LOGIN“Jadi gimana Mbak? Tante?” tanya Ayyana setelah memperlihatkan konsep pernikahan yang sudah dirancangnya.
Maya – calon istri Raka, tersenyum tipis lalu menatap Ayyana tak enak. “Konsepnya bagus, bagus banget malahan. Cuman Mbak sama mas Raka tuh pengennya yang sederhana ajah.”
“Iya saying,” ucap Dania. “Mereka juga maunya, pernikahannya itu dilaksanakan di rumah. Jadi mungkin konsep yang kamu buat agak kurang cocok.”
“Tapi saya buat ini sesuai sama permintaan Pak Fakhri, Tante,” jelas Ayyana.
Ia masih mengingat dengan jelas ucapan Fakhri hari itu, ‘Terserah konsepnya seperti apa yang penting pernikahannya harus mewah, harus glamor’ dan satu lagi ‘pernikahannya akan dilaksanakan di hotel keluarga kami.’
Tapi sekarang? Kenapa kedua wanita cantik di hadapannya ini malah mengatakan sebaliknya. Apa Fakhri semenyebalkan itu sampai ia juga harus mengerjainya dalam hal pekerjaan? Yang benar saja.
“Fakhri?” tanya Dania. “Aduh soal itu Tante minta maaf ya Aya, sebenarnya Tante nyuruh Fakhri temuin kamu hari itu untuk sekedar kenalan ajah, kan sayang kalo pertemuannya kita cancel.”
Ayyana melongo. Dania tidak tau saja seberapa menyebalkan anaknya itu. Bahkan saat ini saja, ia masih harus bertaruh untuk tidak bertemu dengannya sampai kamis depan. Pantas saja, Fakhri seolah tak memperhatikan saat ia sIbuk menjelaskan berbagai jenis konsep pernikahan saat itu.
“Mbak jadi nggak enak, kamu udah capek-capek bikin konsepnya.”
“Udah Mbak nggak apa-apa, namanya juga kerja. Pasti ada saja ujiannya.”
Mau marah pun harusnya yang ia semprot itu Fakhri kan? Bukan mereka berdua. Jadilah mau tak mau, Ayyana harus kerja ulang, membuat konsep baru seperti keinginan Maya.
Konsep pernikahan yang sangat amat sederhana, jauh dari kata mewah berbanding terbalik dari penuturan Fakhri.
oOoOo
Selepas menunaikan sholat isya, Ayyana merapikan peralatannya lalu mengenakan hijab dan segera keluar kamar menuju dapur untuk makan malam bersama. Namun saat hendak turun samar-samar ia mendengar suara Ayahnya yang tengah mengobrol dengan seseorang dari arah ruang tengah.
Senyum Ayyana mengembang sempurna saat melihat seorang pria yang rasanya sudah cukup lama tidak ia temui, dengan semangat Aya melangkah mendekat dan mengambil tempat di tepian sofa tempat Ayahnya duduk.
“Kapan baliknya Pak Dokter?” tanyanya pada Ilham yang beberapa minggu ini menghabiskan waktu di luar negeri untuk mengikuti beberapa pelatihan medis.
Senyum manis tercetak diwajah Ilham, bahkan ia terlihat jauh lebih segar setelah melihat Ayyana. “Baru tadi pagi.”
“Terus mana oleh-oleh buat gue?” tagih Ayyana membuat sang Ayah mendelik.
“Ilham itu kesana buat belajar sayang, bukan kerja.”
“Tetep aja, Yah. Orang itu kalau pulang dari luar negeri wajib bawa oleh-oleh.”
“Ntar gue beliin siomay depan rumah sakit.” canda Ilham.
“Iihh… Nggak modal banget jadi dokter.” Ayyana beranjak menjauh untuk membantu Ibunya menyiapkan makanan di dapur.
Makan malam pun diisi dengan obrolan tentang Ilham, awalnya hanya seputar pekerjaan dan kegiatannya selama pelatihan namun bukan orang tua namanya kalau mengobrol tanpa membahas masa depan.
“Jangan terlalu fokus kerja,” ucap Ayu. “Kamu kan juga udah cukup mapan buat berumah tangga.”
“Betul itu kata Ibu, lagian juga udah ada calonnya kan?” tambah Ayah.
Ayyana yang sedang asyik menyantap makanannya ikut teralihkan, ia mengangkat wajah hendak menatap Ilham didepannya namun segera ia palingkan ke arah lain saat pandangannya bertemu dengan cowok itu.
Ilham juga menatapnya, bahkan sebelum Ayyana. Suasana diantara mereka jadi sedikit canggung namun hal itu sama sekali tak disadari kedua orang tuanya.
“Jujur sih, Ibu nggak sreg kalau kamu jalin hubungan kayak gitu. Kalau kamu memang suka, langsung nikahin ajah.”
“Iya Bu.” Jawab Ilham sekenanya.
Ia memang pernah mengenalkan Anggi pada mereka, tapi Ilham tak menjelaskan secara gamblang mengenai hubungan keduanya. Namun karena itu pertama kalinya ia membawa seorang perempuan ke rumah, jadilah mereka semua menganggap hubungan keduanya lebih dari teman.
Begitu acara makan malam selesai, Ilham tak tinggal lagi. Ia segera pamit lantaran lumayan lelah, sesampainya tadi pagi ia juga langsung diarahkan ke rumah sakit untuk mengurus beberapa hal dan setelah itu langsung datang kesana.
“Kamu tuh kalau ada waktu luang, sekali-kali nginep disini,” ucap Ayu sendu memeluk tubuh Ilham yang sudah lebih tinggi darinya.
“Jangan mentang-mentang udah punya tempat sendiri jadi jarang nengokin Ibu.”
Ilham tersenyum tulus, balas memeluk perempuan paruh baya itu. Perempuan yang sudah dianggap seperti Ibu kandungnya sendiri, yang tak pernah membedakannya dengan Adrie pun Ayyana. Meski hanya sebatas keponakan yang mereka angkat sebagai anak, tapi Ilham tau setulus apa mereka berdua, tak pernah sekali pun Ilham mendengar bentakan atau makian dari mereka.
Namun, Ilham tau diri untuk tidak selalu bergantung pada mereka. Atas semua hal yang sudah ia raih sampai menjadi seperti sekarang, hingga memiliki tempat tinggal sendiri dan mampu menghidupi dirinya sendiri, semua itu sudah sangat amat cukup baginya.
“Insya Allah, aku akan luangin waktu untuk nemuin Ibu lebih sering. Oke?” Bujuknya.
“Bener ya?” ucap Ayu melepas pelukannya.
Ilham mengangguk. “Ya udah, aku pamit dulu,” ucapnya menyalami tangan Ayah dan Ibu.
“Mau oleh-oleh kan?” Tanyanya pada Ayyana.
“Katanya nggak ada.”
“Ambil di mobil,” ucapnya keluar setelah tak lupa mengucapkan salam pada Ayah dan Ibu.
Dengan hati berbinar bahagia, Ayyana mengikuti langkah lebar Ilham menuju halaman depan.
“Nih,” Ilham menyerahkan sebuah paperbag berukuran lumayan kecil, tentu saja Ayyana menerimanya dengan senang hati.
“Makasih. Boleh gue buka?” Tanyanya membuat Ilham mengangguk.
Ayyana membeku melihat apa yang Ilham berikan, sebuah cincin dengan mutiara kecil ditengahnya.
"Aku selalu percaya sama kamu selama ini Mas, bahkan saat Dita gencar minta aku selidiki pekerjaan kamu pun, aku tetap ada di pendirian yang sama. Tapi apa? Ternyata yang Dita bilang selama ini itu benar. Tega ya kamu bohongin aku selama ini."Melihat Ayyana histeris, Fakhri segera menarik Ayyana kepelukannya. "Sayang dengerin aku dulu. Kamu tadi janjikan bakal denger penjelasan aku. Please.""Dia itu bukan siapa-siapa, namanya Jihan. Dia adik teman aku dan aku kesana cuma buat jenguk dia sayang.""Terus kenapa harus bohong kalau kamu kesana buat kerja?""Aku minta maaf.""Kamu bilang ini salah paham kan? Jadi jangan minta maaf.""Kamu tenang dulu, kita bicara baik-baik."Ayyana menggeleng pelan, ia berusaha menjauhkan diri. "Kita nggak akan bisa bicara baik-baik dalam keadaan kayak gini.""Oke kita pulang ke rumah, aku jelasin semuanya.""Kenapa nggak jelasin disini?""Sayang, tenang dulu. Ing
'Assalamu'alaikum, Mas.' "Wa'alaikumussalam. Sayang tolong lihat di kamar, kayaknya ada berkas aku yang ketinggalan." 'Map biru bukan?' "Iya bener. Aku minta karyawan aku kesana buat ambil, kamu tolong kasih ya." 'Nggak usah Mas, ini aku udah di jalan buat nganter berkasnya.' "Kamu kesini? Ya Allah, kan tadi aku bilang jangan kemana-mana." 'Aku bosen, lagian cuman nganter ini kan. Boleh ya?' "Kamu udah di jalan, baru nanya boleh." Ayyana cengengesan di seberang telpon, ia memang sengaja tidak mengabari sejak awal karena ia tahu Fakhri pasti tidak akan mengizinkannya pergi. Kalau sudah begini kan, suaminya itu tidak akan bisa melarang lagi. 'Maaf.' Ucap Ayyana kemudian. "Kalau gitu kamu hati-hati nyetirnya, nggak usah buru-buru. Mitingnya juga masih lama." 'Iya Mas.' Ayyana mengulas senyum penuh kemenangan lalu memutuskan panggilan setelah mengucap salam. "Aya udah nganter berkasnya ke sini, nggak usah suruh karyaw
"Mau di pijit nggak?" Tanya Fakhri mendekati Ayyana yang duduk setengah berbaring di kasur."Enggak usah, Mas juga pasti capek kan.""Kalau cuma buat mijit kamu sih, masih kuat sayang."Ayyana tetap menolak, ia lebih memilih menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. Keduanya duduk bersandar di kepala ranjang sambil menikmati tayangan televisi."Belum ngantuk?" Tanya Fakhri setelah beberapa lama.Ayyana mendongak menatap Fakhri yang tampak menguap, "Mas tidur duluan ajah." Katanya mengangkat kepala namun Fakhri menahannya."Aku temenin sampai kamu tidur."Ayyana yang memang inginnya di temani, segera mengulas senyum manis. "Makasih." Ucapnya lantas mengecup singkat pipi pria itu.Fakhri balas mengecup bibirnya, "Sama-sama."Ayyana buru-buru menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Fakhri. Meski sudah lama bersama tapi entah kenapa Ayyana merasa masih malu saja setiap kali Fakhri melakukan hal itu."Ingat, bumil nggak baik begadang.""Baru jam
"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam." Jawab semua yang ada diruangan itu serentak saat Fakhri masuk."Nah, datang juga ini anak Mami." Seru Dania dengan nada kesal, percayalah jika tidak ada Ayu disana, ia sudah menjewer kuping Fakhri sampai merah.Fakhri menyalami tangan keduanya sebelum mendekati Ayyana yang sedang duduk bersandar menikmati sarapannya."Maaf sayang." Ucap Fakhri mengecup kening perempuan itu.Raut wajah pria itu jelas menampilkan kekhawatiran dan rasa bersalah yang besar, saat Dania memberitahunya terkait kondisi Ayyana, ia tidak berpikir dua kali dan segera berkemas pulang.Tak peduli bagaimana Jihan merengek memintanya tinggal lebih lama."Aku nggak apa-apa Mas.""Kirain Mami udah lupa jalan pulang kamu." Seru Dania lagi.Ayu mencolek lengan perempuan itu, "Itu mantu laki-laki aku satu-satunya loh, jangan di marahin.""Emang harus dimarahin sekali-kali Yu.""Udah ah, lebih baik kita keluar cari angin. Aya kan udah a
'Gimana keadaan kamu sayang?' "Alhamdulillah Mas, udah mendingan." Ayyana tidak berbohong, ia merasa sudah jauh lebih baik sekarang. 'Aku minta maaf ya, aku belum bisa pulang.' Kondisi Jihan kembali drop setelah perayaan ulang tahunnya dan ia memaksa Fakhri untuk tetap tinggal sampai ia dibolehkan pulang dari rumah sakit. Dan seperti biasa Fakhri tidak punya pilihan, ia takut membuat Jihan semakin parah. "Iya, lagian ada Mami sama Kayla kok yang nemenin." 'Mami nggak marahin kamu kan?' "Enggak dong, Mami kan sayang sama aku. Justru kamu nanti yang siap-siap kena semprot pas pulang." Canda Ayyana. 'Aku mah udah biasa. Yang penting bukan kamu ajah yang marah.' "Kalau aku ikutan marah juga?" 'Emm... Aku ciumin sampai marahnya ilang.' "Apaan banget mainnya begituan." Fakhri terkekeh pelan, "Udah
Bukannya membaik, kondisi Ayyana justru semakin parah. Suhunya meningkat sejak semalam, karena itu pula Dania memutuskan untuk ikut bermalam bersama Kayla. Ia tidak tega meninggalkan Ayyana dengan kondisi seperti itu, tadinya Dania hendak menghubungi Ayu tapi Ayyana melarang dan setelah dipikir-pikir ia tidak ingin ada kesalahpahaman berlebih kalau sampai orang tua Ayyana tahu Fakhri pergi meninggalkan istrinya dalam keadaan sakit. Sepanjang hari, tubuh Ayyana lemas, tidak nafsu makan dan sering muntah. Namun ia tetap bersikeras untuk tidak kerumah sakit, Dania sampai bingung sendiri bagaimana membujuknya. "Sayang." Panggil Dania masuk setelah mengetuk pintu kamar. Ayyana yang bergelut didalam selimut membuka mata sedikit. "Ada Ririn sama Dita nih." Beritahu Dania. "Iya Mih." "Kalian masuk gih, Tante bikinin minum dulu." Ucap Dania mempersilahkan keduanya masuk. "E







