Meski sudah mendapat bentakan dari Bariqi, Elya tidak kunjung menurunkan kakinya dari paha Bariqi. Gadis itu juga tidak peduli kalau kakinya juga sudah dipukul dengan kencang. “Elya!” desis Bariqi menatap Elya tajam. Elya hanya menampilkan ekspresi sinisnya pada Bariqi. Ia sudah terbiasa mendapatkan tatapan tajam dari Bariqi, ia tidak takut lagi. “Dek, adek mau apa? Di depan ada penjual sempol, adek mau biar Mbak belikan,” ucap Cici pada Elya. Elya membulatkan matanya mendengar ucapan Cici, sedangkan Bariqi yang tadi menampilkan raut garangnya kini menahan tawanya yang akan meledak ketika mendengar ucapan Cici. Elya bukan gadis biasa yang mudah disuap dengan sempol, gadis itu sukanya hanya sama duit. Elya mengembungkan pipinya, gadis itu segera menurunkan kakinya dan beranjak berdiri. “Mau kemana?” tanya Bariqi. “Pulang,” jawab Elya. “Oh iya mau aku pesenin ojek online?” Tangan Elya terkepal dengan kuat, tadi ia pulang tidak boleh dan Bariqi juga bilang kalau tidak ada ojek. Nam
“Elya, boleh aku tanya sesuatu sama kamu?” tanya Vino sedikit ragu. “Boleh,” jawab Elya. “Kamu ada hubungan apa sama Chef Bariqi?” “Babu dan atasannya,” jawab Elya dengan santai. “Maksudku bukan begitu. Em … seperti misalnya teman tapi mesra.” Brakk! “Demi langit bumi bersaksi, apa kamu gila, Vino?” teriak Elya dengan spontan memukul meja dengan kencang. Vino tersentak kaget karena ulah Elya, pria itu mengusap dadanya pelan. “Teman tapi mesra dari mananya? Setiap aku bertemu sama dia, sama saja aku bertemu dengan setan yang sangat ingin aku hindari. Mungkin saat dulu di dalam kandungan aku sangat nakal, suka gigit-gigit jantung ibuku dan main sepak bola dalam perut, makanya saat aku sudah gede, aku dipertemukan sama orang yang freak seperti Bariqi. Melihat tampangnya saja sudah membuatku ingin mencakarnya sampai habis. Lihat wajah sombongnya itu, apa kamu pikir aku mesra sama dia? Jadi temannya saja aku tidak sudi.” Elya mengoceh bertubi-tubi dengan nada yang sangat menggebu-ge
Sejak pagi aura dapur terasa sangat suram dan mencekam. Tidak ada yang salah dari para pekerja yang bekerja dengan giat, tetapi ada salah satu orang yang membuat suasana menjadi terasa mencekam, yaitu Bariqi. Sejak tadi pandangan Bariqi tidak lepas dari Vino, tatapannya sangat tajam menusuk pada pria berusia dua puluh dua tahunan itu. Vino salah tingkah seorang diri, ia merasa tidak membuat kesalahan, tetapi Bariqi terus menatapnya seolah mengibarkan bendera permusuhan.“Vino, kamu buat kesalahan apa?” tanya Chef Edo menyenggol lengan Vino. Chef Edo juga merasa tatapan Bariqi sangat tajam ke arah Vino. Vino menggelengkan kepalanya.“Aku tidak ngapa-ngapain, Chef,” jawab Vino.Edo mengangguk-anggukkan kepalanya, chef senior itu kembali pada pekerjaannya. Sesekali Edo akan melirik ke arah Bariqi. Wajah Bariqi menandakan amarah yang sangat dalam.Teng teng teng! Bariqi memukulkan spatula ke pan dengan kencang. Elya segera menghadap karena itu panggilan untuknya. “Siap chef, ada yang bis
"Mbak, orang tadi temen mbak? Kenapa gak disuruh masuk?" tanya Rafa saat mereka sudah masuk ke kamar Elya."Rafa, jangan pedulikan dia. Kamu duduklah, mbak ambilkan minum," ucap Elya. Rafa melihat raut Elya yang tidak baik-baik saja, kakak perempuan satu-satunya itu seolah tengah menahan tangisnya. Ada jejak air mata di pipi kakaknya."Nanti Rafa ambil sendiri, kakak makan saja ini," ucap Rafa menarik kakanya dan mengajak sang kakak duduk di ranjang dan membuka bolu kukus yang kakaknya taruh di ranjang.Elya memalingkan wajahnya, gadis itu selalu berusaha menyembunyikan tangisannya dari sang adik. Namun Rafa memaksanya duduk untuk makan bolu kukus."Ini kan kesukaan Mbak. Kalau aku yang makan sendiri, nanti mbak ngamuk," ucap Rafa menyodorkan bolu kukus yang sudah ia buka."Kamu buat sendiri?" tanya Elya."Beli," jawab Rafa terkekeh."Eh biar aku suapi," ujar Rafa menarik kembali bolunya. Rafa mengambil pisau plastik yang ada di balik kardus dan memotong bolu itu. Rafa menyuapkan satu
Bariqi mengurut keningnya dengan lemas, pria itu menyandarkan tubuhnya di tembok karena kakinya seolah tidak bisa menyangga tubuhnya sendiri. Bariqi mendengar pembicaraan kakak beradik di dalam sana karena jendela kamar Elya yang terbuka membuatnya mendengar jelas apa yang mereka bicarakan. Bariqi merasa dirinya sangat keterlaluan pada Elya. Selama ini ia mengaku paling dekat dengan Elya, tapi ia tidak tahu masalah apa-apa yang sedang ditanggung gadis itu."Eh mbak, aku sudah dichat sama temen disuruh balik," ucap Rafa saat ada notifikasi dari hpnya."Kamu gak makan dulu?" tanya Elya."Tidak usah. Aku pergi dulu ya, Mbak.""Tunggu." Elya menuju laci kecil di samping ranjangnya, perempuan itu mengambil beberapa uang dan memberikannya pada sang adik."Buat jajan di perjalanan," kata Elya."Mbak aku masih ada uang, gak usah kasih lagi," ujar Rafa menolak uang kakaknya."Ambil saja. Saat perjalanan pulang belum tentu kamu langsung pulang, siapa tahu teman-teman kamu masih ngajak nongkrong
“Mbak ini uangnya,” ucap seorang wanita menyerahkan uang pada Elya. Elya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Gadis itu menerima uang dari staf di toko perhiasan. Elya menghitungnya cepat, senyum manis mengembang pada gadis itu. Untungnya harga emas sedang naik, dan dia bisa mendapatkan lebih banyak dari yang ia kira. Jam tangan juga sudah ia jual dan menghasilkan uang.Seorang perempuan mengerutkan dahinya tatkala melihat seorang gadis kecil menghitung uang dengan senyum mengembang di wajahnya. Perempuan yang baru membeli gelang itu mendekati gadis yang disukai anaknya.“Elya,” panggil Putri membuat Elya terkesiap. Elya menatap seorang perempuan berdiri di hadapannya, gadis itu mengulurkan tangannya pada Bu Putri, menyalaminya sebagai bentuk sopan santun.“Bu Putri,” panggil Elya.“Kamu menjual apa?” tanya Bu Putri sembari menyambut uluran tangan Elya. Elya mencium tangan Bu Putri dengan sopan.“Eh itu, Bu. Jual kalung sama anting,” jawab Elya. Bu Putri melihat penampilan Elya dari
Elya menatap mangkuk bakso yang sangat banyak. Di kedai bakso yang kecil itu pelanggan sangat ramai, tetapi hanya ada Mas Bima yang melayani pembeli. Dengan semangat Elya mencuci semua mangkuk-mangkuk dengan cekatan. Untuk Elya yang sering melakukan pekerjaan serabutan, hal seperti ini tidaklah sulit untuk Elya. Sesekali Elya akan menyeka keningnya. Perut Elya terus berbunyi karena lapar, tadi siang ia gagal makan karena Bariqi yang menyebalkan, saat bersama Bu Putri pun ia tidak menghabiskan sotonya. Kini perutnya keroncongan, tetapi gadis itu tidak mempedulikan suara perutnya. Elya harus menyelesaikan pekerjaannya karena pelanggan terus berdatangan sedangkan mangkuk sudah habis.Mas Bima datang mengambil mangkuk yang sudah dikeringkan Elya, pria itu tersenyum kecil melihat Elya yang semangat bekerja. Bima menggelengkan kepalanya pelan, ia sangat sulit mencari tukang cuci, tetapi hari ini keberuntungan ada di pihaknya saat seorang gadis datang menawarkan diri dengan semangat.Elya mu
Setelah selesai makan, Elya kembali melayani pelanggan yang kembali berdatangan. Bima mencuri-curi pandang ke arah Elya, menurut Bima, Elya sangat hiperaktif dan tidak ada capek-capeknya. Dari awal datang sampai sudah menjelang malam, gadis itu tidak mengeluh lelah sedikit pun dan tetap ramah pada pelanggannya. Hingga waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam dan bakso sudah habis. Bima segera memberesi peralatannya sembari menunggu orang-orang selesai makan.“Elya, kalau boleh tahu, kamu asli orang mana?” tanya Bima sembari membereskan mangkuk-mangkuknya. Elya yang turut membantu Bima pun menolehkan kepalanya.“Asli Tulungagung, Mas. Tahu kan kota itu? Kota yang khas dengan kopinya. Kalau aku pulang kampung, aku bawain deh kopi khas Tulungagung, biar Mas bima lebih semangat buat baksonya,” ujar Elya.“Aku sering ke kota itu untuk mengirim brokoli. Kapan-kapan kalau aku ke Tulungagung dan kamu ada di sana, aku akan mampir ke rumahmu.”“Boleh, nanti aku ajak jalan-jalan. Ba