Maya memperhatikan cekatannya Reihan dalam mengolah makanan. Saat mendengar kabar bahagia dari Ray, rasanya senyum tak bisa berhenti dari bibir. Walau Reihan sudah melarang membawa apapun, tapi dia tetap membeli beberapa bahan makanan tambahan seperti cumi, udang, dan ayam. Berbagai menu makanan yang lezat dan cantik presentasinya, membuat dirinya enggan untuk menyantap.
Lagu selamat ulang tahun dinyanyikan dengan penuh kegembiraan. Saat tiup lilin Maya tidak memohon apapun. Dia bersyukur karena diberi kesempatan merayakan ulang tahun bersama dengan pria yang dia sukai walau tak bisa memiliki.“Kak Rei, masakannya enak banget. Aku jadi pengin punya suami kayak Kak Rei. Pasti yang jadi istri Kak Rei beruntung banget,” Puji Zahra.“Nanti aku ajarin Ray masak, deh.”“Apa hubungannya sama Ray?”“Kata Riyan kalian bakal jadi laki bini.”“Maaf, ya, Kak, walaupun Ray pria terakhir yang ada di dunia ini, aku ogah sama dia.”“Biasanya kalau suka sesumbar malah jadi jodohnya beneran,” canda Maya.“Nolak di awal, ngejar di akhir,” dukung Reihan.Zahra merengut sebal. Matanya melotot horor pada Ray. Ray justru menggoda dengan memberikan kiss bye yang langsung ditolak Zahra dengan kibasan tangan.Selesai makan, Ray, Riyan, dan Zahra berkumpul di ruang keluarga melihat film. Sedangkan Maya dan Reihan duduk di ruang tamu, mengobrol ringan sambil menikmati camilan. Di tengah obrolan mereka, Reihan mengambil paper bag kecil di atas bufet lemari.“Hadiah untuk kamu.”Maya membuka paper bag kecil pemberian Reihan. Parfum.“Aku bingung harus kasih hadiah ulang tahun apa ke kamu. Jadi aku putuskan pilih parfum. Rekomendasi dari Tante Silva. Aku harap kamu suka.””Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi. Kamu sudah masakin, bikin kue ulang tahun, kasih hadiah pula. Terima kasih banyak sebanyak-banyaknya.”“Apa yang aku lakukan nggak sebanding dengan apa yang kamu lakukan untuk Ray. Kalau nggak ada kamu mungkin Ray nggak akan pernah berubah. Justru aku yang sangat berterima kasih sama kamu karena udah membawa perubahan positif dalam hidup adikku.”“Ray sudah seperti adikku. Aku harap dia bisa sukses dalam hidupnya.”“Waduh, saya sebatas adik aja untuk ibu?” celetuk Ray. Dia duduk di dekat Maya. “Padahal saya naksir berat ibu, lho.”“Zahra mau ditaruh mana?”“Pancinya Kak Rei.”Maya mengacak-acak rambut Ray. “Buaya darat.”Malam indah ini akan selalu dia ingat. Malam bersama dengan pria yang istimewa di hati. Malam yang rasanya tak mau dia akhiri karena dia tak yakin akan ada malam-malam seperti ini lagi dengan pria itu.Maya menyemprotkan sedikit parfum pemberian Reihan di punggung tangannya, benar wanginya lembut dan segar. Mulai besok dia akan memakai parfum ini. Walau tidak bisa memiliki pria itu, setidaknya dengan memakai parfum ini dia merasa pria itu selalu ada di dekatnya. Mungkin logikanya terkesan cacat, tapi seperti inilah logika orang yang sedang jatuh cinta. Dia masih menikmati menjadi gila akan sebuah rasa. Biarlah waktu yang membantunya waras kembali.***** *****Ray nyengir senang ketika kamera digital yang dia mau akhirnya berada di tangan. Dia peluk kakaknya penuh sayang sembari mengucapkan terima kasih. Reihan mengajak keluarganya makan malam di salah satu restoran di mall dalam rangka merayakan ulang tahun adiknya. Walau dia tahu itu terlambat.“Ih, belagu, mentang-mentang punya kamera baru,” Cibir Helen. Ray menjulurkan lidahnya.“Mulai tahun depan aku cuma mau hadiah kamera.” Ray terkikik geli. “Yang lebih bagus, lebih mahal.”Reihan tersenyum sebal. “Tenang aja, kebon pete Tante Silva masih hektaran.”“Kebon jengkol Bapaknya Helen aja yang dijual.” Silva menimpali. “Baru panen, tuh.”“Nggak mau, nanti kameraku ikutan bau,” Ujar Ray. Mereka kompak tertawa.“Oiya, Ray, siapa temenmu yang suka pete?”“Zahra.”“Oh Zahra, yang cantik itu, kan?”Bola mata Ray berputar tanda tak setuju. “Jangan sampai dia denger Tante ngomong gitu. Bisa besar kepala dia.”“Yaelah sama calon bini jangan jahat dong.” Reihan menahan senyumnya.“Kamu pacaran sama Zahra?” mata Silva berbinar senang.“Ih ogah. Kerjaannya aja ngaca mulu. Sering maling dompetku. Malak bekalku.”Helen menadahkan tangan layaknya orang berdoa. “Semoga Ray beneran jadi suaminya Zahra.”“Aamiin,” Ucap mereka kompak. Ray merengut sebal namun dalam hati merasa geli.“Setelah ini mampir bentar ke butik langganan Tante. Mau ambil pesenan baju.”“Mama beli baju lagi?” Fadil menatap heran istrinya. “Buat apa? Bukannya seminggu yang lalu juga baru beli baju.”“Weekend kita kondangan. Papa lupa Pak Eko bakal mantu anaknya yang bontot?”“Papa inget. Tapi maksud Papa, di rumah juga masih ada baju yang bagus-ba,”“Mama nggak ada baju, Pa.”Mereka mendadak bengong sembari menatap heran Silva.“Intinya Mama bosen sama baju-baju itu. Namanya juga cewek.”Mereka senyum-senyum geli lalu mengangguk-angguk. Silva mengulum senyum malu.Selesai makan, mereka cuci mata sebentar di mall. Ray dan Helen antusias antri di stand es krim. Reihan menunggu mereka di pinggiran store pakaian ternama. Sedangkan tante dan omnya melanjutkan jalan dengan langkah pelan. Matanya melebar saat melihat seseorang yang dia kenal. Kakinya melangkah cepat, melewati orangtua Helen. Tangannya mencapai pundak wanita itu.“Maaf,” Reihan merasa tidak enak hati karena ternyata bukan orang yang dia maksud. “Maaf, saya kira teman saya.” Wanita itu hanya mengangguk kecil lalu melanjutkan jalannya.“Rei, kenapa?” Silva menepuk bahu ponakannya.“Aku kira Intan.”“Intan?” Air muka Silva berubah sedih. “Kamu udah ada kabar tentang dia?”“Belum, Tan.”“Kak, kok, ninggalin kita?” protes Ray.“Sorry, tadi aku kayak lihat Intan. Pas aku samperin ternyata bukan.”Wajah Ray juga berubah sedih. Sudah lama tak ada kabar dari wanita itu.“Kangen Kak Intan,” Ucap Helen pelan. “Coba waktu itu Kak Rei maksa nikahin Kak Intan, seret ke KUA, nggak bakal dia minggat.”“Justru gara-gara itu dia minggat.” Reihan menghela napas. “Padahal aku cuma bercanda.”“Ya udah kalau ketemu langsung nikahin. Jangan sampai minggat lagi.”“Emangnya Kak Intan mau punya laki sok perfect macam Chef Reihan?” cibir Ray. “Bayangin aja kalau lagi di dapur, bukan kayak suami ke istri tapi mertua ke mantu. Dilihatin caranya motong cabe, bawang, sampai ceplok telor. Bukannya masak tapi malah berantem.”“Masih mending Intan daripada Zahra. Intan masih bisa masak. Lah, Zahra masak air aja panci gosong sampai bolong.”Mereka terbahak. Ray memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa. Teringat bagaimana Zahra bercerita tanpa rasa malu tentang hal itu.“Kok bisa sampai gosong?” tanya Helen.“Ditinggal ngaca,” Jawab Ray.“Reihan,”Sapaan itu menghentikan langkah mereka. Nani menyunggingkan senyum ramah.“Sama siapa?”“Tunangan saya.”Nani menunjuk pria bertubuh tinggi dengan setelan jas abu-abu di dalam store perhiasan yang membelakangi mereka. Reihan melihat pria itu tengah berbicara dengan seorang pramuria wanita.“Kalau gitu saya masuk dulu. Mari,” Pamit Nani. Reihan mengangguk mengerti.“Siapa?” Silva menyenggol lengan ponakannya.“Pelanggan restoran.”“Oh, kirain,”“Calon pacar,” sambung Fadil. Silva tertawa sebal.“Ayo, ayo, pulang,” Ajak Silva. “Ray, nginep tempat tante.” Diapitnya lengan kiri Ray.“Jangan, Tan. Masa aku tidur sendirian. Nanti Nona Cantik nemenin tidur gimana?”“Laki, kok, cemen. Tinggal balik peluk.”“Kayak tante berani. Waktu itu juga kabur.”“Ya iyalah kabur, wong nongol di sebelah tante.”“Mending pindah unit aja, deh, Rei.” Fadil bergidik ngeri. “Kalau Om tinggal di situ, kayaknya Om pingsan setiap hari.”“Tuh, gebetannya Nona Cantik yang nggak mau pindah.” Tunjuk Reihan pada adiknya.“Lagian kalau kita pindah terus dia ngikutin gimana? Sama aja bohong.”“Ya jangan bilang-bilang ke dia,” Celetuk Silva. Mereka terbahak lagi.“Tante, tanpa harus bilang ke Nona Cantik, dia juga bisa nemuin kita dalam sekejap mata.”“Aku ikut nginep aja.”“Huuuu cemen,” ucap mereka kompak. Reihan tertawa geli.“Mama, jadi mampir butik?”“Nggak, deh. Besok aja. Udah malem.”Dalam perjalanan pulang, Ray banyak mengambil foto dengan kamera barunya. Bahkan sampai tiduran di pangkuannya demi mendapatkan angle yang tepat. Sesampainya di rumah Tante Silva, Ray masih tetap memotret apapun yang dia ingin potret.Jam sebelas malam, Reihan masuk kamar tamu setelah selesai menyusun menu baru untuk masakan Western. Dia tersenyum melihat Ray tidur memeluk kamera. Perlahan dia ambil kamera dari dekapan adiknya. Meletakkan di meja belajar. Dibenarkannya selimut menutupi tubuh Ray. Dia naik ke kasur, merebahkan diri di samping kiri adiknya. Pikirannya melayang kembali pada Intan.“Intan, kamu di mana, Sayang?”***** *****Zahra dan Helen membujuk Shafira untuk makan tapi selalu ditolak. Padahal tubuhnya demam. Ray menarik tubuh Shafira agar bangun. Gadis itu menangis di pelukan Ray.“Dia nggak balas pesan aku. Telepon juga nggak diangkat. Aku nggak mau putus. Aku cinta mati sama dia.”Ray tahu pasti cinta Shafira yang dalam untuk pria itu. Shafira bahkan rela menyamar menjadi pelayan cafe di tempat temannya agar bisa lebih dekat dengan Doni.Ray menghapus sisa-sisa air mata Shafira. “Sekarang makan dulu, minum obat, kalau kamu nurut aku bawa nemuin dia.”“Dia pasti nggak mau ketemu aku lagi. Aku sudah bohongi dia. Dia paling benci pembohong.”“Seenggaknya kamu bisa jelasin ke dia alasan kamu bohong. Kalau dia ngerti syukur, kalaupun dia tetap nggak mau lanjutkan hubungan, relakan.” Shafira menangis lagi. “Sini Aa Ray suapin anak manja.” Ray mengambil piring berisi makanan dari Helen. “Keahlianmu maling kembang pengantin nggak diragukan lagi, Doni nggak mun
Ardi dan Rachel kompak menepukkan spon bedak ke pipi Gunawan karena kalah main ular tangga. Reihan tersenyum melihatnya. Dia bersyukur Ardi sudah bisa dekat dengan ayah kandungnya. Walau masih memanggil dengan sebutan Om. Mereka sepakat akan memberitahu Ardi bila sudah cukup umur.“Aduh, Om payah. Masa main ular tangga kalah terus. Mukanya jadi kayak donat gula.” Ardi geleng-geleng lalu menghela napas. Gunawan tersenyum malu.“Masa sudah gede kalah sama anak kecil.” Rachel menepuk dahinya.“Iya, deh, yang lagi merasa hebat.”Ardi mengajak Rachel bermain bola besar kesukaan mereka. Gunawan mengawasi dari kejauhan. Hatinya bahagia bisa sedekat ini dengan anaknya.“Waktunya minum obat.” Reihan mengingatkan. Dia meletakkan nampan berisi obat dan air putih.Gunawan meminum obatnya tanpa protes. Maya memotret dengan ponselnya dan mengirimkan ke Dokter Hilda.“Kalian sekarang jadi sekutunya Hilda. Nyebelin banget.”“Ki
Ray tersenyum geli melihat Zahra yang mengenakan kemeja birunya. Kemejanya seolah menenggelamkan tubuh langsing gadis itu. Zahra naik ke ranjang dan menyandarkan punggungnya pada dada bidang Ray.“Ray, rasanya nyaman banget seperti ini.” Dikecupnya berulang kali punggung tangan kanan Ray.Ray singkap rambut panjang Zahra dan mengecup mesra lehernya. Didekapnya lembut tubuh itu. Zahra menikmati leher jenjangnya dimesrai.“Mau jalan ke mana?”“Nggak tahu, deh. Bingung.”Zahra berbalik. Dia duduk di pangkuan Ray. Dua tangannya meraba dada bidang Ray yang polos. Dia mengecupinya lalu naik ke leher. Dia tertawa senang ketika tubuhnya ditindih. Bibirnya menyambut penuh gairah bibir Ray.“Rambut kamu sudah panjang, Sayang. Besok aku temani ke salon.”“Boleh. Sekalian kencan pertama kita.”Zahra mengangguk setuju. Dia tertawa geli ketika Ray menggelitik perutnya.“Ray, ah, geli, Ray,”Zahra berhasil me
Maya menyambut senang adik iparnya yang datang bersama Riyan dan Diana. Dia mencubit gemas pipi Ray saking kangennya.“Tolong, ya, tangan dikondisikan.” Ujar Reihan melirik sebal.“Ray gemesin kayak boneka.”Reihan ikut mencubit gemas pipi adiknya. Diana tertawa geli melihat itu. Riyan memberikan parcel buah pir untuk Maya.“Tante makasih banyak. Tahu aja kalau lagi pengin yang seger.”“Ibu hamil pasti penginnya makan yang seger. Malah dulu tante pas hamil Riyan pengin makan bakso yang pedes banget tapi nggak boleh. Kasihan bayinya.”“Iya, Tan. Aku kangen banget makan sambel ikan asin jambal yang super pedes. Tapi nunggu sampai lahiran aja.”Diana dan Riyan hanya sebentar bertamu lalu pamit karena mau jalan-jalan. Ray mengantar mereka hingga keluar gerbang. Setelah mobil Riyan pergi, dia melihat mobil lain berhenti di depan pagar. Dia tak jadi mengunci pintu gerbang. Xavier keluar dari mobil.“Ray,” sapa Pak Xav
Zahra terkesiap ketika bahunya ditepuk oleh Martin. Dia tersenyum.“Pagi-pagi sudah ngelamun.”Zahra tak punya kalimat apapun untuk menjawab Martin. Sudah berhari-hari pikirannya dipenuhi oleh Ray dan ciumannya. Dia akui menyesal tidak membalas ciuman Ray. Saat menjenguk Ardi di rumah sakit tempo lalu, dia sengaja tidak menyapa pria itu. Dia masih bingung bagaimana harus bersikap.“Kamu mau ikut main golf nggak?”“Nggak. Mau di rumah aja.”“Pagi,” sapa Pak Thomas. Dia duduk di seberang mereka. “Zahra, kapan Pak Gunawan operasi transplantasi?”“Lusa, kenapa, Pa?”“Kalau mau jenguk kabari Papa. Sore ini Papa dan Martin harus balik ke Singapura.”“Kalian gitu banget sama aku, ditinggalin terus. Lama-lama aku minggat juga.” Zahra meletakkan garpu dan sendoknya di piring, tak jadi sarapan.Pak Thomas saling pandang dengan Martin. Belum sempat mereka menjelaskan, Zahra sudah beranjak menuju kamarnya di atas.
Reihan dan Maya menyiapkan berbagai hidangan lezat untuk menyambut para tamu. Mereka mengadakan syukuran karena masalah pelik yang ada berakhir dengan damai. Pihak Gunawan mencabut perkara hak asuh Ardi dan mengikhlaskan Ardi dirawat oleh pihak Reihan. Gunawan tidak mau Ardi memiliki moment buruk dalam hidup seperti dirinya. Reihan membebaskan Gunawan untuk menemui Ardi kapanpun dia mau. Kesepakatan tersebut disambut baik oleh kedua belah pihak.Reihan menggandeng Ardi untuk menemui Gunawan. Anak itu masih takut dan bersembunyi di belakang tubuhnya. Reihan membujuk lembut untuk mau berjabat tangan dengan Gunawan.“Jangan dipaksa, Rei.” Suara Gunawan bergetar sedih. Akibat ulahnya anak kandungnya sendiri takut hanya untuk sekedar melihatnya.“Sayang, Om Gunawan orang baik. Beliau ingin jadi teman Ardi dan Rachel.” Maya menyatukan tangan Ardi dan Rachel. “Kalian mau, kan, jadi temannya Om Gunawan?”“Om Gunawan bawa banyak mainan buat kita. Baik bang