Share

2. Old Friend

“AAAA SENENG BANGET GUE ASLI!"

Nadila segera melayangkan bantal ke arah temannya yang tengah memasuki fase gila karena cinta. “Berisik anjing!”

“Nad, Nad lo harus liat nih!” Tidak mengacuhkan kata-kata Nadila, Lia tetap lanjut heboh sendiri tak henti-henti. Di tangannya memarkan sebuah foto hasil photobox denganㅡsiapa lagi kalau bukanㅡArga. “Liat, lucu banget kannnn?! Setelah setahun pacaran, ini first time loh Arga mau di ajak photobox pakai aksesoris aneh gini. Gila, pencapaian banget gue bisa bujuk orang yang nggak suka foto kayak Arga jadi mau di foto.”

“Mana sih? Coba liat.” Nadila bertanya penasaran. Lia dengan semangat menyerahkan foto tersebut. Sejenak, Nadila diam mengamati. Keningnya berkerut heran sebelum akhirnya terbahak keras. “Sumpah lo kayak anak SMP baru pacaran. Kalau gue jadi Arga juga ogah kali disuruh pakai properti aneh gitu.”

“Sengaja, buat kenang-kenangan.”

Lia ikut tertawa. Apalagi membayangkan raut protes yang Arga layangkan keras saat Lia menarik paksa lelaki tersebut untuk masuk ke dalam studio foto. Jika bukan Arga yang mengalah karena malu di perhatikan orang-orang yang melihat mereka berdua tarik-tarikan, niscaya rencana photobox yang Lia rencanakan dari awal tidak akan berhasil.

Arga memang tidak suka di foto. Namun jika hanya sekedar foto berdua, lelaki itu masih mauㅡyang penting bukan foto sendiri. Itu juga Lia yang selalu inisiatif mengajak duluan. Arga mana pernah mengajak berfoto kalau bukan Lia yang menyuruh. 

“Ada ya orang nggak suka foto kayak Arga?”

Gumaman Nadila barusan mewakili pertanyaan Lia selama ini.

Lia menumpukkan dagu di tangan, mengangguk sembari menatap fotonya dengan Arga lekat-lekat. “Ada. Arga contohnya.”

Nadila sontak berhenti mengetik. “Lo pernah tanya nggak kenapa dia nggak suka foto?”

“I did. Katanya, ya nggak suka aja.”

“Padahal Arga tuh boyfriend material banget. Sayang wajahnya di sia-siain gitu aja. Lumayan kan kalo sering post foto, followersnya naik terus jadi selebgram. Terus bisa buka endorse deh!”

Lia berdecak. “Ngaco.”

Nadila hanya tertawa seakan tak berdosa.

Merebahkan tubuhnya ke kasur, Lia menghela napas panjang. Matanya menerawang ke dinding atas kamar Nadila yang di penuhi berbagai stiker planet dan bintang yang bisa menyala dalam keadaan gelap. Kepalanya tertoleh ke samping, tempat Nadila menyandar di headbord kasur dengan laptop di pangkuan.

Dikarenakan besok hari Minggu, Lia memilih menginap di rumah Nadila. Sebab rumah Nadila ramai orang, berbeda dengan Lia yang tinggal di apartemen seorang diri. Karena Lia akui disaat-saat tertentu, ada kalanya dia merasa kesepian. 

Lia berniat memutar musik ketika di saat yang bersamaan chat dari Arga masuk. Lia tidak bisa tidak tersenyum kala membalas.

@arga

[krim dong]

 @adhisnatalia

[kirim apa?]

@arga

[kirim duit]

Lia tergelak. Keinginannya untuk mengerjai Arga tiba-tiba muncul.

@adhisnatalia

[oh, kirain]

[iya bentar lagi aku transfer sebut aja nominalnya berapa]

Pesannya sudah terbaca, namun tidak kunjung mendapat balasan. Lia mengernyit heran, hampir menutup aplikasi chatting tersebut jika di detik selanjutnya, panggilan dari Arga tidak datang. Senyumnya terulas tipis, tanpa berpikir dua kali langsung menjawab.

“KIRIM FOTO YANG TADI PHOTOBOX LIA ASTAGA!” tanpa pembukaan, suara Arga menyambar cepat. Terdengar kesal. “Aku sampe ngelus dada loh.”

“Bilang yang jelas dong. Nge-chat setengah-setengah!” Lia yang tadi ikut kager, serta nyaris terjengkang, ikut sewot. Meski tak ayal sudut bibirnya tertarik lebar membentuk senyuman. Lia jadi terdorong untuk menggoda Arga. “Gengsi yaaa tadi sok-sok an gak mau foto ujung-ujungnya minta juga.”

“Aku gak jadi minta aja deh ya.”

Lia tau betul, di seberang sana Arga pasti memasang senyum sarkastik.

“Ngambekan najis.” Lia mendengus. Tanpa mengakhiri telepon. Di bukanya lagi room chat dengan Arga untuk kemudian dia kirim foto hasil photobox tadi seperti yang Arga minta. “Tuh udah kan?”

Arga tidak langsung menjawab. Lia paham Arga tengah melihat hasil foto yang dia kirim barusan.

“Beneran itu fotonya?” suara protes Arga terdengar. “DIH KOK WAJAHKU JADI ANEH GITU SIH?”

“Aneh gimana sih?"

“Ada barang-barang nggak jelas gitu.”

“Ya kan emang ada propertinya, Bapak Arga yang terhormat. Aneh darimananya? Lucu tau.”

“TETEP AJA!” Arga bersungut sebal. “Gak mau lagi pokoknya, kapok!"

“Idih, aneh banget. Selera kamu gimana sih, lucu gitu padahal.”

“Iya, lucu di kamu jelek di aku.”

“Oh, ya jelas!” tawanya meledak, setengah mengejek Arga Memang, waktu tadi phptobox, Lia memaksa Arga untuk memakai berbagai properti aneh agar ramai dan tampak lucu. Untuk ukuran orang yang rela menerima paksaannya padahal sendirinya sangat anti di foto, rotes yang Arga layangkan saat ini bisa Lia maklumi. “Nggak papa lah, sekali-sekali. Buat kenang-kenangan.”

Arga menggeram. “Awas ya kamu, Li, besok aku—“

“Hah gimana-gimana?” Lia berlagak tidak mendengar. “Kamu bilang apa? Suara kamu putus-putus. Sinyalnya lagi jelek kayaknya. Udah ya aku tutup dulu!”

“LIA—“

“DADAH!”

Tanpa nerniat mendengar omelan panjang kali lebar dari Arga, Lia buru-buru mengakhiri sambungan. Tidak beberapa lama, pesan beruntung datang dari Arga. Lia sudah menduga hal ini. Arga masih mengomel perihal tadi. Sudut bibirnya berdenyut menahan tawa sembari membalas pesan tersebut.

“Kesambet ya lo senyum-senyum sendiri?"

Lia mengerjap kaget. Menoleh pada Nadila. “Hah, emang iya?”

“Makanya, lain kalau chat-chatan sama Arga sekalian ngaca ya.” Nadila memutar bola mata malas. “Kesambet setan kasmaran beneran di kamar gue kan nggak lucu.”

“Idih, lo ngintip-ngintip room chat gue ya?!”

“Nggak ngintip, cuma kelihatan.”

“Halah ngeles aja lo, kambing.”

Nadila memutar bola mata. “Dasar bulol.”

“Lo ngomong kayak gitu sekali lagi gue tampol loh, Nad.” Lia tersenyum sarkastik seraya berancang-anang siap melempar bantal.

“Dasar buㅡ”

Nada dering ponsel Nadila berbunyi, membuat perempuan berambut pendek itu urung menyelesaikan ucapannya. Tanpa berpikir Nadila langsung menjawab panggilan tersebut ketika tau yang menelepon adalah Arwin.

Lia mendengus, batal melempar bantal. “Kali ini lo selamat.”

“Ssstt! Diem.” Nadila menempelkan telunjuk di bibir, berucap tanpa suara. “Arwin telfon.”

“Yaudah sih, telfon sono.” Lia ikut-ikutan mouthing.

Nadila berdeham, lanjut bertelepon dengan pacarnya tersebut. Lia tidak tau percakapan mereka secara lengkap dan hanya bisa mendengar balasan Nadila saja. Yah, lagipula dia juga tidak berniat tau. Lia memilih tak acuh dan bermain ponsel.

“Halo? Ada apa, Ar?"

“...”

“Oh, kamu udah di depan?"

“...”

“Ya udah, aku turun kebawah sekarang. Tunggu bentar.”

“...”

“Bye.”

“Kenapa?” Lia langsung bertanya kala panggilan selesai.

Nadila mengibaskan tangannya santai. “Ya biasalah tuh orangㅡMAMPIR SEMAUNYA SENDIRI SETAN! KENAPA SUKA NGGAK KABARIN DULU SIH?!”

Lia ikut berjengit kaget saat Nadila yang awalnya biasa saja tau-tau berlari ke meja riasnya mengobrak-abrik hingga hampir semua barangnya jatuh berceceran. Lia mengernyit heran. “Ya emang kenapa sih? Tinggal turun aja apa susahnya?”

“Masalahnya gue bare face pucat begini nanti bisa-bisa Arwin ngira gue mayat berjalan!”

Lia hanya bisa melongo menyaksikan Nadila memakai liptint dan menyisir rambutnya secepat kilat. Hubungan Nadila dan Arwin memang bisa terbilang masih hangat, baru jalan 2 bulan. Tapi kenapa temannya itu bisa seheboh ini sih? Lia tanpa sadar terus menganga dan lagi-lagi jantungnya hampir lepas dari tempatnya ketika Nadila menutup pintu dengan brutal. Menyebabkan bunyi bedebam ke seluruh rumahan.

Lia menarik napas sebelum berteriak sepenuh tenaga. “DASAR BULOL!”

***

Welcome Sunday.

Yang mana artinya selamat kembali ke dunia perkuliahan yang begitu-begitu saja alias membosankan, siap diberi seabrek tugas, dan waktunya Lia siaran.

Iya, Lia adalah bagian dari Radio Kampus. Jika dilihat dari Lia yang berasal dari fakultas FISIP jurusan Ilmu Komunikasi, pasti orang-orang tidak terkejut kenapa Lia memilih Radio Kampus sebagai UKM-nya. 

Ketika Lia membuka pintu, sudah ada Dimas di sana. Partner siarannya hari ini.

“Eh, gue nggak telat kan?”

Dimas menjeda aktifitas makannya untuk menoleh pada Lia kemudian melirik jam. “Nggak, santai. Kita siaran jam 3, masih ada 40 menit lagi. Gue aja masih makan. Nih, mau?”

“Mau lah gila masa rejeki ditolak.”

“Yeu, dasar.”

Lia hanya nyengir kuda menanggapi cibiran Dimas. Tanpa membuang waktu, Lia mendekat dan duduk sofa tepat di sebelah lelaki jangkung tersebut. Di sebelahnya, Dimas dengan santai menggeser tempat makannya yang di dalamnya terdapat sebuah sandwich berbentuk kotak yang sudah di belah hingga berubah bentuk menjadi segitiga. Digigitnya roti berisi sayur, saos, dan daging tersebut.

Sedangkan Lia sibuk mengunyah, Dimas sibuk dengan ponselnya.

“Lo kenyang nggak sih, Dim?”

Dimas menoleh bingung. “Kenapa?"

“Soalnya gue nggak kenyang makan roti doang, asli.” Lia meneguk air putihㅡyang juga punya Dimasㅡdan menutup kotak bekal untuk kembali di serahkan ke pemiliknya. “Roti 2 biji Cuma bisa buat ganjel perut. Bentar lagi pasti gue laper lagi.”

“Itu mah lo aja yang perut karet.”

“Sialan.” Lia mengumpat sebal. “Emang lo udah kenyang?

“Kenyang baㅡ”

“Kalau gue beliin mau?"

"Masih laper, ding.”

“Setan.”

“Ya kalau di beliin siapa juga yang nggak mau. Anak kos kayak gue mana bisa nolak, Lia.” Dimas tertawa.

“Dasar.” Lia.memutar bola mata malas walau tak ayal di kembali berdiri. Mengambil uang seperlunya dari dompet dan memasukkan ponsel dalam saku celana. “Mumpung masih ada setengah jam lagi gue ke kantin deh. Gue mau beli ayam geprek, lo apa?

“Samain aja.”

“Oke.”

***

Setelah memesan, Lia berbalik untuk mencari tempat duduk. Memang sedang sial atau kebetulan, hampir semua bangku sudah terisi. Tapi mengingat waktu sudah memasuki sore dan jam bubaran kelas, tidak heran jika kantin adalah tempat yang paling diserbu setelah parkiran dan gerbang.

Lia mengedarkan pandangan, matanya meneliti memastikan kalau-kalau masih ada bangku kosong yang tersisa. Namun sepertinya anak FISIP punya perut karet semua. Sejauh mata memandang, tetap tidak ada celah. Banyak bangku yang bisa muat sampai 4 orang hanya hanya diisi 2 orang saja, namun sebagai anak introvert jelas berbicara dengan orang asing bukanlah keahlian Lia. Bahkan Lia sangat anti berbicara dengan orang tidak dikenal jika bukan karena kepepet maupun ada perlu.

Lia berasa di ambang kebingungan luar biasa ketika seseorang memanggilnya. Dia tersentak terkejut, mencari siapa pemilik suara tersebut dan menemukan di pojok dinding tidak jauh dari tempatnya berdiri, Salsa melambai padanya.

“Lia, sini!”

Mata Lia kontan berbinar sebelum menghampiri Salsa lalu duduk di sebelah gadis tersebut. “Kebetulan banget, Sal.”

“Gue liat lo daritadi bengong nggak kebagian tempat duduk ya, makanya gue panggil aja.” Salsa menjelaskan tak lupa diselipi tawa ringan. Salsa merupakan salah satu teman sejurusannya dan berada di dua kelas yang sama. 

“Iya! Heran gue kursi udah full semua. Anak FISIP pada Sumo semua kali ya.”

“Hahah, nggak Sumo juga elah!”

“Ya gimana ya, kesel gue. Laper banget gue Cuma makan sandwich barusan mana bentar lagi mau siaran.”

“Oh, lo masih aktif di Radio ya?”

“Masih. Masih banyak yang aktif juga kok.”

“Kalau gitu gue boleh request lagu nggak sih, Li?”

“Boleh lah. Tapi biasanya harus e-mail dulu. Terus nggak semua request diterima, masih harus di seleksi juga. Kan nggak lucu kalau requestnya lagu nggak bener.” Lia membalas. Melihat raut Salsa berubah, Lia buru-buru menambahkan. “Eh, tapi lo pengecualian deh. Hitung-hitung balasan karena lo udah ngasih gue duduk.”

“Elah, bisa aja temen gue satu ini.” Salsa menepuk bahunya gemas. “Happier-nya Olivia Rodrigo ya.”

Lia terdiam sebentar lalu menyerngit. Dia jelas tau lagu itu. “Buat siapa nih?”

“Bilang aja buat Karel Teknik Sipil. Mantan gue tuh, biar gue sindir lewat kata-katanya Olivia ‘I hope you’re happy but don’t be happier’. Kan mantap tuh.”

“Belum move on pasti lo?”

“Keep it secret.”

Lia tidak bisa untuk tidak tertawa begitupun juga Lia. Saking terhanyut dengan obrolan, mereka berdua melupakan kehadiran orang lain yang juga duduk di sana. Melongo menyaksikan keduanya yang asik berbincang sendiri seakan lupa sekitar.

“Eh, Sal gue minta minum loㅡeh, ya ampun ternyata ada orang!” Lia memekik tertahan saat baru menyadari adanya orang lain selain mereka berdua di meja tersebut. “Sori ya gue nggak sadar.”

“Ya ampun sori sori Sar, ya Allah gara-gara lo gue sampai lupa sama temen sendiri.” Salsa asal berbicara yang mengundang delikan protes dari Lia. Salsa mengedikkan dagu memperkenalkan satu sama lain. “Lia ini Sarah, temen satu kementrian BEM sama gue. Sarah ini Lia, anak Ilkom juga.”

“Bentar, ini Sarah anak HI bukan?"

“Iya, gue anak HI kok.” Sarah menjawab.

“Pantes!” Lia berujar heboh. Pantas saat melihat Sarah, wajahnya terasa familier. Apalagi ketika perempuan itu tersenyum. “Kita temenan waktu ospek dulu inget nggak?!”

“Adhisㅡadhisliㅡ”

“Adhisnata Lia.” Lia mengoreksi. “Inget nggak?"

“Ah, iya iya! Baru inget gue!”

“Yaelah, kenapa malah temu kangen dadakan begini.” Salsa mengeluh.

Lia tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Bagaimana semesta mempertemukan mereka kembali setelah hampir tiga tahun putus kontak. Padahal mereka satu fakultas, namun mungkin karena sudah lama tidak bertemu, mereka perlahan jadi melupakan satu sama lain. Mungkin Lia dan Sarah juga beberapa kali secara tidak sengaja berpapasan di koridor, namun mereka saja yang tidak sadar.

“Bisalah kapan-kapan makan bareng.” Sarah berujar sembari tersenyum lebar.

“Gampang itu mah. Eh, nomer lo berapa sini gue simpen.” Sarah mengucapkan sebaris angka yang langsung Lia simpan di kontaknya. “Nanti gue test chat ya.”

“Sip.”

Setelah bertukar kontak, mereka berduaㅡkini ditambah Sarah, lanjut berbincang. Bertukar kabar dan bercerita tentang kehidupan tiga tahun kuliah disini. Sesaat, Lia dibuat lupa waktu jika ponselmya tidak berdering mendapat telepon. Kemungkinan besar Dimas, namun ternyata tebakannya salah. Bukan Dimas yang menelepon, melainkan Arga.

Lia memberi kode pada kedua temannya untuk diam sebelum menjawab.

“Halo, Ar. Ada apa?”

“Kamu selesai siaran jam berapa?” tanya Arga langsung.

“Jam 4. Kenapa emang?”

“Pulang bareng mau nggak?”

Lia terdiam, sebentar. Menimbang-nimbang sebelum akhirnya mengangguk walau dia tau Arga tidak akan melihatnya. “Mau. Tumben jam segitu udah selesai. Nggak praktikum?”

“Praktikumnya ganti hari, jadi aku nanti bisa pulang cepet. Kalau gitu nanti tunggu aja di Fakultas kamu ya, biar aku yang kesana. Jangan kayak waktu itu kamu nyusulin aku. Kan jauh, nggak capek apa habis kelas langsung jalan ke Teknik?”

“Iya, bawel.”

Arga tertawa renyah. “See you when I see you!”

“See you.”

“Siapa?” Salsa langsung menodong.

“Belum aja gue selesai telfon.” Lia berdecak lalu mengakhiri panggilannya dengan Arga. “Pacar gue.”

“Yang mana?” tanya Salsa.

“Lo nanya seakan-akan pacar gue banyak ya Sal.” Lia mendengus. “Masih sama yang dulu.”

Salsa terperangah. “Buset, masih sama Arga?”

“Iya,” angguknya.

“Arga siapa?” Sarah ikut bertanya.

“Arga temen kita BEM.” Salsa menjawab. “Gue kira udah pegat aja. Mana Arga kalau di BEM nggak pernah cerita masalah begituan. Kan gue ngiranya kalian udah selesai. Langgeng ya.”

Lia tersenyum. “Aminin aja deh.”

Untuk kedua kalinya, teleponnya kembali berbunyi.

“Ya Allah, telfon lagi tuh pacar lu.”

“Bacot, Sal.”

Lia menjawab tanpa melihat nama si penelepon. Tindakan yang salah karena setelah ini bisa dipastikan kupingnya akan pengang seketika. “LO MINGGAT BELI GEPREK NGESOT YA?! INI BENTAR LAGI KITA SIARAN LIA ANJIRUNNN! GUE BETOT JUGA PALAㅡ”

Lia cepat-cepat menutup panggilan

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status