Share

BAB 5 : Revisi

Pagi hari yang harusnya dimulai dengan bahagia sepertinya tidak bisa Tania rasakan hari ini. Wanita itu melihat di meja makan sudah tertata sarapan dan menu favorit dirinya dan Dika. Hanya saja alih-alih tersenyum dan bersyukur, Tania justru menghela napas panjang dan berat.

Aneh memang, harusnya Tania senang ketimbang cemberut. Tapi mau bagaimana lagi, sarapan itu tidak dia dapat dengan mudah dan tentunya tidak murah. Sarapan itu ibu mertuanya yang menyiapkan setelah mendapatkan apa yang dimau, lantas pulang ke rumahnya sendiri pagi-pagi buta. Sarapan biasa yang harus Tania bayar dengan uang puluhan juta. Tidak setimpal dengan apa yang harus dia keluarkan.

Mengingat ibu mertuanya membuat Tania tanpa sadar menggeram, giginya bahkan bergemerutuk.

"Ma?"

Suara pelan itu membuyarkan lamunan Tania. Suara lembut yang berasal dari bocah lima tahun yang tak lain Ara - putrinya. Matanya yang bening mantap Tania heran.

"Ara jadi mandi nggak, Ma?" tanya bocah itu lagi. Tangannya menggenggam tangan kanan Tania.

"Mandi?" ulang Tania, saking kesalnya dia bahkan sempat lupa dengan kebiasaan memandikan Ara di pagi hari.

Agar tidak membuat sang putri bingung, Tania pun memulas senyum, dia menggandeng tangan buah hatinya itu sampai di depan kamar mandi, lalu berjongkok dan membuka satu persatu kancing depan piyama Ara.

"Tentu saja jadi mandi. Memangnya Ara mau pergi sekolah tapi tidak mandi? Nanti bau," oceh Tania mencoba mencairkan suasana dengan menggoda sang anak.

"Oiya hari ini rambutnya mau dibikin bagaimana. Kuncir satu apa kucir dua?"

"Dua!" seru Ara. Bocah itu terlihat lebih antusias. Bibirnya mengulas senyum lebar yang membuat hati Tania menghangat.

Seperti biasa Tania akan dengan telaten mengemas semua keperluan Ara. Hanya saja pagi harinya ini benar-benar suram karena dimulai dengan sesuatu yang tidak menyenangkan. Biasanya akan ada senyum semringah di meja makan, tapi hari ini Tania lebih banyak diam, tidak ada senyuman sama sekali dan penampakan itu membuat Dika merasa tidak nyaman.

"Tania, berhenti marahnya. Jangan cemberut terus!"pinta Dika. Dia yang tengah memegang ponsel sampai melepaskan benda itu dan menatap lekat sang istri. "Cemberut di pagi hari tidak baik," imbuhnya.

Tania yang sedang menyuapi Ara pun langsung menatap kesal. Masih ingat dan segar di ingatannya, semalam pria itu bukannya memihak malah menyudutkan. Tidak hanya itu, Dika tetap membela ibunya dan malah memintanya untuk banyak bersabar. Bahkan mengabulkan apa yang diminta Nami pada akhirnya.

"Sayang, rezeki yang kita berikan ke orang tua itu pasti berkah. Akan dibalas Tuhan berkali-kali lipat. Jadi tolong jangan cemberut terus!" lanjut Dika.

Mendengar itu menggelegak darah Tania. Dia bahkan tanpa sadar meletakkan piring nasi goreng milik Ara dengan kasar, hingga bunyinya menggema. Tidak hanya itu, mata Tania juga melotot galak.

"Berkah kalau yang ngasih ikhlas. Dibalas kalau yang ngasih ikhlas. Sedangkan aku tidak ikhlas."

"Maka dari itu cobalah ikhlas."

"Ikhlas tidak semudah membalik telapak tangan," balas Tania lebih sengit.

"Mama sama Papa kenapa berantem? Jangan berantem. Ara janji tidak akan nakal," lirih Ara. Mata anak kecil itu langsung berkaca-kaca. Dia kira orang tuanya bertengkar karenanya.

"Ara janji tidak akan cengeng lagi. Tidak akan minta boneka Barbie lagi ...."

Ara menitikkan air mata, bibirnya juga bergetar dan itu membuat Tania mengutuk diri sendiri. Dia baru tersadar kalau ada Ara di samping mereka. Bocah yang seharusnya tidak melihat pertengkaran di antara dirinya dan Dika.

Tania pun menghapus air mata Ara. "Maafkan Mama ya, sayang. Mama sama papa tidak berantem. Kita cuma lagi diskusi saja."

"Iya, Sayang." Kini Dika ikut menimpali. "Mama sama papa cuma diskusi. Kamu jangan nangis, ya. Jangan mikir yang bukan bukan!"

Bocah kecil itu menatap wajah kedua orang tuanya sembari menghapus air mata. "Mama Papa tidak berantem?" ulangnya dengan polos dan senyumnya seketika terbentuk saat melihat anggukan serentak dari kedua orangtuanya.

"Apa sudah sarapannya? Kalau sudah kita berangkat sekarang, yuk!"

"Tidak perlu," sela Tania. Karena rasa bersalahnya dia ingin mengantar Ara. "Buat hari ini biar aku saja yang antar Ara," lanjutnya.

Alis Dika hampir menyatu karena heran. "Tapi kamu nanti bisa terlambat. Arah kantor kamu tidak searah dengan sekolah Ara."

"Tidak masalah." Tania segera mengambil ransel dan melampirkannya ke pundak Ara, dia tersenyum kecil saat bersirobok pandang dengan anaknya. "Yuk, kita berangkat."

Dika pun hanya bisa memandang Tania dan Ara yang pergi, bahkan istrinya itu entah lupa atau sengaja tidak menyuruh sang putri berpamitan padanya.

***

Seperti biasa Nadine akan sibuk membersihkan apartemen setelah Putra pergi bekerja. Dia akan menyapu dan mengepel setelahnya memasak untuk makan siang. Semua akan rampung dengan waktu kurang lebih tiga jam.

Sekarang Nadine tengah menatap diri di depan cermin. Cermin besar yang bisa menangkap keseluruhan pantulan tubuhnya dari ujung kaki sampai kepala. Nadine terus berputar-putar, setelah itu titik fokusnya tertuju ke perut yang masih rata. Diusapnya pelan perutnya itu lalu mengembuskan napas panjang dan berat.

"Kapan kamu ada di sini, Sayang? Cepatlah hadir agar bisa melengkapi kebahagiaan Mama dan papa," gumamnya pelan, setelah itu tersenyum getir.

Tiga tahun penantian bukanlah waktu yang singkat untuk Nadine. Tiga tahun itu dia terus berusaha. Batinnya juga bergumul dengan beberapa pertanyaan besar. Apa dia bisa hamil? Dosa apa yang dia lakukan sampai tidak diberi kepercayaan mengandung? Apa selamanya dia tidak akan bisa mengandung? Jika iya, apa yang harus dia lakukan untuk mempertahankan pernikahan?

"Ah sudahlah, meratap juga tidak akan berguna," lanjutnya menyemangati diri. Lantas, mencepol rambut agak tinggi.

Nadine pun membuka lemari hendak mengemas keperluan Putra untuk perjalanan dinas besok. Hanya saja baru juga membuka isi lemari, fokusnya tertuju pada satu kemeja di bagian paling bawah.

"Ini punya siapa?" batin Nadine, diambilnya kemeja berwarna biru laut itu, lalu mengendusnya beberapa kali.

"Perasaan aku belum pernah membelikan Putra baju kemeja ini. Apa aku lupa, ya?" Nadine bergumam sambil menggaruk-garuk kepala. Dia berusaha mengingat dan sekeras apa pun mencoba dia juga tidak menemukan titik terang. Dia belai lagi kemeja yang ada di tangannya.

“Sudahlah, nanti saja aku tanyakan." Nadine kembali bergumam. Setelahnya melipat kemeja itu dan dia letakkan di bagian paling atas. Rencananya akan Nadine tanyakan saat suaminya pulang kerja nanti.

Setelah semuanya selesai wanita itu pun duduk di meja kerjanya. Matanya berbinar melihat laptop yang baru dia nyalakan.

"Ayo, waktunya kita dinas! Semangat Nadine!" teriaknya. Dia benarkan kacamata. Hal pertama yang dilihatnya adalah e-mail. Tak sabar dia melihat jawaban atas naskah yang dia kirim tiga minggu lalu ke salah satu penerbit.

"Naskahku pasti diterima," gumamnya penuh percaya diri.

Akan tetapi kenyataannya Nadine harus kecewa karena e-mail itu menjelaskan hal lain. Naskahnya tidak diterima seperti apa yang dia yakini. Justru sebaliknya. Nadine terus membaca pesan yang lumayan panjang itu, bahkan di bagian akhir pesan tertera pendapat yang membuatnya sampai membulatkan mata.

"Saran kami lebih baik Anda hadirkan pelakor agar ceritanya lebih menarik. Jika Anda bersedia merevisi silahkan segera konfirmasi ke kami, dan kami akan dengan senang hati menerima naskah Anda, terima kasih."

Nadine langsung melepas kacamata setelah membaca kalimat itu, dia bahkan menatap sinis layar laptopnya.

"Hah? Aku dia suruh menulis cerita tentang pelakor?"  Nadine geram. Tangannya mengepal. "Mau digaji puluhan juta aku juga tidak akan sudi."

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Nia Kurniawati
nama pelakor nya kenapa musti wangi sih wangi busuk iya...
goodnovel comment avatar
Nellaevi
pelakor lebih seram dari pada kuntilanak
goodnovel comment avatar
Risma Magdalena
Nah kan si putra itu selingkuh pasti duh Nadine knp kamu ga tau ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status