Rangga menepati janjinya, rasa sakit hati, sedih, dan kecewa menjadikan hatinya semakin membatu dan sikapnya pun sedingin kutub es. Ia memang tak pernah pergi dari rumah lagi, atau sekedar duduk di club atau bar bersama beberapa temannya hanya untuk berbincang. Setelah bekerja, ia tak langsung pulang, memilih duduk santai di ruangannya, merenungi sikap bodohnya yang meninggalkan Aya saat itu karena takut dengan ancaman bunda. Setiap malam, tepatnya pukul sembilan, barulah ia beranjak untuk pulang ke rumah.
Tiba di rumah, ia juga langsung menuju ke kamarnya. Makanan bibi antar ke kamar juga. Tak sudi berada satu meja dengan Mita yang memilih di rumah saja dengan alasan jika itu tugas utama istri. Masa bodoh, Rangga tak peduli hal itu.
“Aku hamil.” ucap Mita seraya menyerahkan amplop putih ke atas meja di hadapan Rangga yang sedang menikmati sarapan paginya, masakan bibi, bukan Mita yang selalu tak ingin ke dapur.
Rangga bergeming, ia makan sembari men
Wanita itu berjalan masuk ke area kampus tempatnya mengemban ilmu jurusan bisnis. Jurusan yang bukan jalurnya sama sekali, tetapi karena ia sudah berjanji kepada Sari dan Agung, ia mantap terjun ke dunia yang sama sekali tak ia ingin sentuh sebelumnya.Jemari tangannya mengarah ke papan pengumuman mahasiswi yang lolos mengikuti seminar bisnis. Namanya muncul menjadi salah satu peserta. Ia akan terbang ke Singapura, menghadiri seminar itu, perwakilan dari kampusnya bersama enam orang lainnya dan dua dosen wanita.Dua tahun sudah ia mengenyam pendidikan di sana. Ia melupakan masa lalu juga cerita kelamnya, dan fokus menata hidupnya lagi. Setiap bulan, ia mengirimkan uang untuk kedua orang tua dan Jani, adiknya yang kini sudah masuk SMK jurusan tata busana. Sari dan Agung bahkan sudah pernah Aya ajak ke kampong halaman. Bertemu serta menjelaskan tujuan mengapa mereka ingin mengangkat Aya menjadi anaknya.Selama kurun waktu itu, Aya perlahan mampu melawan rasa getir
5 tahun kemudian.Rangga duduk di meja makan, menatap putranya yang kini sudah masuk TK, tangannya mengusap kepala bocah yang wajahnya mirip sekali dengannya. Di samping bocah itu, duduk Mita yang sedang menyiapkan bekal makanan untuk putra mereka – Sean – yang mengunyak macaroni keju sebagai menu sarapannya.“Pa,” panggi Sean.“Hm?” jawab Rangga.“Papa sama Mama, kenapa tidurnya beda kamar? Sean tanya ke temen-temen di sekolah, Papa dan Mama mereka tidur satu kamar?” tatapan bocah itu penuh rasa penasaran. Rangga tak menjawab, hanya tersenyum lalu beranjak.“Papa duluan, Sean, belajar yang serius, ya,” ucap Rangga sembari mengusap kepala Sean.“Papa nggak pamit ke Mama?” tanya bocah itu.“Nggak perlu.” Jawab Rangga tak acuh. Ia masa bodoh jika anaknya suatu hari akan membencinya karena bersikap mengabaikan Mita – mamanya – karena nantinya
“Kamu pikir, anak saya hanya pajangan dan pelampiasan kamu atas perjodohan ini, Rangga?” tanya wanita yang ia panggil mama, karena ia ibu dari Mita. Rangga masih diam. Ia hanya menatap kelat kedua orang tua Mita, sembari menghela napas, tatapannya datar, bisa dikatakan lebih tak ingin menunjukkan ekpsresi apa pun juga.“Mau mu, apa? Anak saya juga perasaan, dan cucu saya, Sean sudah semakin besar dan mengerti keadaan orang tuanya. Apa kamu nggak bisa, sedikittt… saja mencoba mencintai Mita? Seburuk itukah Mita di mata kamu, Rangga? Lima tahun, bukan waktu sebentar untuk menahan segalanya sendirian.” Kini papa mertuanya yang bicara. Rangga masih menatap lekat, bahkan ia duduk dengan begitu santai.Mita dan Sean tak ikut, mereka di rumah kedua orang tuanya. Ranggang tak bergeming, ia terus menatap bergantian. Membuat kedua orang tua itu merasa salah tingkah sendiri.“Papa dan Mama, saling cinta?” tanya Rangga yang akhirny
“Nggak! Sean harus sama Mita,” tolak wnaita itu tegas saat kedua orang tuanya memberikan penjelasan setelah bertemu dengan Rangga. Bahkan, sang papa begitu detil menjelaskan jika Rangga tak akan mencintai putrinya itu.“Mita nggak apa-apa cerai, Pa, tapi jangan pisahin Mita dari Sean,” pintanya dengan mata berkaca-kaca.“Mita, ini bukan selamanya. Rangga hanya mau Sean tidak selalu ada di bawah pengasuhan kamu, kamu juga bisa ikut Papa dan Mama ke Belanda, di sana kamu bisa kerja lagi, dan bangun karir kamu. Rangga juga membolehkan kamu untuk komunikasi setiap saat dengan Sean. Rangga, dia cuma mau kamu kasih dia waktu untuk mendidik Sean supaya tidak menjadi seperti dirinya dikemudian hari.” Papa menatap dengan penuh memohon. Mita sesenggukkan, ia takut jika Rangga mengambil Sean darinya. Ia tahu kesalahannya di lima tahun lalu, tetapi tidak begini caranya.“Mita…, Rangga tidak mau Sean menjadi seperti dirinya ya
Rangga menunggu putranya berjalan keluar dari dalam rumah keluarga Mita, ia tak sudi masuk ke dalam rumah itu, malas bertemu Mita. Bocah lima tahun itu berjalan sembari menyeret satu tas koper sekolahnya bergambar spiderman dan tangan satunya digandeng mama mertua Rangga.Pintu pagar terbuka, Rangga menatap Sean, lalu berjongkok. Putranya tampak bingung dan kaku, tak tahu apakah papanya hanya sekedar memeluk lalu melepaskan lagi atau kali ini justru erat mendekapnya.“Pa,” sapa Sean. Rangga segera menggendong Sean, memeluk erat dengan mata terpejam.“Tinggal sama Papa ya, Sean,” lirihnya.“Papa nggak pulang malam terus, kan?” tanya bocah itu.“Nggak. Sean jangan khawatir,” jawab Pandu. Ia mencium punggung tangan wanita yang sebentar lagi tak menjadi ibu mertuanya.“Jaga Sean, ya Rangga, hati-hati kalian,” tampak kesenduan, namun Rangga segera menjawab dengan anggukan sembari berucap
Decitan suara sepatu bertemu dengan lantai lapangan basket indoor itu terdengar begitu serahutan. Rangga tampak ngos-ngosan, ia dan Reno sedang bermain basket sekedar membuat tubuh keduanya bugar. Sean terkejut hingga menganga saat melihat papanya selincah dan jago dalam olahraga itu.“Sean, kaget ya, lihat Papanya jago main basket?” senggol Ghania dengan bahunya ke bahu Sean yang duduk di bangku penonton.“Iya. Mama nggak pernah bilang atau cerita, kata Mama, Papa sibuk kerja terus.” Sean menoleh ke Ghania yang tersenyum. Ia tak mau membalas ucapan Sean. Biar itu menjadi urusan Mita yang banyak menutupi hal tentang Rangga.“Yuk! Udah pakai sepatunya, kan, Tante kenalin sama teman-teman seumuran Sean, ya. Ayo kita latihan basket….” Ghania menggandeng tangan Sean yang begitu senang. Rangga dan Reno melihat hal itu dari sisi lapangan lainnya.“Bang, Sean seneng banget diajak ke sini,” ujar Reno.
“Papa!” panggil Sean kencang yang kaget saat terbangun, ia berada di dalam kamar papanya.“Ya, Sean, Papa di kamar mandi…!” sahut Rangga. Sean menyibak selimut, ia berjalan ke arah pintu keluar, dilihatnya rumah sudah ramai dengan suara TV menyala, harum masakan juga tercium.“Bi…, Bibi,” panggil Sean sembari menuruni anak tangga.“Sean, udah bangun, ayok, ke kamar mandi dulu, dong, apa dulu kalau bangun tidur?” ujar Bibi membawa Sean ke kamar mandi di lantai satu. Sean melirik ke meja makan.“Bubur ayam?” tanya Sean.“Iya, yang suka lewat depan rumah, Sean kan, suka, Bibi beliin,” ujar Bibi sembari membantu Sean membuka piyama tidurnya.“Tapi kata Mama, kan—““Boleh, kan ada Papa. Papa izinin, kita sarapan di teras mau?” Rangga mengambil dua mangkok. Sean bingung lagi, ia mengangguk pelan lalu masuk ke dalam kamar mandi
“Kamu pura-pura lupa siapa aku, Aya?” suara Rangga terdengar berat saat keduanya berada di ruang rapat kantor. Aya diam, ia membaca surat perjanjian dan dokumen yang sudah disiapkan sekretarisnya.“Apa sepuluh miliar cukup? Karena perusahaan anda masih baru akan dimulai dan mencangkup pembiayaan untuk kalangan mahasiswa dan UMKM, kami tidak berani menyuntikkan dana di atas nilai tersebut, bagaimana?” tatapan Aya serius, ia tak menggubris pertanyaan Rangga sebelumnya. Rangga diam, ia lekat menatap Aya serius, tubuhnya ia sandarkan di kursi, perlahan jemarinya mengusap bibir atas hingga dagunya.“Faraya Cempaka…, Hmm… sejak kapan nama kamu ditambah ‘Cempaka’? Apa Pak Agung yang menyematkan nama itu?” Rangga justru membahas hal lain diluar apa yang Aya ucapkan.“Jadi, gimana Pak Rangga, bisa ditanda tangani sekarang? Atau perlu untuk membahas hal lainnya dahulu seb—““Aya!&