Share

Chasing After You
Chasing After You
Author: Derose

1. One Fine Day

"Lia!" 

Nadipa berseru kesal, sementara yang dipanggil hanya berdeham singkat.

“Hm?” jawab Lia tanpa menoleh, masih sambil mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Sedetik setelahnya dia bisa mendengar decakan yang sudah pasti dari Nadila.

“Kalau jalan jangan main ponsel, ah! Kebiasaan.”

“Bentar, Arga barusan chat.”

“Bucinnya bisa ditunda dulu kali,” ejek Nadila.

“Bentar, Arga barusan chat,” ucap Lia.

Lia berhenti sejenak menuruti perintah Nadila. Lalu menjulurkan lidah. “Biarin.”

Sementara di sampingnya Nadila mendengus sebal, Lia justru tertawa lepas. Seusai mengetikkan balasan dan mengirim pesan untuk Arga, Lia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Melangkah cepat menyusul Nadila yang sudah jauh di depannya. 

Lia berlari kecil di koridor kampus yang sudah cukup sepi sebab ini jam terakhir kelas.

“Tungguin, woy!”

Nadila menoleh malas. “Cepet!”

Melihat raut Nadila yang sudah kusut kentara ingin cepat pulang, gelak tawa Lia mengudara lagi. Lia sendiri menyadari, bahwa hari ini dia cukup sering tertawa. Karena memang, dia punya banyak alasan untuk membuat tawa itu datang. Wajah lelah Nadila yang sekarang berjalan gontai seakan jiwa semangatnya hilang di telan kuis waktu kelas terakhir tadi adalah salah satu penyebabnya. Hal sepele yang bisa Lia temui tiap harinya.

Namun Arga mengajaknya untuk keluar hari ini, saat ini, tepat setelah kelasnya berakhir adalah hal yang tidak bisa dengan mudah Lia dapatkan semudah melihat wajah malas Nadila. Penyebab hormon serotoninnya meningkat pesat. Penyebab dari senyumnya yang sedari tadi tidak kunjung luntur dari bibirnya. Penyebab terbesar mengapa Lia sesemangat ini berjalan keluar menuju parkiran Teknik. 

Berbicara tentang Arga, lelaki dengan nama lengkap Arga Winata Putra itu merupakan orang yang menyandang predikat sebagai pacarnya selama setahun. Hubungan mereka agak senggang satu bulan belakangan ini. Menilik dari mereka yang sama-sama memasuki semester 6, dan jadwal Arga yang cukup padat membuat mereka tidak bisa bertemu seintens dulu. Namun meskipun jarang bertemu, baik Lia maupun Arga tetap berusaha menjaga komunikasi sebaik-baiknya.

“Lia, please, nggak usah ingkrak-jingkrak juga. Lo nggak ketemu Arga seminggu aja udah kayak tante girang mau ketemu korbannya, tau? Malu-maluin aja.”

Mendadak, bayangan kencannya buyar digantikan omelan Nadila. Spontan, Lia berhenti berjalan. Telunjuknya terangkat menunjuk dirinya sendiri. “Gue?"

“Bukan,” jawab Nadila datar. “Tuh Komo barusan lewat.”

“Nggak lucu.”

“Nggak lucu tapi ketawa, Maemunah.”

Lia menahan senyum. “Abis gimana ya, kan gue kangen.”

“Bucin amat, najis.” Nadila bergidik.

“Lo coba ngaca deh, Nad. Kalau udah sama Bara nggak sadar ya di banding gue, level kebucinan lo tuh udah tingkat dewa.” Lia membalas santai. “Mana kalau mau ditinggal ngerengek lagi. Arwin, Arwin. Geli gue dengernya.”

Nadila menyipitkan mata, memandang jengah. “Kok anda main buka kartu, ya?”

Lia tertawa singkat sebelum mendorong badan Nadila menjauh. Memberi gestur mengusir. “Dah, sana duluan.Gue ke parkiran Teknik dulu nyusul Arga.”

“Lo beneran ke Teknik?”

“Iya, dong!" jawab Lia semangat.

“Beneran bucin sampe dibela-belain nyusulin. Dikira FISIP ke Teknik itu deket apa.”

Lia terbahak.

Seusai mendengarkan ceramah mendadak Nadila hingga kuping Lia panas, akhirnya temannya yang super bawel itu berhasil Lia usir juga. Tanpa membuang waktu, Lia segera menapakkan langkah ke arah parkiran Teknik. Cukup jauh memang jika ditempuh dengan berjalan. Tapi jika untuk Arga, maka Lia pikir sepadan.

***

Lia memicingkan mata kalau melihat lelaki yang berada tepat di belakang mobil milik hitam pacarnya yang sudah Lia hapal diluar kepala. Menilik dari postur tubuh plus jas lab di tangan, Lia tau betul kalau lelaki tersebut adalah pacarnya. Bukannya segera menghampiri Arga, Lia justru melihat jam tangannya. Arga bilang bahwa dia selesai kelas 15 menit lagi maka dari itu Lia yang menyusul duluan kemari. Rupanya kelas Arga mungkin dibubarkan lebih cepat.

Berniat memberi kejutan, Lia berjalan diam-diam berusaha tidak menimbulkan suara. Langkahnya tertuju lurus pada Arga yang masih tidak bergerak dari tempatnya semula. Arga menunduk sedangkan tangannya memainkan ponselnya dan beberapa kali terlihat seperti menelpon seseorang. Lia tidak bisa melihat ekspresi wajahnya karena letaknya berdiri Arga yang membelakanginya. Ketika dirasa cukup dekat, Lia memangkas jarak dengan melangkah lebar.

Hal selanjutnya terjadi begitu sajaㅡdia memeluk Arga dari belakang.

“Hai.” Lia membenamkan wajahnya dalam-dalam dipundak Arga, menghirup parfum yang selalu menjadi harum favoritnya. Lia menahan tawa at dirasa tubuh Arga sedikit menegang. “Kaget ya?"

Arga berusaha melepaskan tangannya yang melingkar di perut pemuda itu, namun dengan cepat langsung Lia tahan.

“Jangan di lepas dulu, ini namanya charging, tau.” Tawanya tidak bisa ditahan lagi kala helaan napas berat Arga terdengar. Walau sedikit tidak ikhlas, Lia akhirnya melepas pelukannya. “By the way, Ar, kamu ganti parfum ya? Tapi nggak papa sih. Aku suka.”

“Suka apa?”

“Suka baunya lahㅡASTAGA!"

Lia kontan meloncat mundur. Sejak kapan pacarnya beganti rupa?!

Lia baru sadar ketika lelaki di depannya ini berbalik badan dan bukannya Arga yang di temuinya, melainkan orang lain yang tidak Lia kenal. Untuk beberapa saat, otak Lia benar-benar kosong. Dia tidak bisa berpikir jernih saat ini. Nyawanya masih belum terkumpul sempurna saat Lia menyadari bahwa ternyata dia salah orang.

‘Bukan Cuma salah orang, lo juga salah meluk orang! Kurang tolol apa gue coba?!’

Lia tidak bisa berhenti merutuk dalam hati. Semua sumpah serapah ingin Lia keluarkan, tapi berujung hanya tertahan di tenggorokan. Jangankan berbicara, menatap lawan bicaranya saja Lia tidak kuasa. Bukannya apa-apa, tapi dia bersumpah demi apapun, malunya luar biasa.

Lia mencoba menetralkan degup jantungnya yang menggila, berusaha bersikap biasa saja meskipun tau betul loncatan dan teriakan hebohnya tadi sudah cukup menjelaskan semuanya. Perempuan itu membenarkan tali tas sebelum tersenyum kaku pada lelaki entah siapa namanya ini. Yang mana dari tadi memperhatikan semua sikapnya dengan raut super datar.

“Sori, gue salah orang.” Lia meringis. Tanpa sadar, pandangannya meneliti lelaki asing ini dari atas sampai bawah. Lalu netranya jatuh pada jas lab dengan label nama ‘Arga Winata P.’ Yang masih di pegang pemuda tersebut. “Sori, kalau gue nanya-nanya. By the way lo siapa ya? Kok jas lab Arga bisa ada di lo?

“Lo sendiri siapa?” Lelaki itu justru balik bertanya.

“Gue? Ah, gue pacarㅡ”

“Udah tau.” Potongnya cepat. Lia mengernyit bingung. “Gue udah tau lo. Tadi Cuma basa-basi aja.”

“Oke...”

Lia manggut-mangut seperti orang bodoh. Demi apapun, dia bingung harus merespon bagaimana. Karena dilihat dari jawabannya, kok baru kenal udah songong aja ya?

“Gue temennya Arga,” terang lelaki itu, tanpa Lia minta.

“Temennya yang manㅡ” Menyadari bahwa jumlah teman Arga tidak terhingga, Lia segera mengubah kalimatnya. “Oh, tau-tau. Gue juga tau lo kok, temen deketnya Arga kan?"

“Emang lo kenal gue?”

“Kenal,” Lia mengedikkan bahunya tak acuh. “Tapi sekadar nama aja sih.”

“Kalau gitu nama gue siapa?"

‘Shit. Shit. Shit.’

Padahal Lia tadi hanya mengarang jawaban karena ingin membalas ucapannya songong lelaki itu. Ujung-ujungnya dia yang mati kutu di skakmat begini. Temen deket siapa, Lia, siapa? Selain Arwinㅡpacar Nadila yang juga teman dekat pacarnyaㅡLia tidak tau lagi teman Arga yang lainnya. Akibat sikap sok songongnya, sekarang dia sendiri yang harus memutar otak untuk mencari jawaban.

‘Oke, tenang Lia. Alihin pembicaraan aja.’

“Tau lah, ya kali nggak tau.” Lia tersenyum paksa, memilih jawaban paling aman. “Eh, lo mau pulang kan? Jas lab Arga mending titipin gue aja. Gue habis ini mau keluar sama dia soalnya.”

Untungnya, lelaki asing itu tidak berusaha memperpanjang pembicaraan mereka. Tanpa banyak bicara, dia mengulurkan jas lab Arga yang langsung Lia ambil cepat. “Bilangin cowok lo jangan suka ninggal barang di rumah gue. Nyusahin aja.”

“Siap, nanti gue sampaiin. Makasih ya.” Lia membalas, sudah lebih santai. “Dan maaf juga buat yang tadi, I guess?"

“Yang tadi yang mana?"

“Harus banget di perjelas?” decaknya, heran.

Alisnya naik sebelah, terkesan menyebalkan. “Yang lo meluk gue?”

“Y-ya... ya itulah!” Lia mengibaskan tangannya jengkel. “Jangan bilang-bilang Arga.”

“Kenapa? Takut cowok lo cemburu?”

Beberapa lama, Lia terdiam. Sebelum akhirnya helaan napas beratnya terdengar. 

“Nggak."

Bohong.

Lelaki itu benar. Lia takut Arga cemburu. Dia akui Arga memang cukup posesif. Salah satu sifat Arga yang tidak dia suka. Beberapa bulan lalu, Arga pernah marah karena Lia ketahuan nebeng pulang teman cowoknya. Lia tidak mau kejadian tersebut terulang lagi. Apalagi kasusnya disini Lia malah memeluk seseorang yang mana teman Arga sendiri. Walaupun semua di dasari ketidaksengajaan, Lia tidak bisa menjamin Arga tidak akan marah jika hal ini sampai terungkap.

“Yakin?” tanyanya, memicingkan mata.

“Iya lah. Ngapain juga Arga cemburu coba? Kita bukan lagi anak ABG yang dikit-dikit cemburu, dikit-dikit marahan, paham?”

“Oke. Gue bilang ke Arga.”

“Lo apa-apaan sih?” Lia yang sudah kepalang kesal, tanpa sadar meninggikan suara. “Terserah lo lah! Capek gue. Lakuin apa yang pengen lo lakuin. Gue nggak peduli.”

Lia rasa dia tidak bisa lagi meladeni lelaki tidak jelas ini yang makin lama-makin menyebalkan. Dia berniat meninggalkan lelaki itu, tapi Lia menyempatkan melirik sebentar hanya untuk mendapatkan raut wajah datarnya yang dari awal tidak pernah berubah. Lia mendengus sinis, secepatnya beranjak menjauh. Tangannya cekatan mengambil ponsel, lalu menekan dial untuk menelpon Arga. Kekesalannya bertambah parah ketika Arga tidak kunjung menjawab panggilannya.

“Kamu dimana sih aku telfon aja susah? Masih di lab?” Serentetan kalimat langsung Lia keluarkan begitu Arga menjawab panggilannya yang ke 3.

“Hei, calm down. Maaf, aku barusan selesai.” Arga terdengar khawatir. “What’s wrong, Lia? Is there something bad happened?"

“Aku lagi kesel aja.”

“Kesel sama aku?”

“Bukan.”

“Terus, kesel sama siapa?"

“Nothing important.” Lia menyempatkan menghela napas panjang. “Sori, aku jadi bentak-bentak kamu.”

“It’s okay. Kamu tau kamu bisa cerita ke aku, kan?”

“Hm-mm.”

“Tunggu bentar lagi, ya. Kamu nunggu di lobi, right?

“Aku udah di parkiran.”

“What? Kamu ngapain jauh-jauh ke Teknik, Lia? Aku bisa jemput kamu.” Terdengar desahan samar Arga. “Okay, nevermind. Kamu tunggu di sana, aku bentar lagi ke parkiran.”

“Iya.”

Lalu sambungan telepon dimatikan.

***

Setibanya di PIM, mereka memutuskan untuk membeli es krim terlebih dahulu. Tanpa repot-repot bertanya, Arga tau betul jika Lia sedang berada di suasana hati yang buruk, maka es krim adalah pilihan paling tepat untuk membuat mood gadis itu jadi lebih baik. Setahun lebih berpacaran membuat Arga bisa tau hal-hal tentang pacarnya tersebut mulai dari hal terkecil sekalipun.

Arga menyendok es krimnya sebelum di masukkan ke mulut. “How was your day?”

Lia mengerutkan kening sebal. “Setelah nyogok es krim kamu berani straightforward ya?”

“Itu salah satunya.” Arga terkekeh ringan. Senyuman yang tidak pernah gagal membuat Lia tertular. Lia merasakan tangan melingkar di pundaknya, untuk kemudian menariknya lebih dekat. “Alasan lainnya, mood kamu jelas jauh lebih bagus sehabis makan. Bener, kan?”

Lia tertawa. “Iya juga ya.”

“So tell me. Apa yang buat kamu lepas kendali sampai bentak aku di telpon tadi?”

“First of all, aku minta maaf.”

“Kan udah tadi.”

“Tapi di telpon.”

“Sama aja.”

“Beda.”

Arga berdecak. "Apa yang beda coba?”

“Yang tadi lewat telfon.” Lia menjelaskan. “Aku jadi nggak bisa lihat wajah kamu.”

“Iya deh.” Arga mengacak puncak kepalanya pelan, sebelum tiba-tiba mendekatkan wajah. “Nih, sekarang udah bisa liat kan?”

Lia mendelik. Segera mendorong wajah Arga menjauh sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Syukurnya, sepertinya tidak ada yang memperhatikan mereka berdua. Semua orang tampak asyik dengan dunianya sendiri. “Arga ih! Ini mall loh. Kayak nggak tau tempat aja.”

“Gimana ya, kalau sama kamu jadi sering lupa sekitar soalnya.”

“Kayak buaya lupa daratan, ya?”

“Bisa aja ngelesnya.” Arga menghabiskan es krimnya yang tinggal sedikit sebelum membuang wadahnya ke tempat sampah terdekat. “Permintaan maafnya di terima. So, you can continue your story.”

Lia mengulum bibir. “Aku... nggak bisa cerita.”

“Nggak bisa apa nggak mau?”

Lia terdiam sesaat.

“Dua-duanya.”

Arga berhenti berjalan sejenak yang membuat Lia yang disebelahnya ikut berhenti juga. Arga menarik napas panjang lalu dia hembuskan berat. Tangannya yang merangkul pundak Lia diturunkan perlahan. Sontak Lia membuka mulut, siap ingin melemparkan tanya dengan perubahan sikap Arga yang tiba-tiba. Namun belum sempat satu kata terucap, Arga sudah mendahului dengan ganti memegang kedua pundak Lia. Memandang netra Lia lekat.

Sementara Lia menggigit bibir dalamnya, takut jika kalau-kalau Arga marah. Merasa tidak nyaman ditatap dengan tatapan seperti itu, Lia menepis pelan tangan Arga yang berada di kedua bahunya.

“Arga, aku lagi nggak mau beranㅡ”

“You okay?”

Lia termenung sejenak. “Maksud kamu?”

“Just answer me, Lia.” Arga bersikeras. Memilih menurut saja, Lia memberi anggukan sebagai jawaban. Sedangkan Arga bernapas lega, sudut bibirnya tertarik begitu saja membentuk sebuah senyuman indah. “If you don’t want to tell me, then it’s okay. I want to respect your privacy. You don’t have to tell me everything that may make you feel uncomfortable. I want to comfort you. I want to make sure you’re happy. Even in every step that you take.”

Untuk sejenak, Lia kehilangan kata-kata. Seolah dia terhipnotis hanya dengan tatapan dan kata-kata. Lia baru kembali sadar setelah terdiam beberapa lama disertai senyuman lebar. “I love you too.”

“Suddendly?” Arga bertanya heran.

“Kalau ditarik satu kesimpulan, dari panjangnya kalimat kamu barusan jawabannya Cuma satuㅡI love you.”

Arga tersenyum mengejek. “Dih, pede banget.”

“Jangan sok Tsundere. Nggak cocok.”

“Terus cocoknya apa dong?”

“Yandere.”

“Ngaco!"

Lia terbahak keras mendapati ekspresi Arga berubah serius. “Ya jadi Arga. Be yourself aja aku udah suka. Makanya, jangan sok Tsundere depan aku. Nggak mempan.”

“Yaudah aku straightforward aja.” Arga mendekat lagi, lalu dengan cepat menanamkan kecupan ringan di samping kepalanya. Letaknya di dekat telinga, salah satu spot yang bisa membuat Lia merasa geli bahkan jika hanya di usap. Tapi seolah sengaja, Arga memberi kecupan berkali-kali sebanyak kata-kata yang lelaki itu ucap. “Love you, love, love you, loveㅡ”

“Arga ih jorok! Habis makan es krim masa mulutnya di lap ke rambut aku?!

“My lip is clean," gerakan Arga terpaksa berhenti. Alisnya menukik tanda tidak setuju dengan ucapan Lia.

“Mana ada!”

“Mau bukti?”

“Bukti apaan sihㅡ”

Arga secepat kilat mengecup bibirnya. “Tuh, bersih kan?”

Lia tidak bisa untuk mendelik. “Kamu bener-bener mirip buaya lupa daratan ya!”

“Biarin.” Selanjutnya, Arga kembali mengulangi hal yang tadi sempat terhenti. “Love you, love you, love youㅡ”

“Arga, geli! Aku tendang ya kamu lama-lama?!”

“Hahaha, liat wajah kamu merah!”

“ARGAAAA!”

“HAHAHAHAHAH!”

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
ceritanya menarik padahal baru awal2.. pengen aku share ke sosmed trs tag akun author tp akunnya ga ketemu :( boleh kasih tau gaa?
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
kayaknya bakal menarik nih,btw author bakal update tiap berapa hari yah..? author ada sosmed engga?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status