Sudah lebih dari setengah jam Ayyana duduk menunggu kedatangan Fakhri namun sampai sekarang pria itu belum juga menunjukkan batang hidungnya. Entah sudah berapa pesan yang ia kirim, tapi tak satu pun balasan dari Fakhri. Pria itu memintanya bertemu di cafe tersebut pukul satu siang. Kemarin Fakhri menghubunginya lewat pesan, entah dari mana ia dapat kontaknya.
Saat Ayyana hendak beranjak pergi kedatangan Ilham dan Anggi menghentikan niatannya. Meski selalu mewanti-wanti diri untuk tidak hanyut lebih dalam, tapi tetap saja hatinya tak bisa semudah itu merelakan Ilham. Pandangan Ayyana tak lepas dari mereka, hingga Ilham mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Kotak kecil yang sama persis dengan yang ia berikan pada Ayyana beberapa waktu lalu.
Ayyana menghela nafas kesal, hatinya kembali remuk terlebih saat Ilham dengan manisnya memakaikan cincin tersebut pada jemari Anggi. Ayyana melirik cincin yang melingkari jemarinya, lalu melepas benda itu dan menyimpannya dalam tas. Ini bukan pertama kalinya Ilham memberikan sesuatu yang sama pada mereka, Ayyana harusnya tau hal ini akan terjadi.
“Maaf saya telat,” ucap Fakhri langsung mengambil duduk dihadapannya, Ia bahkan hampir tak menyadari kedatangan pria itu.
Moodnya semakin buruk melihat raut wajah tak bersalah Fakhri yang sudah membuatnya menunggu lama hingga berakhir menyaksikan momen tak menyenangkan tadi.
“Saya udah kenyang, Bapak makan saja sendiri,” ucap Ayyana beranjak.
Fakhri menautkan alis, hanya ada segelas jus yang sudah tandas isinya.
“Kalau kamu pergi, artinya hutang kamu belum lunas.”
“Kalau Bapak datang tepat waktu mungkin makan siang kita sudah berakhir dari tadi.”
“Saya nggak bermaksud membuat kamu menunggu,” Fakhri mencoba menjelaskan.
Namun Ayyana yang sudah kepalang kesal tak peduli dan tetap melangkah meninggalkan cafe, sebelum suara Ilham menginterupsinya.
“Aya?” Panggil pria itu.
Ayyana sendiri berusaha mengendalikan diri, bahkan ia kini membalas senyum Anggi seolah tampak biasa melihat kebersamaan mereka.
“Udah mau balik? Gue liat temen lo baru sampai,” tanya Ilham menyebalkan.
“Ini klien gue,” alibi Ayyana. “Kita kebetulan mau survey lokasi di luar.”
Ilham hanya mengangguk pelan, namun tatapannya pada Fakhri seolah menyiratkan hal berbeda.
“Kalau gitu kita duluan,” ucap Ayyana. “Duluan Dok,” pamitnya juga pada Anggi yang dibalas anggukan serta senyum manis.
Ilham dan Anggi yang memang belum menyelesaikan makanannya kembali ke meja mereka. “Kayaknya tadi Ayyana liat kita deh.”
Ilham menautkan alis. “Yang pas dokter pakein saya cincin,” lanjut Anggi, namun Ilham tak menanggapi.
Anggi berdehem, menatap Ilham dengan senyum usil. “Dokter tau nggak apa yang lebih menyakitkan dari pada cinta beda agama?”
Menghentikan makanannya, Ilham balik menatap Anggi. “Nggak usah mulai.”
Perempuan itu terkikik geli, menjawab pertanyaannya sendiri. “Cinta bertepuk sebelah tangan. Kalau cinta beda agama, masih mending kan? Mereka sama-sama saling mencintai, cuman yaa nggak bisa bersatu ajah.”
“Tapi cinta bertepuk sebelah tangan, gimana coba? Udah nggak bisa bersatu, cintanya nggak berbalas lagi. Nyesekkan Dok?”
Mendengar ocehan Anggi, Ilham mulai kehilangan nafsu makannya. “Lebih baik habiskan makanan kamu.”
“Tapi menurut dokter lebih nyesek mana cinta terhalang restu orang tua atau cinta terhalang balas budi?”
Jengah! Ilham menegak habis minumannya lantas berdiri, berlalu meninggalkan Anggi. Mengusili Ilham memang menyenangkan.
oOoOo
“Mau survey kemana kita?” Fakhri melontarkan tanya mengikuti langkah Ayyana.
“Saya rasa Bapak nggak semenyebalkan itu untuk menganggap ucapan saya serius?”
Fakhri mengangguk-angguk. “Cinta bertepuk sebelah tangan?” Tebaknya membuat Ayyana melototkan mata.
“Apaan sih?”
Pria itu terkekeh, sangat menyebalkan. “Dari pada survey lokasi, mending kamu ikut saya.”
“Saya sibuk, mau ketemu klien.”
“Yang ada klien kamu pada kabur kalau kamu temuin mereka dengan raut wajah kayak mau nelen orang.”
“Terserah apa kata Bapak. Minggir!” Ayyana menghalau Fakhri dari mobilnya.
Pria itu bersidekap dada. “Makan sekarang atau dinner sama orang tua saya?”
“Nggak dua-duanya,” telak Ayyana.
“Kamu harus pilih salah-satunya.”
Kekesalan Ayyana kembali memuncak, apa orang dihadapannya ini tidak bisa berhenti nyebelin sedetik saja?
“Udah, ikut saya. Saya punya rekomendasi tempat makan yang bagus. Saya jamin kamu belum pernah kesana,” ucapnya beranjak namun Ayyana masih tak bergeming. Pria itu kembali mendekat, merebut ponsel Ayyana dalam genggamannya.
“Ayolah, cemburu juga butuh tenaga.”
Dosa nggak sih, jika sepatu Ayyana menghantam kepala pria itu sekarang?
oOoOo
Ayyana menghentikan mobilnya didepan gerbang sebuah rumah yang masuki oleh Fakhri, ia menurunkan kaca mobilnya saat pria itu mendekat.
“Ini rumah Pak, bukan tempat makan.” sungut Ayyana.
“Bukannya salah satu fungsi rumah adalah tempat untuk makan?” Jawab pria itu menyebalkan.
“Lebih baik kembalikan handphone saya.”
Fakhri merogoh saku jasnya yang kosong. “Ah, ponsel kamu ada di mobil.”
Dengan perasaan dongkol, Ayyana turun mengikuti langkah Fakhri. Namun baru melewati gerbang masuk, kemunculan Dania seolah membuat lututnya lemas.
“Loh Aya?” seru Dania semangat bercampur kaget.
“Assalamu’alaikum Tante,” salam Ayyana kikuk menyalami tangan perempuan itu.
“Wa’alaikumussalam,” Dania menatap keduanya bergantian. “Kalian datang kesini berdua?”
“Aya katanya mau makan siang sama Mami” sahut Fakhri seenak jidat, namun berhasil membuat Dania tersenyum bahagia. Perempuan itu lantas menarik lembut tangan Ayyana memasuki rumahnya.
“Kebetulan banget, Tante masak banyak hari ini,” ucap Dania saat mereka sudah berada di ruang makan “Kebetulan Tante juga belum makan siang.”
Dengan berat hati, Ayyana mendudukkan diri di sana.
“Mami nggak nyangka loh kalau kalian ternyata dekat selama ini.”
Ayyana tersenyum canggung. “Kita nggak dekat kok Tante. Tante jangan salah paham.”
“Assalamu’alaikum,” kedatangan Kayla –adik Fakhri– mengalihkan perhatian mereka.
“Wa’alaikumussalam.”
Kayla melangkah mendekat, menatap Ayyana. “Siapa?” tanyanya mencolek lengan Fakhri.
“Calon.”
Bisa tenggelamkan Ayyana sekarang?
“Pak Fakhri bisa ajah bercandanya,” Ayyana berusaha mencairkan suasana.
“Nggak usah malu-malu, Tante senang kok kalau mantunya kamu.”
Ayyana tersenyum kikuk, meleparkan tatapan membunuh kearah Fakhri namun menyebalkannya pria itu justru bersikap acuh tak acuh.
“Mana hanphone saya?” pinta Ayyana setelah keluar dari rumah tersebut.
Fakhri mengeluarkan benda yang diminta oleh Ayyana dari saku celananya, lalu segera dirampas oleh perempuan itu. “Jangan kasar-kasar sama calon suami.”
“Bapak tuh bisa nggak sih, mulutnya jangan asal mengklaim orang.”
“Kenapa sih kamu kesal banget saya bilang calon istri?”
“Ya karena saya bukan calon istri Bapak.”
“Nanti malam saya lamar kalau gitu.”
“Nggak usah aneh-aneh,” kesal Ayyana melangkah menjauh.
Rasanya menyenangkan melihat Ayyana meleparkan tatapan tajam padanya setiap kali Fakhri berhasil membuatnya kesal. Mungkin, keputusan Maminya untuk menjodohkan mereka memang tepat, meski sebetulnya Fakhri memendam perasaan bersalah setiap mendekati perempuan itu.
Siang tadi, Adrie seharusnya sudah kembali ke rumahnya. Tetapi pria itu tiba-tiba membatalkan jadwal kepulangan dengan alasan ada seorang temannya yang akan datang malam ini untuk bersilaturahmi. Dan apakah teman yang dimaksudnya adalah sosok pria tampan yang tengah beradu pandang dengan Ayyana di depan pintu saat ini? Perempuan itu bahkan masih tak bergeming, terkejut bukan main melihat Fakhri berdiri menjulang di hadapannya. Bukan hanya dia seorang, melainkan Dania, Rama dan beberapa orang lainnya yang Ayyana tahu adalah keluarga pria itu juga turut hadir disana, tersenyum ramah. Tunggu? Jadi keluarga Fakhri adalah tamu yang dimaksud kakaknya? Sadar dengan tatapan semua orang, Ayyana segera menyadarkan diri dan menggeser tubuh ke samping untuk memberi jalan kepada mereka. “Silahkan masuk,” ucapnya setengah gugup. Jangan tanya kenapa? Karena ia sendiri tidak tahu. Saking gugupnya, ia bahkan membalas senyum semua orang dengan canggung. “Pucat banget kamu sayang? Sakit?” tanya D
Ayyana menatap Ilham curiga, apa pria itu sebenarnya tahu sesuatu?“By the way, lo kenal Pak Fakhri dari mana?” Tanya Ayyana membuat Ilham melirik ke arahnyaPria itu berdehem dan membenarkan posisi duduknya, “Dari Ibu, Ayah sama Kak Adrie. Emang kenapa?”“Enggak, gue cuma aneh aja tiba-tiba lo seakan nggak asing sama sosok Pak Fakhri padahalkan dulu gue pernah kenalin dia sebagai klien aja sama lo.”“Jadi dia bukan sekedar klien buat lo?” Tanya Ilham balikAyyana terdiam sejenak, “Mungkin memang bukan.” Ucap Ayyana. “Lo mau tahu nggak fakta mengejutkan tentang dia?”“Fakta apa?”Ayyana berdehem, ia duduk menghadap langsung pada Ilham bersiap untuk menyaksikan ekspresi kaget pria itu atas apa yang akan ia sampaikan.“Ayah, Ibu sama Kak Adrie ternyata berniat untuk jodohin gue sama Pak Fakhri.”“Oh ya?” ucap Ilham kelewat santai berbanding terbalik dari apa yang Ayyana harapkan.“Bentar, lo udah tau soal itu?” Malah Ayyana yang justru kaget dengan tanggapan Ilham.“Tau lah, lo ajah yan
Sosok Jihan yang tidak mudah ditebak menjadi alasan utama Fakhri menolak permintaan Maminya, ia tidak ingin ambil resiko dengan menikahi Ayyana lantaran khawatir Jihan akan bertindak diluar batas. Tetapi bagaimana dengan taruhan yang sudah mereka sepakati? Fakhri yang lebih dulu menantangnya dan kini ia juga yang berpotensi akan membatalkannya? Fakhri benar-benar merasa seperti pria paling brengsek. Perhatiannya teralihkan oleh Daffa yang memasuki kamarnya tanpa mengetuk pintu, pria itu menatapnya nyalang, terlihat jelas sedang menahan emosi. “Heh, lo kenapa sih?” Tanya Daffa tak habis pikir dengan jalan pikiran Fakhri. Ia pikir, Fakhri tidak akan terpengaruh jauh oleh penyakit yang diderita Jihan tapi diluar dugaannya Fakhri malah menentang Maminya dan menolak untuk menikahi Ayyana. “Kalau tujuan lo hanya untuk bantuin Mami supaya gue setuju untuk nikah sama Aya, mending lo keluar aja. Gue lagi nggak ada tenaga buat debat soal itu.”
"Wah, ini ponakannya Tante Ririn datang sendiri?" Tanya Ririn mendekati Ayyana dan Gio bersama yang lain. "Iya dong Tante, kan Gio udah gede," ucap Gio percaya diri membuat mereka terkekeh. "Apaan orang tadi sama Ayah sama Bundanya," bocor Ayyana. "Ihhh... Tante Aya malah dibocorin." "Kan nggak boleh bohong" "Terus Ayah sama Bundanya mana?" Tanya Daffa tak melihat Adrie dan Luna bersama mereka. "Ayah sama Bunda udah pergi lagi," jawab Gio. "Mereka mau hadirin undangan, jadi cuma transit disini buat titip Gio," jelas Ayyana diangguki semuanya. "Berarti ini udah mau balik juga kan?" Tanya Daffa lagi, Ayyana mengangguk. "Kalau gitu gimana kalau makan-makan dulu, tuh udah hampir jam makan siang juga." Bayu yang berdiri agak jauh bersama Fakhri ikut bersuara, "Kita kayaknya nggak ikut deh, capek mau langsung balik ajah." Daffa mendengus, "Bilang aja mau kangen-kangenan." "Ya lo paham sendirilah, kita kan masih kayak penganten baru." "Saya sama Gio juga nggak bisa,"
"Kak Fakhri, boleh aku masuk?" tanya Jihan berdiri di ambang pintu kamar Fakhri. Fakhri yang tengah mengemasi pakaiannya dalam koper melirik Jihan sebentar, lalu mengangguk. "Aku pengen tanya sesuatu sama kakak," ucap Jihan mengambil tempat di seberangnya. "Apa benar Tante Dania meminta Kak Fakhri untuk menikah dengan perempuan lain?" Pertanyaan itu sontak menghentikan Fakhri yang hendak menarik resleting kopernya, "Siapa yang bilang sama kamu?" "Kak Daffa," jujur Jihan membuat Fakhri menghela nafas "Apa Kak Fakhri memang enggak pernah berniat untuk menikahi aku?" "Jihan..." "Apa selama ini Kak Fakhri memang tidak pernah menyampaikan hal itu sama orang tua Kakak?" Jihan menyela cepat ucapan Fakhri. "Kak Fakhri selama ini hanya mempermainkan aku kan? Nyatanya Kak Fakhri memang tidak benar-benar berniat untuk bertanggung jawab atas kematian keluarga aku," cerca Jihan. Jengah se
“Lo kenapa sih?” Tanya Ayyana menyadari perubahan sikap Dita yang lebih banyak diam hari ini. Mereka berdua kini tengah sibuk mengecek persiapan pernikahan salah satu kliennya yang akan dilaksanakan di sebuah hotel. “Kayaknya hubungan gue sama Alvin nggak akan bertahan lama deh,” keluh Dita. “Alhamdulillah kalau gitu,” syukur Ayyana yang seketika dihadiahi geplakan pelan di lengannya. “Kalau beneran saling suka, ya nikah lah,” sahut Ayyana memberi solusi. “Keluarga Alvin nggak ngizinin dia pindah agama,” terang Dita. “Gue bilang apa kan? Pacaran itu bukan jalan buat cari jodoh.” Dita mendelik, “Lo ngomong gitu bukan karena punya niatan nyalip gue juga kan?” Balik melemparkan tatapan sok serius. “Lo tau nggak Dit? Takdir kadang suka ngelempar lelucon.” “Ayaaaa,” geram Dita membuat Ayyana sontak tergelak. Pokoknya Dita yang harus menyusul Ririn. Kalau urutan pernikahan mereka tidak sesuai rencana, setidaknya sesuai umur lah. Ayyana si paling bungsu harus ngalah, nunggu kakaknya