LOGINHari - H pernikahan Raka dan Maya. Meski disiapkan dalam waktu yang cukup singkat, namun acara yang berlangsung tetap diusahakan bisa terlaksana sebaik mungkin.
“Kak Aya, bisa ikut aku sebentar.”
Kedatangan Kayla mengalihkan perhatian mereka. Ayyana mengangguk, mengikuti langkah Kayla memasuki ruang tengah tempat acara inti berlangsung. Diatas pelaminan sana bisa ia lihat kehadiran keluarganya, lengkap dengan Gio. Keponakannya yang baru berusia lima tahun itu, tampak tampan mengenakan jas senada dengan Adrie juga ayahnya.
“Sini sayang kita foto bareng,” ajak Dania saat Ayyana mendekat. Mereka pun berfoto bersama dengan anggota keluarga lengkap.
“Sekali lagi kak,” ucap Kayla menyeret Ayyana kembali mendekati Raka dan Maya.
Tak hanya itu, Kayla bahkan dengan gesit mengikut sertakan Fakhri bergabung dengan mereka lalu mengatur posisi agar Ayyana bersebelahan dengan Fakhri di samping Rama dan Kayla sendiri mengambil tempat di samping Maya.
Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Ayyana, terlebih saat menyadari tatapan dari Dania dan ibunya di ujung pelaminan. Ayyana rasanya ingin menghilang dari sana.
“Kamu kayaknya gugup banget deket sama saya.”
“Apa sih? Bapak nggak usah geer, saya cuma nurutin Kayla.”
“Jujur saja, kamu pasti senang kan bisa foto sedekat ini sama saya? Tadi kan kita ujung-ujungan.” tambah Fakhri semakin mengompori.
Ayyana memutar bola mata jengah, untungnya Raka segera menginterupsi keduanya untuk fokus menghadap kamera.
oOoOo
Sebagai satu-satunya orang yang menjadi saksi nyata segala permasalahan hidupnya, Daffa menjadi orang yang paling mengerti keadaan Fakhri. Termasuk paksaan dari Maminya untuk segera menikah dan juga tuntutan tanggung jawab yang dilayangkan Jihan.
"Tugas lo cuma satu," Daffa menatap Fakhri serius. "NIKAH! Setelah itu semua aman."
"Loe pikir gampang apa?"
“Gue tau, tapi kalau lo udah nikah, Jihan pasti akan berhenti gangguin lo,” ucap Daffa yang memang sejalan dengan Dania.
“Udah enam tahun Ri, gue yakin Reza dan orang tuanya udah tenang disana. Jadi berhenti selalu nyalahin diri sendiri dan nggak usah dengerin ucapan Jihan.”
“Tapi apa yang dibilang Jihan memang benar kan? Kalau bukan karena gue, mereka mungkin masih ada sampai sekarang.”
“Ajal itu urusan Allah.”
“Tapi Allah menetapkan ajal mereka lewat gue.”
Daffa menghela nafas, baginya apa yang menimpa keluarga Jihan sama sekali bukan kesalahan Fakhri meski secara tidak langsung nama Fakhri memang pasti akan terseret jika membahas perihal kecelakaan itu tetapi tetap saja, kejadian itu murni kecelakaan.
"Jihan hidup sebatang kara karena gue Daff," sendu Fakhri. "Dan bahkan, Reza nggak sempat lewatin momen wisudanya karena gue."
Bayangan kecelakaan yang menimpa Reza sehari sebelum perayaan kelulusan S2 mereka, seolah kembali muncul di pelupuk matanya. Fakhri menunduk dalam, bahkan sampai saat ini ia masih mengingat jelas kejadian itu.
Dan rasa bersalah yang ia punya semakin bertambah berat saat Jihan terus saja menyudutkannya.
"Gue paham gimana perasaan lo, tapi apa yang udah lo kasih sama Jihan itu udah lebih dari cukup Ri. Dari tempat tinggal, pendidikan, kebutuhan sehari-hari, bahkan sampai gaya hidupnya semua lo penuhi." ungkap Daffa.
"Loe berhak hidup bahagia dengan orang yang lo suka. Jangan korbanin hidup lo untuk hidup sama perempuan yang cuma akan jadi luka untuk diri lo sendiri."
Bagi Daffa, jika bersama Jihan, Fakhri hanya akan terus dihantui trauma dan rasa bersalah seumur hidup.
Keduanya lalu hanyut dalam hening, menatap langit malam yang tampak meneduhkan. Pesta pernikahan Raka dan Alma sudah berakhir beberapa waktu lalu dan semua orang sudah menepi untuk beristirahat kecuali mereka berdua yang masih terjaga di jam dua dini hari ini.
Trauma yang dialaminya membuat Fakhri sulit untuk tidur tanpa mengonsumsi obat, hal itu lantaran ia sering memimpikan kecelakaan tersebut, kejadian saat Reza memintanya menjaga Jihan dan juga tekanan pertanggungjawaban Jihan yang selalu menganggapnya penyebab utama atas kepergian seluruh keluarganya.
Hingga beberapa saat, Daffa membenarkan posisi duduknya. "Loe sama Aya beneran nggak ada apa-apa gitu?" Pembahasannya tiba-tiba melenceng jauh.
"Mau aja loe di kibulin Kayla."
"Semua keluarga punya pemikiran yang sama kali kayak gue," bela Daffa.
Fakhri mendesah. "Aya terlalu baik buat gue tumbalin dalam masalah ini."
”Kalian kan bisa bangun rumah tangga beneran, apa lagi dia bukan sosok asing buat hati lo."
Daffa mengerling, mencoba merayu Fakhri. Hubungannya dan Fakhri bisa dibilang jauh lebih dekat dibanding hubungan Fakhri dengan Raka, jadi bukan hal mengherankan jika bahkan pria itu mengetahui fakta bahwa sepupunya itu diam-diam pernah memiliki perasaan lebih pada Ayyana.
"Realisasinya nggak segampang yang loe bilang."
"Lo kan cakep Ri. Nggak sulit kali bikin Aya suka sama lo."
Fakhri tertawa sinis. "Gue rasa loe cukup tau, sifat adik teman loe itu kayak gimana. Baru lihat gue ajah, tatapannya udah se-sinis apa."
"Makanya lo ubah taktik dong," ajar Daffa. "Berguru sama gue urusan cewek."
Fakhri mendelik, tapi Daffa ada benarnya. Dia lebih berpengalaman dalam hal menaklukkan hati perempuan dibandingkan dirinya.
"Cewek itu semua sama ajah, butuh sosok yang bisa mengerti dia. Butuh sosok yang romantis, selalu memuji dengan kata-kata dan rayuan manis, memperlakukan dia bak putri raja dan yang paling penting dia butuh cowok berduit."
"Tapi kayaknya Aya bukan tipikal itu deh," ungkap Fakhri menurut penilaiannya setelah beberapa waktu mendekati perempuan itu.
"Loe mau ngajarin gue soal cewek?" Daffa tak terima dengan sanggahan itu. "Percaya sama gue, semua perempuan itu sama ajah."
"Cuman gue masih ragu sebenarnya deketin dia."
"Karena Adrie?"
Fakhri mengangguk. "Lo tau kan Adrie sesayang apa sama Aya dan kalau sampai dia tahu tentang Jihan, mungkin dia nggak akan izinin gue deket sama Aya."
"Nggak usah pikirin itu, soal Jihan itu biar jadi urusan gue. Sekarang yang penting adalah fokus sembuhin trauma lo dulu dan yang lebih penting dari yang terpenting, jauhin Jihan."
"Caranya?"
"Deketin Aya lah, nikahin dan hidup bahagia."
"Loe yakin gue bisa?"
"Bisa. Yang paling penting sebelum semua itu, perasaan lo sama Aya masih sama kan?’’
Sabtu pagi, Ibu dan Ayah Ayyana sudah bersiap untuk kembali ke rumahnya sendiri. Kondisi Ayyana sudah jauh lebih baik dan rumah mereka pun sudah cukup lama ditinggal.Apalagi, Hendra, Ayahnya cukup kerepotan setiap hari jika harus bolak-balik saat akan pergi atau pulang kantor untuk berganti pakaian."Kaau ada apa-apa, langsung telfon Ibu ya?" Pesan Ayu saat beranjak ke depan rumah."Iya, ada kejadian kecil pun nanti aku telfon Ibu, barang pecah saat aku cuci piring pun nanti aku lapor ibu." Tanggap Ayyana bercanda."Hm, bukan gitu juga." Seru Ayu mencolek pelan hidung sang putri.Keduanya lantas saling terkekeh pelan menghampiri Hendra dan Fakhri yang juga sedang mengobrol di depan."Sudah selesai manja-manjanya?" Tegur Ayahnya saat mereka datang."Ihhh... Ayah mah." Berengutnya beralih memeluk tubuh pria paruh baya itu.Hendra melayangkan satu kecupan di puncak kepala sang putri sebelum melepasnya, "Ingat, jaga kesehatan dan jangan banyak pikiran."
"Sebelumnya Mami minta maaf kalau Mami terkesan ingin ikut campur dengan persoalan rumah tangga kalian." Kata Dania tak ingin membuat kesalahpahaman diantara mereka semakin melebar."Kamu tau kan, pernikahan kalian adalah hasil perjodohan dari keluarga, meskipun kami sama sekali tidak memaksa.Tetapi bagaimana pun juga Mami sebagai orang yang paling menginginkan pernikahan kalian merasa harus angkat bicara dan meluruskan kesalahpahaman ini."Alasan utama Dania melakukan ini karena ia tahu, Fakhri bukan tipikal yang akan dengan mudah membicarakan semua masalahnya secara terbuka.Pria itu cukup tertutup bahkan pada orangtuanya sendiri sejak dulu, apalagi ia bisa melihat bahwa Fakhri sudah sangat menyayangi Ayyana. Maka jelas pasti dalam hati anaknya itu, Fakhri tidak ingin membuat Ayyana kecewa.Padahal sebenarnya, semakin lama fakhri tertutup maka semakin lama pula masalh ini tidak kunjung selesai berakhir kesenjangan jangka panjang. dan itu yang ingin Dania cegah
"Tidur sama Ayah aja, sempit di situ.""Nggak, aku akan tetap jagain kamu disini." Kata Fakhri mantap. "Aku izinin kamu tidur sama Ibu sama Gio, tapi syaratnya aku tetap di kamar yang sama.""Tapi__""Kalau kamu keberatan ya udah, Ibu nggak usah tidur disini."Ayyana memberengut kesal dan menarik tangannya, "Terserah kamu lah."Senyum kemenangan terbit dibibir Fakhri, "Sekarang tidur gih, liat itu Gio udah pulas banget."Diliriknya Gio disamping Ayyana yang sudah terlelap, Fakhri kembali bangkit, kali ini sebelum beranjak ia membantu Ayyana berbaring dan mengecup keningnya sebagai penutup.Selesai wudhu, ia lantas mematikan lampu dan mengganti dengan lampu tidur sebagai pencahayaan lalu memposisikan diri untuk berbaring di sofa.Merebahkan tubuhnya yang seakan remuk setelah duduk berjam-jam menghadapi tumpukan dokumen setelah ia tinggal beberapa hari karena tidak masuk kantor.Semua aktivitas itu diam-d
Di ruang tengah, Dania hanyut dalam pikirannya sendiri. Ada beberapa hal yang terasa menggajal dalam hatinya, tapi juga tidak bisa memecahkan kejanggalan itu.Dari arah tangga, Rama yang melihatnya mendekat dan memecah keheningan yang menyelimuti sang istri."Mami lagi mikirin apa? Serius banget." Ia mengambil duduk di tepat disamping Dania.Malam ini mereka memang sudah tidak menginap di rumah Ayyana lagi, Dania kembali sore tadi bersama Kayla yang menjemputnya setelah selesai kuliah.Helaan napas terdengar pelan dari Dania, diubahnya posisi duduk menjadi sepenuhnya menghadap Rama."Papi ngerasa ada yang janggal nggak sih sama Fakhri dan Aya?"Kerutan tipis tercetak di wajah pria paruh baya itu, "Janggal gimana?" Tanggapnya santai menyesap kopi yang memang sudah disiapkan Dania saat ia mandi tadi."Masa Papi nggak ngerasa sih?" Herannya. "Mami lihatnya interaksi mereka tuh kayak kaku ajah Pi.""Ya wajarlah Mi,
Diruang makan sedang berkumpul semua para perempuan untuk menikmati sarapan, para laki-laki pula sudah sarapan lebih dulu dan tengah bersiap ke kantor.Termasuk Fakhri, setelah beberapa hari tidak masuk ia memutuskan untuk berangkat kerja hari ini.Begitu selesai mengenakan pakaiannya Fakhri pun kembali turun, dilihatnya kini Ayyana sudah berada di ruang tengah bersama yang lain.Ia pun mendekat, "Udah makan sayang?""Udah." Singkat Ayyana.Lalu Fakhri bergerak berlutut di hadapannya sambil mengulurkan dasi yang memang belum dia pasang, Ayyana diam sejenak melihat tindakan pria itu.Tatapan mereka beradu dalam diam beberapa waktu tapi tak urung Ayyana menerima dasi tersebut dan memasangkannya paa kerah baju Fakhri."Kamu tuh, istri masih sakit udah minta diurusin." Keluh Dania tak habis pikir dengan tingkah anaknya.Lain halnya dengan Ayu yang justru mengulas senyum, "Ya enggak apa-apa, toh juga cuman minta dipakaikan dasi."Ayu menepuk pelan lutu
Hari ini, Ayyana sudah diizinkan untuk pulang dan ia begitu bahagia saat sampai di rumah karena semua keluarganya berkumpul disana.Yang paling antusias menyambutnya adalah Gio, ia hanya pernah menjenguk Ayyana sekali jadi rasanya begitu bahagia saat tantenya itu bisa pulang.Gio memeluk Ayyana yang duduk di kursi roda dengan erat, membuat Ayyana mengulas senyum."Tante Aya kangen banget sama Gio.""Gio juga." Katanya lalu melepaskan diri. "Tante tenang ajah, Gio akan rawat Tante sampai sembuh.""Bener ya?"Gio mengangguk pasti, tapi sedetik kemudian ia melirik Adrie dan Luna. "Bolehkan Ayah, Bunda?""Boleh dong sayang." Seru Luna.Tapi Adrie justru memberi tanggapan lain, "Gio udah harus pulang lusa, kamu izinnya udah kelamaan.""Yaahhh..." Bocah yang kini sudah masuk sekolah dasar kelas satu itu memberengut."Kalo udah sekolah SD tuh nggak bisa keseringan izin lagi." Tambah Adrie."T







