Share

Bab 5

Author: Penulis No. 7
Saat ini Tama tidak ada di tempat, jadi Sania pun malas berpura-pura lagi. Raut wajahnya memancarkan keangkuhan.

"Kenapa begitu? Apa kamu buta? Anakku terluka parah!"

"Lututnya cuma lecet sedikit, tapi anakku punya gangguan pembekuan darah. Kalau terus ditunda, nyawanya bisa melayang!"

Winda bicara dengan suara nyaris menangis.

Mendengar suara ribut, dokter yang ada di luar pun masuk. Suaranya terdengar ragu-ragu saat bertanya, "Ada apa ini? Kalau stok darah masih cukup, apa bisa dibagi sedikit untuk anak ibu ini?"

Winda seperti menemukan secercah harapan. Dia buru-buru mendongak menatap dokter itu, suaranya gemetar tak terkendali.

"Tolong, Dokter! Putriku sangat butuh darah RH negatif sekarang. Kalau terus ditunda…"

"Dokter." Sania mencibir, langsung menyela sambil melirik sinis. "Suamiku adalah pemegang saham besar di rumah sakit ini. Kamu pasti tahu 'kan?"

"Barusan dia sudah bilang kalau semua darah RH negatif harus diprioritaskan untuk anakku. Apa kamu sudah nggak butuh pekerjaanmu lagi?"

Perkataan itu membuat Winda benar-benar hancur.

Dia tiba-tiba menerjang ke depan, meraih kantong darah merah segar yang tergantung di tiang infus.

"Berani-beraninya kamu merebut darah anakku!"

Sania menjerit sambil mengentakkan kaki. "Satpam! Cepat panggil satpam! Perempuan gila ini mau merampas darah penyelamat anakku!"

Tak lama, beberapa satpam datang dan langsung membekuk tangan Winda.

Melihat itu, Sania seperti merak yang memamerkan bulunya. Dia buru-buru merebut kembali kantong darah itu, lalu berteriak pada satpam, "Perempuan jalang ini mencuri darah penyelamat anakku! Cepat seret dia pergi dari sini!"

Winda diseret keluar dari ruang perawatan. Amarah di dadanya begitu membara, hampir membakar tenggorokannya.

"Darah di rumah sakit ini sebenarnya cukup, tapi dia sengaja ingin memonopoli semuanya! Aku akan telepon Tama sekarang!"

Direktur rumah sakit yang kebetulan mendengar kalimat itu langsung mengerutkan kening. "Tunggu, sebenarnya siapa di antara kalian yang merupakan istri Pak Tama?"

Detik berikutnya, Sania mengangkat ponselnya, memperlihatkan akta nikah digital di depan direktur.

"Lihat baik-baik! Akulah istri sah Pak Tama, tercatat di Kantor Catatan Sipil! Putraku, Alex, adalah anak kandungnya!"

Dari sudut matanya, dia menyapu Winda dengan tatapan penuh kebencian. "Sedangkan anak perempuannya itu cuma anak haram yang nggak bisa diakui di depan umum."

Begitu kata-kata itu terucap, para pasien yang lewat di lorong langsung berkerumun. Suara bisik-bisik mereka menusuk seperti jarum.

"Astaga, selingkuhan bisa segini sombongnya? Masih berani berebut darah anak dari istri sah?"

"Putri dari orang semacam itu mending mati saja!"

Hati Winda seperti diremas. Membayangkan wajah pucat putrinya di ruang gawat darurat, lututnya lemas dan tanpa sadar dia berlutut di depan Sania.

"Aku mohon. Selamatkan anakku…"

Bisikan di sekitar seketika berhenti, semua mata tertuju pada adegan yang tidak masuk akal ini.

Namun, Sania bahkan tak melirik sedikit pun. Dengan tenang, dia menekan nomor Tama.

Begitu telepon tersambung, suaranya berubah menjadi penuh keluhan. "Tama, cepat kembali dan selamatkan Alex. Nona Winda ini, karena benci padaku, malah ingin merebut darah Alex. Ini sama saja dengan membunuhku dan anakku!"

"Tama!"

Winda memberontak melepaskan diri dari cengkeraman satpam, lalu berteriak ke gagang telepon, "Lina terluka. Dia punya gangguan pembekuan darah dan harus segera ditransfusi! Tolong minta rumah sakit untuk memberikan sebagian stok darah mereka pada kami, atau nyawanya nggak akan tertolong!"

Di seberang telepon, ada keheningan sejenak sebelum suara Tama akhirnya terdengar, seperti menahan kesal.

"Winda, darah itu sudah aku suruh alihkan untuk Alex. Sekarang dia membutuhkannya. Jangan buat keributan dan mengganggunya. Bayi yang baru sebulan lahir butuh darah sebanyak apa sih!"

Winda berteriak sampai suaranya serak, "Alex cuma lecet di lututnya, sedangkan Lina masih di ruang gawat darurat menunggu pertolongan!"

"Aku tanya sekali lagi, putrimu sekarang kritis. Apa kamu akan mengatur transfusi darah untuknya atau nggak?"

Hanya suara dengung statis yang mengisi telepon. Setelah beberapa saat, suara Tama terdengar lagi, pelan, tetapi penuh curiga.

"Anak yang baru lahir dari mana mungkin punya gangguan pembekuan darah? Winda, kamu bahkan mau mengutuk anak kandungmu sendiri?"

"Tama!"

Air mata Winda langsung mengucur deras. "Darah dagingmu sendiri hampir mati! Apa kamu benar-benar nggak mengerti bahasa manusia?"

Direktur rumah sakit di sampingnya tiba-tiba mendekatkan diri ke telepon, berkata dengan nada menjilat, "Pak Tama, apa kami harus mengurus wanita ini? Sepertinya kondisi mentalnya terganggu. Dia terus saja mengaku sebagai istri Anda…"

Hening lagi sejenak. Kemudian suaranya terdengar dingin seperti es.

"Istriku adalah Sania. Dia sedang merawat putra kami, Alex."

"Aku… nggak punya anak perempuan."

Orang-orang seakan menghela napas lega. Tatapan mereka pada Winda dipenuhi rasa jijik, seperti sedang melihat orang gila.

Sania tiba-tiba menyunggingkan senyum sinis. Di hadapan Winda, dia melemparkan kantong darah RH negatif itu ke lantai dengan keras.

"Anak haram yang kamu lahirkan, pantas pakai darah ini?"

Dengan tumit sepatunya, dia menginjak genangan darah itu, kata-katanya tajam dan beracun. "Sekalipun aku harus memberikannya pada seekor anjing, tetap nggak akan kuberikan padamu."

Saat ini, Winda merasa jantungnya hancur remuk, bahkan bernapas pun terasa menyakitkan.

Pintu ruang perawatan ditutup dengan keras, mengisolasi dari segala hal di luar.

Dengan langkah gontai, Winda kembali ke sisi tempat tidur Lina. Dia memeluk tubuh dingin putrinya. Air mata berderai tanpa henti, membasahi pipi pucat sang buah hati.

Saat keputusasaan perlahan-lahan mulai menenggelamkannya, layar ponselnya menyala.

Sania kembali memposting status di WhatsApp.

Dalam foto, Sania sedang menggendong Alex dengan senyum cerah, disertai tangkapan layar transfer dari Tama dengan keterangan: [Rawat anak kita dengan baik.]

Winda menatap foto itu, darah di seluruh tubuhnya seakan membeku. Napas Lina dalam pelukannya juga makin lemah.

Tepat pada saat itu, suara laki-laki yang tenang tiba-tiba terdengar di pintu.

"Halo, golongan darahku RH negatif. Aku bisa melakukan transfusi darah untuk putrimu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cahaya yang Tertunda   Bab 25

    Winda terdiam sesaat, tetapi tetap menolak."Kalau dia mau berdiri di luar, biarkan saja. Kita sudah dewasa, harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri."Farel mengetuk pintu dan masuk sambil membawa secangkir susu hangat. Suaranya tetap lembut seperti biasa."Sayang, kamu pasti lelah. Minum susu ini dan tidurlah lebih awal."Winda menerima susunya. Percakapan hangat mereka sebelum tidur seakan menutup suara hujan di luar.Keesokan paginya, pelayan datang dengan tergesa-gesa."Nyonya Winda, ada masalah! Pria itu pingsan!"Winda segera mengenakan pakaian dan keluar, lalu mendapati Tama benar-benar menunggu di luar sepanjang malam.Tama demam tinggi, seluruh tubuhnya panas sekali, dan jatuh pingsan di tanah.Winda meminta seseorang membawa Tama ke rumah sakit.Saat Tama sadar, dia langsung menggenggam tangan Winda, suaranya serak tak karuan."Winda, kamu mengantarku ke rumah sakit, berarti kamu masih punya perasaan padaku."Winda menarik tangannya dan menggeleng pelan."Aku hanya

  • Cahaya yang Tertunda   Bab 24

    Setelah mengetahui anaknya mengalami disabilitas, Sania mulai mencari prostetik yang sesuai untuknya.Namun, prostetik bukan barang sembarangan, tidak seperti membeli sayur. Pemakaian prostektik bersifat jangka panjang. Di pasaran ada banyak jenis prostetik, sehingga harus dipilih dengan cermat.Satu-satunya pilihan terbaik adalah produk terbaru dari Lina Technology.Sayangnya, prostetik bionik pintar ini harus dibuat khusus dan karena perusahaan sudah memasukkan Sania dan anaknya ke daftar hitam, mereka sama sekali tidak bisa mendapatkannya.Sementara itu, prostetik murah memerlukan waktu adaptasi yang lama.Anak manja seperti Alex setiap hari menangis dengan keras dan sama sekali tidak mau bekerja sama.Sania pun merutuki Winda berulang kali.Akhirnya, dia mengambil langkah ekstrem dengan mencuri prostetik yang sebelumnya diproduksi dari gudang Grup Harto. Namun, dia sendiri tampaknya lupa bahwa itu adalah produksi yang dia sendiri ikut awasi, produk cacat yang belum dimusnahkan.Sa

  • Cahaya yang Tertunda   Bab 23

    Satu kalimat itu seperti bom waktu yang membuat semua orang terkejut.Polisi segera memanggil Tama untuk mengonfirmasi keadaan.Tama buru-buru tiba di kantor polisi. "Itu mustahil. Bagaimana bisa kamu hamil? Padahal aku selalu menggunakan pengaman."Dia terkejut dan menyadari pasti Sania yang melakukan sesuatu.Wanita licik itu, tak pernah melupakan cara untuk memanfaatkan situasi melawannya!Sania menutupi perutnya yang sudah mulai terlihat, menatapnya dengan tatapan dingin."Tama, ini anakmu. Kalau kamu nggak percaya, kita bisa melakukan tes DNA. Sekarang usia kehamilannya empat bulan, bisa juga amniosentesis.""Toh, Winda sudah membawa putrimu pergi. Kalau bayi ini laki-laki, biarkan aku melahirkannya."Tama menatap Sania dengan ketakutan, seluruh tenaganya seakan tersedot habis.Kalau Sania benar-benar hamil anaknya, dia tidak tahu bagaimana menghadapi Winda.Sesampainya di rumah sakit, mereka melakukan tes DNA dan hasilnya segera keluar.Ternyata, anak itu memang miliknya.Tama me

  • Cahaya yang Tertunda   Bab 22

    Rizka, ibunya Tama seketika merasa canggung. "Aku nggak tahu. Tama nggak pernah bilang. Aku malah mengira…"Winda mendengus sinis."Sania menggunakan bahan berkualitas rendah sehingga banyak orang dirugikan dan hal itu merusak reputasi teknologi ini.""Tapi, ayahku sebenarnya sudah menyiapkan langkah cadangan, karena inti teknologi paten ini terus dikembangkan oleh tim luar negeri ayahku. Prostetik bionik yang kalian produksi sebelumnya memang seharusnya sudah dihentikan."Rizka yang tadi masih penuh percaya diri, sekarang merasa malu sampai wajahnya pucat pasi."Kalau begitu, kamu harusnya menjaga harga diri Tama. Dia pasanganmu. Sekarang kamu terang-terangan merebut bisnisnya, apa pantas bagimu melakukan ini?"Winda tak bisa menahan tawa."Bibi, izinkan aku mengingatkanmu sekali lagi.""Anakmu yang baik itu nggak ada hubungannya denganku. Kami nggak pernah mendaftar di Kantor Catatan Sipil. Dia menikahi Sania, mantan pengasuh yang dulu dipecat."Seketika, seluruh ruangan langsung gad

  • Cahaya yang Tertunda   Bab 21

    Tama tampak sangat terkejut."Winda, maksudmu apa? Kamu ingin anak perempuanku memakai nama Farel? Apa kamu nggak tahu kalau aku dan dia musuh bebuyutan?"Farel sudah memeluk bahu Winda dan berbalik pergi, meninggalkan Tama beserta teriakannya yang terhalang pintu.Sejak hari itu, Winda mulai fokus pada kariernya.Dengan bantuan Farel, Winda mendirikan sebuah perusahaan baru atas nama putrinya, bernama Lina Teknologi.Dia memulai kembali proyek prostetik bionik pintar.Teknologi paten ini sejatinya milik ayahnya Winda. Meski sebelumnya Sania sempat menangani proyek tersebut, itu hanya memanfaatkan yang sudah ada. Teknologi inti tetap ada di tangan Winda.Begitu perusahaan baru dibentuk, media segera bergerak meliputnya.Saat Winda keluar dari gedung, banyak wartawan langsung mengarahkan mikrofon ke hadapannya."Kabarnya, Bu Winda sebelumnya juga bekerja di Grup Harto. Baru-baru ini proyek prostetik bionik mereka bermasalah besar, apa ini ada hubungannya dengan Anda?""Bu Winda, Anda da

  • Cahaya yang Tertunda   Bab 20

    Sebuah suara rendah terdengar, Farel keluar dari balik pintu.Dia berdiri di sisi Winda, keduanya saling bertukar senyum, terlihat sangat serasi."Farel!"Tama langsung mencengkeram kerahnya."Kenapa selalu kamu? Sejak kecil sampai sekarang, kamu selalu merebut segala sesuatunya dariku! Kapan kamu akan berhenti?"Farel melepaskan cengkeramannya dengan santai, lalu berbicara dengan nada mengejek."Winda adalah orang, bukan benda seperti yang kamu omongkan.""Selain itu, kamu sendiri tahu betapa kotor tindakanmu. Seharusnya orang yang Winda sukai adalah aku."Seketika, ekspresi Tama berubah.Melihat ekspresinya, Winda merasakan firasat buruk."Farel, maksudmu…"Farel mengangguk, menatap tajam ke arah Tama."Delapan tahun lalu, di pesta topeng yang diadakan oleh orang terkaya di Kota Persy, akulah yang menyelamatkan Winda, tapi kamu malah mengaku-ngaku sebagai penyelamatnya."Saat Farel menceritakan semuanya dengan terputus-putus, Winda pun teringat sesuatu.Salah satu alasan besar mengap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status