Share

Bos Galak Menyebalkan

“Apa kamu bilang?” Tias mengernyitkan dahinya. Dia tidak bilang apa-apa? Tias hanya berkata dalam hati. Eh, kok bisa tahu?.

“Maksud, Bapak?” tanya Tias dengan penuh heran.

“Kamu pasti ngatain saya di hati kamu ‘kan?”

“Tidak, Pak. Mana berani saya?” Tias menunduk karena takut. CEO yang baru itu sungguh terlalu killernya. Tidak tahu apa, kalau dia sedang patah hati karena suaminya tidak pulang semalaman. Duh, rasanya ingin menjambak rambutnya yang sangat tebal itu. Gedeg banget rasanya menghadapi spesies macam pak Ilham itu. Dia terdiam di kursi itu, dengan melirik blok name yang ada di meja itu. Ilham Sanjaya Sasmita. Tertulis dengan huruf kapital dan berbentuk balok seperti orangnya lempeng dan kotak seperti itu dalam pikirnya. Dia tersenyum menganalisa pikirannya sendiri.

“Ngapain kamu malah senyum-senyum? Kamu tak suruh ngapain?” Tias nyengir sambil menganga tidak percaya akan pertanyaan itu. Bukannya tadi dia menyuruh untuk duduk? Kenapa sekarang jadi tanya?

“Lah, tadi bapak nyuruh saya duduk? Gimana sih, Pak?” Tias mulai mengeluarkan kegedegannya melihat kesemena-menaan atasannya itu, yang menurutnya sangat absurb banget.

“Siapa yang nyuruh kamu duduk. Siapkan berkas untuk pengecekan kita di sekolah Bunga Desa. Kamu? Ck ... ya Tuhan memang betul-betul. Inikah rekomendasi dari pak Santoso yang katanya berprestasi?” Nafas lelah di hempaskan oleh Tias. Dia keluar dari ruangan itu dengan hati dongkol tingkat  dewa brahmana atau apalah. Sungguh saat ini jika boleh ingin memasak orang dan memakannya. Gedeg banget rasanya. Sedangkan Ilham tersenyum melihat Tias yang sudah super kesal terhadapnya.

Gubrak ... snelhelter yang tadi dibawa ke ruangan Ilham di banting di atas meja hingga bunyinya juga sampai ke dalam ruangan lelaki berusia dua puluh sembilan tahun itu. Lelaki itu tersenyum mendengar suara gebrakan itu, seolah-olah sudah tahu jika itu suara kemarahan Tias. Entah mengapa dirinya selalu merasa bahagia dengan omelan dan wajah cemberut dari Tias. Menurutnya sangat lucu dan menggemaskan.

“Lo kenapa, Yas? Dateng-dateng manyun kayak ikan cupang? Lo habis kesambet apa?” Lita sahabatnya menanyakan, karena wanita itu terlihat sangat tidak baik dan terlihat berantakan sekali.

“Kesambet si ikan hiu. Gimana gue nggak kesel. Ini ye, die nyuruh gue duduk. Saat aku duduk, die bilang ngapain masih duduk di situ? Si buaya muara itu ngusir gue, gedeg nggak?” Tanpa keduanya sadari, Ilham sudah ada di depan mereka. Membuat Lita memberi kode sama Tias, tapi tidak diindahkannya.

“Apaan sih, Lo? Kejet-kejet gitu? Lo sarap? Gue nggak ngerti lo ... ” Suara deheman mengehentikan Tias yang  nerocos bagai mercon rentengan disulut dari tadi tidak ada berhentinya.

“Eh, pak Ilham. Ini mau saya kerjakan, kok. ‘Kan tinggal print.” Tias nyengir menyadari kesalahannya.

“Baguslah. Dan satu lagi saya bisa lebih ganas dari buaya muara.” Ilham membisikan kata itu tepat di telinga Tias, hingga wanita itu bergidik karena merinding. Tias duduk di kubikelnya, kemudian mulai menjalankan tugasnya mengeprint banyak berkas yang akan  dibawa untuk peninjauan ke lokasi proyek gedung di salah satu kantor cabang. Sebenarnya, sudah ada yang mengurus, hanya saja perlu diadakan kunjungan untuk emmastikan kinerja. Apalagi Ilham adalah seorang yang sangat perfeksionis, segala sesuatu harus sempurna.

Pukul sebelas kurang seperempat, tapi belum juga selesai di print berkas itu karena terlalu banyak yang harus di persiapkan. Selain itu, wanita berambut diurai itu harus mengedit sesempurna mungkin dua sampai tiga kali dia mengecek barangkali ada typo atau semacamnya. Tentu akan disuruh print ulang oleh buaya muara jika ada typo sedikit saja.

“Ehem ...” Suara deheman dari Ilham membuat wanita dengan prestasi gemilang namun ceroboh itu menoleh. Akan tetapi, sedikit abai akan kehadiran atasannya itu. Dia sedang fokus mencetak dokumen yang akan di bawa untuk pengecekan.

“Sudah selesai?” tanya Ilham.

“Sebentar lagi, Pak.” Wanita dengan pakaian formal itu menjawab tanpa menoleh ke arah Ilham. Wanita itu terlihat fokus kepada pekerjaannya, membuat Ilham terkesima dengan wanita itu. Menurutnya, wanita yang pantang menyerah terlihat menarik di matanya. Lama Ilham memandang wanita yang berkulit sawo matang namun terlihat bersih itu. Tanpa kedip, hingga Lita yang berada di kubikel berbeda merasa sedikit aneh pada bosnya itu. Namun, dia hanya merasa saja tanpa berani mengucapkan.

Akan tetapi, Lita memerlukan tanda tangan pria dengan tinggi yang lumayan jangkung itu. Kalau terlihat dari cara dia berdiri di dekat Tias yang tingginya seratus enam puluh senti meter dengan hak setinggi sepuluh senti meter, maka ditaksir tinggi pria itu sekitar seratus delapan puluh senti meter. Pria dengan model rambut undercut itu sangat cocock dengan wajahnya yang oval dengan pipi tirus namun rahang tegas itu.

“Pak Ilham, mohon maaf boleh meminta tanda tangan pada berkas ini?” Ilham tergagap seolah terjebak dan ketahuan mencuri sesuatu yang memalukan. Dia mengambil berkas yang di sodorkan oleh Lita kemudian membubuhkan tanda tangan pada kolom yang sudah disediakan.

“Tias, saya tunggu di depan.” Ilham menggendong tangannya keluar dari kubikel milik Tias. Tias yang mendengar suara bosnya memberi tahu hanya menoleh sekilas kemudian melanjutkan sisa print yang ada. Wanita dengan gaya sedikit tomboy namun masih menonjolkan sisi feminimnya itu kemudian menata berkas pada masing-masing snelhelter dan  membaginya dalam berbagai kategori sesuai judul berkas, kemudian menulisnya di halaman depan agar tidak keliru.

“Berkas sudah, kompas penting, HP ada di tas, dompet sudah ... apalagi ya?” Sejenak dia berhenti mengabsen barangnya yang ada, kemudian membawa berkas-berkas itu dalam satu wadah pastik bag yang selalu di bawa untuk wadah berkas. Kaki jenjangnya mulai menapaki panjang ubin-ubin yang ada di lorong kantor itu. Kubikel-kubikel ubin itu dijejakinya hingga terlihat depan kantor berjejer mobil dan motor. Saat di area lobi, Tias memandang lurus ke depan untuk mencari mobil milik atasanya itu. Dilihat  ada tangan melambai, mengenakan kemeja putih.

Dengan percaya diri Tias melangkah menuju ke arah Ilham. Dia membawa banyak berkas di tanga kirinya, dengan tangan kanan mengempit tas selempangnya. Terlihat sangat kesusahan. Rasanya Ilham ingin membantunya. Akan tetapi diurungkan niatnya tersebut, kemudian memilih untuk tetap menunggu dan pura-pura tidak perduli.

“Pak, saya sudah siap.” Ilham menoleh mendengar panggilan itu. Dia mengerutkan keningnya melihat sepatu yang dikenakan oleh Tias.

“Kamu yakin mau pakai sepatu seperti itu? Aku saja pake sepatu olah raga. Ganti!” Ilham menyuruhnya untuk mengganti sepatu.

“Pak, saya tidak bawa. Bagaimana mau ganti?” Tias terlihat frustasi. Tidak dipungkiri lelaki di depan wajahnya ini selalu membuatnya frustrasi. Bukan kali ini saja. Seminggu dia ditugaskan di sini, sudah seperti neraka terasa kantor ini. Jika bukan karena atasannya, mungkin sudah di smack down lelaki bertubuh jangkung itu. 

Note : Nah loh, hihihi ... mau ketawa jadinya. Huungi saya kalau mau lebih dekat ya? 088216076937

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Juniyanti jhune
bab nya ketukar jadi bingung bacanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status