"Enak banget Gas. Gak nyangka ternyata kamu pinter banget masak ya," ungkap Tasya yang tampak sangat menikmati masakan Agas.Nara mengangguk-angguk setuju. "Iya Pak. Ini benaran enak banget.""Syukurlah kalau suka. Jadi masakan saya tidak dibuang," ucap Agas sambil tersenyum lega.Nara yang melihat senyum itu tampak terpesona. Dia masih benar-benar takjud karena sosok Agas yang biasanya hanya berekspresi datar, ternyata bisa tersenyum juga. Meski ini bukan pertama kalinya Nara melihat senyuman Agas tetapi tdak menghentikannya untuk merasa kagum."Sering-sering aja masak deh Gas. Sayang kalau bakatmu ini tidak digunakan.""Emang kamu pikir saya bukan orang sibuk?" ujar Agas menanggapi perkataan Tasya."Eh, iya juga. Kamu itu kan Pak Ceo terkenal," timpal Tasya dengan nada mengejek."Minta dimasakin suami sendiri aja sana. Heran banget. Biasanya orang ngidam, yang repot itu suaminya kenapa giliranmu saya yang direpotin?" gerutu Agas meski begitu dia tidak memasang ekspresi kesal."Salah
Nara sampai mengucek kedua matanya untuk memastikan apa yang dilihatnya namun tetap tidak berubah."Beneran Mas Adam ternyata," ucap Nara tidak percaya. "Kok bisa-bisanya dia selingkuh dari Mbak Lia?"Mata Nara terus mengikuti pergerakan seorang pria yang Nara sebut sebagai 'Mas Adam' sedang bergandengan tangan dengan seorang perempuan yang berpakaian kurang bahan.Dia terus mengikuti dua orang yang sedang berselingkuh itu dari jauh sambil sesekali merekam dan mengambil foto mereka untuk dijadikan bukti saat dia melaporkan hal ini pada Lia.Nara mengikuti mereka sampai tiba ke apartemen yang sangat Nara kenali. Siapa lagi kalau bukan apartemen sahabat Nara, Lia."Bener-bener keterlaluan Mas Adam," ujar Nara dengan kesal.Pasalnya Adam ini membawa perempuan lain ke tempat tinggal milik Lia. Meski tidak sering ditinggali karena Lia lebih sering tinggal di rumah orangtuanya untuk menemani sang ibu. Tetap saja apartemen ini milik Lia.Kemudian yang terjadi selanjutnya, Nara dibuat terngan
"Maksudnya gimana, Pak?" tanya Nara tidak mengerti dengan perkataan Agas."Saya denger dari obrolan karyawan katanya dia ngasih kamu hadiah.""Hadiah? Kapan?" Nara bertanya balik karena dia tidak merasa pernah mendapatkan hadiah dari Pak Aldi.Tunggu dulu."Maksud bapak, hadiah yang diberikan Pak Aldi itu? Bukannya itu titipan dari Pak Agas sendiri?" jawab Nara apa adanya."Dari saya?" Agas tampak tercengang namun segera sadar. "Maksudnya itu hadiah yang saya titipkan ke Aldi untuk kamu?"Nara mengangguk mengiyakan."Ternyata begitu," ucap Agas dengan canggung. "Saya salah sangka.""Memangnya dari siapa Pak Agas denger gosip seperti itu?" tanya Nara penasaran karena selama ini dia sama sekali tidak mendengar gosip itu."Ada di suatu tempat. Saya minta maaf karena salah sangka," ujar Agas dengan malu."Tidak apa-apa, Pak," jawab Nara dengan santai. "Tapi Pak.""Ya?" Agas memandang Nara seakan menunggu apa yang akan selanjutnya dikatakan."Saya enggak nyangka ternyata bapak juga suka go
"Nara, kayaknya sudah waktunya aku lahiran deh," jelas Tasya dari dalam bilik."Lahiran?" Kepala Nara seakan berdengung ketika mendengarnya. Dia sontak jadi panik sendiri. "Mbak, buka pintunya dulu."Saat pintu telah terbuka, tampak Tasya sedang terduduk di closet dengan wajah pucat."Ayo mbak, kita ke rumah sakit."Nara dengan hati-hati memapah Tasya keluar dari toilet. Sepanjang jalan Nara berusaha menenangkan Tasya yang tampak merasa takut.Saat tiba di tempat parkir, mereka bertemu dengan sopir Tasya yang menghampiri mereka setelah melihat majikannya dipapah."Pak, saya mau melahirkan. Tolong anterin ke rumah sakit." Tasya berkata sambil menahan rasa sakit."Baik, Bu. Mari saya bantu," ucap pak sopir sambil ikut membantu Nara memapah Tasya."Kamu ikut ya, Nara. Temenin saya," pinta Tasya sambil menggenggam lengan Nara dengan erat."Iya, Mbak. Nara ikut kok," ujar Nara langsung menyetujuinya karena Nara pun merasa tidak tenang kalau tidak menemani Tasya.Mobil melaju dengan cepat m
Alis Agas terangkat saat Nara bertanya seperti itu. "Saya Agas. Masa kamu tidak ingat wajah saya?" tanya Agas dengan bingung "Oh ternyata Pak Agas. Pantesan suaranya kayak familiar gitu," ujar Nara setelah mengetahui identitas orang yang sedang berada di sampingnya. "Habisnya kenapa bapak pake masker?" Rupanya Agas baru sadar kalau dirinya sedang memakai masker. Dia segera melepaskannya. "Tadi saya habis tinjau proyek di daerah yang berdebu. Jadi saya langsung ke sini pas denger kabar kalau Mbak Tasya melahirkan," jelas Agas "Oh begitu. Tapi kenapa saya bisa ada di sini, Pak?" tanya Nara heran. "Memangnya kamu enggak inget?" tanya Agas yang kemudian dibalas dengan gelengan kepala oleh Nara. "Pas saya baru nyampe depan pintu ruang bersalin, kamu pingsan. Katanya mungkin kamu shock," jelas Agas perlahan. "Kamu gak kenapa-napa?" "Enggak Pak. Sepertinya saya agak terkejut aja lihat proses lahiran Mbak Tasya," jawab Nara seadanya. "Saya berterima kasih sama kamu karena sudah memba
"Kecelakaan?"Nara tercengang mendapat kabar buruk itu. Mama Lia itu sudah seperti ibunya sendiri. Setiap kali bertemu, Nara diperlakukan seolah Nara itu anaknya sendiri sehingga Nara yang mana ibu kandungnya sendiri telah meninggal dapat merasakan kasih sayang seorang ibu dari Mamanya Lia ini."Datang ke RS Permata," kata Lia sebelum akhirnya memutuskan kontak secara sepihak.Nara tidak berniat untuk menunggu bus lagi. Dia berjalan ke arah pangkalan ojek yang berjarak lima menit dari tempat Nara berdiri sekarang."Pak, antarkan saya ke Rumah Sakit Permata," ucap Nara pada salah satu ojek di sana.Kemudian Nara diantarkan menuju RS Permata dengan cepat. Bisa dibilang lebih cepat daripada ketika Nara naik bus."Mbak, saya mau tanya ruangan pasien kecelakaan atas nama Maharani ada di mana ya?" tanya Nara pada pegawai bagian pendaftaran di rumah sakit tersebut."Ruang ICU 3 lantai 4 ya, Mbak." Nara tersentak mendengar jawaban tersebut. Hatinya semakin takut pada kondisi dari Tante Mahar
"Kamu siapa, Nak?" tanya Nara pada anak kecil yang bergelayutan di kakinya."Maafin aku, Tante cantik karen nyebrang sembarangan," ucap anak itu sambil menatap Nara dengan mata puppy yang menggemaskan.Nara yang semula ingin memarahi pelaku yang membuatnya hampir saja celaka, tiba-tiba hilang rasa marahnya. Ekspresinya berganti menjadi lebih lembut.Nara mengajak anak itu menepi lebih dulu. Dia memarkirkan motor itu di area taman lalu duduk di bangku taman bersama anak itu."Siapa namamu, Nak?" tanya Nara sambil tersenyum."Namaku Bima, Tante cantik," jawabnya."Di mana orangtuamu? Kenapa kamu di sini sendirian?" tanya Nara lagi dengan nada lembut."Gak tahu, Tante cantik."Jawaban itu membuat alis Nara terangkat. Cukup aneh."Kenapa gak tahu? Apakah kerja?" tanya Nara."Papa sama Mama jarang di rumah. Oma sama Opa sekarang punya cucu baru lagi, aku jadi ...." Bima mencoba berkata tetapi rupanya dia malu."Cemburu sama adik baru?" tanya Nara pelan."Bukan adik aku, Tante. Kata papa di
"Suster, tolong bicara lebih jelas," desak perempuan itu saking tidak sabarnya."Bayi ibu telah meninggal."Deg!"Apa?" Perempuan itu bergumam linglung. "Maksud suster apa?""Bayi ibu sudah meninggal." Perempuan itu membeku. Tampak sangat terguncang dengan apa yang diucapkan sang suster.'Bayi ibu sudah meninggal. Bayi ibu sudah meninggal. Bayi ibu sudah meninggal.'Kalimat itu terus terngiang-ngiang di telinga sampai dia tidak bisa mendengar suara orang lain.Bisa dibayangkan bagaimana hancurnya hati wanita itu saat mengetahui bayi yang telah dikandung sembilan bulan lamanya ternyata sudah meninggal. Padahal jelas-jelas dia sempat mendengar suara tangisan bayinya sebelum pingsan."Bohong kan, Sus. Pasti bohong! Jelas-jelas tadi saya dengar suara bayi saya. Tolong beritahu saya di mana bayi saya, Sus." Perempuan itu berteriak histeris."Bayiku di mana bayiku. Dimana? Hiks ... Hiks ... Hiks ...."Tangisan pilu tidak dapat dia bendung. Pikiran penuh akan suara bayi yang hanya beberapa