Share

Caught in Sugardady's Love
Caught in Sugardady's Love
Author: Romantica Evolution

Prolog

Vanesha baru saja keluar dari sebuah gedung tempat kelima kalinya ia meletakkan lamaran kerjanya. Ia menyeka peluhnya, lalu mendongak mengamati gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Lalu mencari tempat duduk dan tak lama menemukan tempat ternyaman itu di depan sebuah pertokoan megah yang tengah tutup.

Vanesha kembali menghapus peluh dengan punggung tangannya, lalu menatap langit biru yang membentang di atas kepalanya. Di teguknya sebotol minuman yang ia genggam sedari tadi, lalu menghela napas untuk melegakan dirinya sendiri. Ia melihat sekelilingnya, menggantungkan irinya atas beberapa mahasiswa yang ia dapati tengah bercengkrama dengan kawan-kawannya.

Vanesha berpikir, jika nasibnya pun akan seindah itu kalau saja kedua orang tuanya tidak meninggal dunia. Dengan wajah sendu itu ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Lalu menatap wallpaper ponselnya, tempat dimana ia bisa melihat senyum ayah dan ibunya yang tengah merangkul dirinya.

Hingga tak lama kemudian sebuah panggilan telepon membuat benda yang ia genggam itu bergetar. Dan nama pemilik nomor itu seketika membuat dirinya nampak lebih berbinar.

"Halo, Hesti?!" sapanya penuh harap. "Gimana? Apa Bibimu bersedia menerimaku sebagai karyawan toko?"

Sekitar dua minggu lalu Vanesha menghubungi sahabatnya ketika bersekolah, yakni Hesti. Ia menanyakan perihal lowongan kerja dan menawarkan dirinya untuk dapat bekerja di toko baju milik Bibi Hesti. Ia tak peduli berapa rupiah yang akan ia terima kelak jika benar-benar bekerja di sebuah toko pakaian kecil itu, ia hanya berharap jika ia bisa menafkahi dirinya sendiri dengan penghasilan itu.

"Maaf, Nes. Tidak ada lowongan di toko bibiku. Ternyata sudah ada pegawai baru yang mengisi kekosongan beberapa hari yang lalu." jelas Hesti melalui panggilan teleponnya.

Lesu badan Vanesha mendengarnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya di sandaran kursi panjang yang ia duduki sejak tadi. Lalu mencoba kembali tersenyum meski sahabatnya tidak memberikan jawaban yang ia inginkan.

"Baik, Hes... Gak papa kok. Aku sangat berterimakasih padamu karena mau menawarkannya kepada bibimu." jawabnya sambil terus mencoba tersenyum meski terasa sakit di hatinya ketika kembali harus menghadapi kegagalan mendapatkan pekerjaan.

Vanesha menatap langit di atas kepalanya itu dengan wajah sendunya. Bibirnya melengkung dan kedua matanya mulai berkaca-kaca karena menahan tangisnya.

"Tapi aku ingin menawarkan hal lain kepadamu. Meski ini terdengar sangat aneh, tapi mungkin saja ini bisa membantumu untuk mendapatkan apa yang kamu harapkan. Mungkin ini..."

"Apapun itu akan aku terima, Hes!" potong Vanesha cepat. Ia kembali menggantungkan harapannya.

"Tapi, ini benar-benar hal yang aneh untuk dicoba. Kamu pasti akan terkejut dan..."

"Apapun itu jika bisa mencukupi kebutuhanku, aku rela melakukannya, Hes! Katakan saja padaku, apa yang harus aku lakukan!"

Hesti terdiam. Dari jeda itu membuat Vanesha berpikir jika apa yang Hesti tawarkan bukanlah hal yang biasa. Seketika dugaan di hatinya itu membuat jantungnya berdebar. Namun ia sungguh berjanji pada dirinya, seburuk apapun pekerjaan itu, ia akan mencoba untuk melakukannya selagi itu bisa menjamin hidupnya.

"Hes?" sapanya ketika menurutnya Hesti terlampau lama untuk terdiam.

"Ah, maaf! Hehehe... Baik akan aku jelaskan tentang apa yang harus kamu lakukan dengan tawaran ini! Tapi berjanjilah jika kau tak menganggapku aneh atau memanfaatkanmu meski nyata memang aku pun menawarkannya karena jika kau menerimanya aku akan mendapatkan sedikit imbalan."

Vanesha tersenyum.

"Apapun itu, katakan saja Hesti!"

"Baiklah! Dengarkan aku sampai selesai dan jangan sedetikpun menyela perkataanku!" tukas Hesti kemudian.

"Oke!"

Hesti kembali terdiam beberapa saat. Bahkan diam hembusan napas Hesti kali ini bisa terdengar jelas oleh telinga Vanesha. Nampaknya Hesti sangat gugup nan berat untuk mengatakannya.

"Jika kau mau, kau harus datang ke Restoran Alberton malam ini! Kau harus berdandan secantik mungkin dan bersedia menemui seorang perjaka tua di sana untuk..."

"Maksudmu adalah kencan buta dengan bujang lapuk?" potong Vanesha dengan mulut ternganga. "Apa kau gila? Aku dibayar untuk menemui seorang kakek? Untuk berkencan dengan seorang kakek? Kau,-"

"Sudah aku katakan jangan menyela perkataanku. Dan sejak awal aku sudah berkata jika pekerjaan ini akan terdengar aneh di telingamu." tanggap Hesti. "Aku pun sedikit terkejut, tapi aku hanya bisa menjelaskan sampai itu saja. Dan jika kau setuju, aku akan mengirimu gaun beserta aksesoris yang harus kamu pakai untuk menemui laki-laki itu. Kawanku berkata jika dia hanya akan menggenggam tanganmu beberapa saat, lalu..."

"Gila! Kau mau menjualku pada kakek-kakek?!" potong Vanesha geram. "Setelah memegang tanganku, apa dia akan me,-"

"Sejak tadi kau menyela ucapanku, Nes. Kau pikir aku mudah menawarkan hal ini? Jika ada hal lebih baik dari ini, sudah pasti tidak akan..."

"Maaf, Hes. Maaf sudah menyelamu. Aku hanya terkejut." tukas Vanesha yang tentu saja sangat tak ingin mendengar sahabat baiknya itu marah. "Baiklah, jelaskan kembali, kali ini aku akan mendengarkan ucapanmu sampai selesai."

"Baiklah, akan aku jelaskan kembali." tanggap Hesti yang nampaknya juga tak jadi marah pada sahabat baiknya. "Jadi, Laki-laki itu hanya akan menyentuh tanganmu. Jika kau sesuai untuknya, ia akan melanjutkan kencan itu. Dan tentunya ini tak gratis. Baik aku dan kamu akan sama-sama mendapat imbalan."

"Berapa besar yang akan aku dapat?"

"Sekitar satu juta dollar setelah pertemuan itu. Jika berlanjut, mereka akan membayar lebih untuk itu."

Vanesha kembali ternganga. Ia tak menyangka, hanya dengan membiarkan seorang kakek memegangi tangannya akan mendapatkan imbalan sebesar itu.

"Nes? Kau masih disana?"

Dan lamunan menyenangkan itu pun kembali dibubarkan.

"Hah? Ya, Hes. Lalu bagaimana? Apa benar hanya sekedar menggenggam tanganku saja?"

"Aku akan mengawasinya jika terjadi lebih dari itu, aku akan menghampirimu, Nes! Tenang saja! Aku pun tak bisa melepas kawan baikku begitu saja." jawab Hesti. "Jadi bagaimana?"

Vanesha berpikir sejenak. Pikirannya di penuhi dugaan buruk mengingat besar imbalan yang akan ia dapat dari kencan buta itu. Debaran jantungnya pun kiat cepat, hingga kemudian...

'Krucuuukk!!!' suara deru perutnya yang kelaparan mengingatkan tentang beberapa lembar uang tersisa di dompetnya saat ini.

Vanesha menghela napas sejenak. Lalu kembali menatap langit di atasnya, berharap ada wajah kedua orang tuanya yang bisa memberinya jawaban atas keraguannya. Namun lagi-lagi perutnya berbunyi, seketika membuat Vanesha tak temui lagi jawaban sepadan lainnya yang bisa memperbaiki keadaannya.

"Baiklah! Jam berapa aku harus ke sana?" tanyanya.

"Pukul delapan malam, Nes. Tapi nanti akan ada yang menjemputmu dan mengantar dirimu ke sana."

Vanesha menggigit ujung bibirnya. Lalu perlahan memejamkan kedua matanya. Sungguh ada ketakutan yang tak bisa ia singkirkan.

"Hes, tapi kau benar-benar akan menjagaku serta mengawasi aku di sana kan?"

"Tentu saja, kawan!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status