"Kamu serius?"
Ini adalah berita baik pertama yang kudengar setelah pulang dari RS. Habis gelap terbitlah terang, mungkin inilah saatnya. Aku sudah pasrah semenjak dikabari kalau bartender itu ternyata hanya karyawan temporer, dan sekarang... Tuhan memang adil. Gun mengangguk, menuntunku untuk naik ke lantai tiga di ruangannya. "Mereka sudah membawanya ke kantor polisi untuk diinterogasi. Keduanya ternyata selama ini bersembunyi di luar kota." "Kita harus kasih rekaman dari Mba Niken, itu bisa buat ngancam mereka agar mau bicara Gun." "Rein dan Darmawan tahu apa yang mereka lakukan, bukti CCTV itu saja sudah cukup untuk membuat mereka terancam." "Gimana kalau mereka nggak mau ngaku?" tanyaku, mondar-mandir di ruangannya dengan gusar. "Gimana kalau mereka ngotot kalau itu bukan perbuatan mereka, dan bukannya perbuatan Roy atau Zara?"<"Di kamar Mba Hana gimana, nyaman?" "Nyaman kok, pemandangannya aestetik, kamar kita kan sebelahan. Kenapa Mita? Kamar kamu nggak nyaman?" "Kamar mandi Mba juga berarti transparan?" "Ya enggak, nggak bisa tidur saya nanti, ngeri ada yang mandangin dari dalam." Kemudian dia bergidik dan berderap menjauh dariku. Kenapa aku tidak memikirkan hal yang sama? Ya karena manusia yang sekamar denganku jauh lebih seram daripada jurik. Bayangkan, dia berkata ruangan kamar mandi itu otomatis, tapi ternyata aku harus menekan tombol jika ingin kacanya yang transparan berubah gelap, itu bahkan bisa diakses menggunakan voice. Jadi selama aku berganti pakaian dia melihat.... Wajahku terasa panas. "Kenapa?" tanyanya datar saat aku prengat-prengut. "Aku sudah pernah melihat semuanya." Mataku melotot. "Kamu nggak adi
"Paspor Gun." Aku melotot ngeri ketika roda pesawat menyentuh landasan Seletar Airport, Gun sedang sibuk berbicara pelan dengan kru jet, ekspresinya tenang seperti biasa, seolah dia tidak baru saja menculikku ke negara lain dengan gaya mafia. "Itu sebabnya semalam aku menyuruh kamu membawa dokumen lengkap. Kamu nggak membawanya Mita?" "Bawa, tapi aku hampir nggak mau bawa semalam karena nggak perlu. Gimana kalau aku beneran nggak bawa?" "Then, kamu pulang lagi ke Jakarta." Manusia crazy rich ini memang agak lain. Sepertinya Gun sudah terbiasa ke mana-mana serba cepat. "Kamu ini jahil sekali," gumam Mba Hana di samping kami sambil terkekeh. "Maafkan dia Mita, kelakukannya dari dulu nggak pernah berubah. Ada yang bilang anak laki-laki hanya bertambah umur tapi nggak bertambah dewasa." Nah, aku setuju untuk Gun. "Saya pikir kamu sudah tau jadwal kita hari ini makanya
Bagaimana caranya untuk menghindar dari Gun? Rasanya mustahil. Kami selalu bersama. Ke mana pun mataku memandang selalu ada dia. Satu-satunya cara adalah kabur, membawa anak-anak kembali ke apartemen, tapi itu pun terdengar ekstrem. Yah aku pernah melakukannya, dan aku tidak ingin melakukannya lagi tanpa alasan yang jelas. Gun hanya akan ngotot.Namun pasrah bukan pilihan."Coba ini," kata Gun tiba-tiba. Menggeser nampan ke hadapanku. "Daripada kamu bengong terus, lebih baik kamu melakukan sesuatu yang bermanfaat."Bengong?Hei, aku sedari tadi melompat ke sana- kemari. Memangnya dia tidak lihat?Aku bahkan masih di kitchen, meskipun keberangkatan kami sudah dijadwalkan besok pagi. Tapi dia tetap menyuruhku produktif sampai detik terakhir. Laki-laki ini memang tidak bisa diam dan gila kerja."Apa ini?" tanyaku akhirnya mengalah."Dessert."Semua orang juga tahu, tapi aku butuh penjelasan. Saat aku diam
"Aku nggak bisa ninggalin anak-anak gitu aja.""Kamu sendiri yang bilang mau ikut.""Benar tapi aku pikir itu masih beberapa minggu lagi...?""Beberapa minggu lagi atau bukan, kamu tetap harus pergi, gimana caranya kalau kamu nggak bisa ninggalin anak-anak?""Maksud aku, aku harus minta izin dulu, mereka perlu tau Mamanya ke mana.""Dan kalau mereka nggak izinkan? Aku bingung sebenarnya yang bos kamu itu Hiro dan Naga atau aku."Aku meringis, mengelap meja dengan lebih teliti dari biasanya. Kami akan opening dalam satu jam ke depan. Tapi sebelum briefing pagi, Gun dan aku melipir di salah satu meja dan berdebat.Yah, aku memang senang dia mengikutsertakan aku untuk cabang De Luca di Bali. Sekarang pun punggungku panas dingin karena antusias. Tapi setelah berhari-hari di rumah sakit, meninggalkan anak-anak semakin terasa berat."Jadi kamu mau ikut atau nggak?" Gun mulai kehilangan kesabaran. Mengenakan seragam da
Anak-anak sedang kecanduan main sepeda, sampai-sampai ketika aku mengecek mereka di kamar. Keduanya sedang memeluk helm masing-masing. Dan ketika pagi tiba, aku terbangun bukan karena alarm. Tapi karena mendengar suara roda kecil meluncur di atas lantai keramik, lalu diikuti oleh suara sesuatu yang menabrak kaki meja makan. Aku keluar kamar dan... freeze. "Ya ampun." "Mama kita boleh bawa sarapannya langsung ke sepeda kan?" Apa maksud dari membawa sarapan ke sepeda? Sementara mereka sekarang sudah melakukan test drive di ruang tamu. Lengkap dengan helm dan sepatu. Hiro duduk tegap di atas sepedanya, memakai baju Thor, dan di keranjangnya ada semangkuk sereal plastik. Naga, di sepeda merahnya yang keren tapi kini kelihatan aneh sebab dia mengenakan jas hujan transparan (katanya kemarin supaya kelihatan seperti pembalap profesional) dan sedang berusaha menyeimbangkan roti bakar di
Kami bertemu Pak Punjab sebelum pergi. Keramaian itu jelas menarik perhatian. Termasuk Briptu Rein yang menjabat tangan Gun setelah penangkapan."Kerja sama yang bagus, selanjutnya kami akan berusaha semaksimal mungkin melakukan yang terbaik agar dia mendapatkan hukuman yang setimpal."Tubuhku bergidik, merinding membayangkan Mba Niken akan dipenjara untuk waktu lama. Kutatap Gun yang juga menunduk menatapku."Jangan coba-coba untuk mencabut laporan, kamu sudah berjanji akan menyelesaikan ini sampai tuntas.""Aku nggak berniat begitu.""Tapi kamu sepertinya akan memberikan kesaksian yang meringakan dia, kan?""Gun jangan suu—""Aku tahu ini pasti sulit buat kamu, tapi pikirkan kerugian yang kamu alami selama di rumah sakit," potongnya."Mba Mita, setiap tindakan kriminal memang harus diamankan, kalau saat ini dia berani melukai Mba secara terang-terangan bayangkan apa yang bisa dia lakukan secara sembunyi-sembun