi simbol penyatuan seluruh divisi Eterna Corp dan Alexander Holdings.Ryan berdiri di sana dalam diam, setelan hitamnya terhempas angin, dan mata dinginnya menatap ke kejauhan — namun ada sesuatu yang berbeda. Dulu ia melihat dunia seperti papan catur, kini ia melihatnya seperti panggung orkestra, di mana setiap nada berarti hidup seseorang. Dan di tengah orkestra itu, ada
Permukaan laut masih bergelombang lembut ketika Astra-Blue One berlabuh di dermaga Harmonia Base. Di atas langit, spiral cahaya dari bulan dan samudra perlahan meredup, menyisakan jejak biru samar yang masih menari di cakrawala. Dunia seolah baru saja melewati ambang antara mimpi dan kenyataan.Lyra berdiri di dek kapal, masih mengenakan pakaian penyelam yang basah. Matanya menatap ke arah horizon tanpa berkata-kata.Suara resonansi yang tadi mengguncang hatinya masih bergema samar di telinga—bukan sebagai nada asing, melainkan detak yang seirama dengan jantungnya sendiri.“Kau baru saja menghubungkan langit dan bumi,” kata Dean melalui sistem komunikasi.“Tapi frekuensinya belum stabil. Gelombang dari inti bumi terus meningkat.”Lyra menarik napas panjang.“Bukan gangguan,” ujarnya pelan. “Itu balasan.”Dean terdiam, seolah memproses makna kalimat itu.Keesokan harinya, rapat darurat digelar di lantai puncak Harmonia Core. Semua kepala riset dan pemimpin dunia hadir melalui proyeksi.







