"Aduh! Pelan-pelan dong, Bos." Kepalaku hampir terantuk dashboard mobil. Aku terkejut Daniel ngerem mendadak.
“Udah sampe, tuh! Makanya jangan ngelamun terus.” Daniel memarkirkan mobilnya tepat didepan gedung jurusanku, Fakultas Ekonomi.Aku memonyongkan bibirku sembari membuka pintu mobil. Aku menuruninya perlahan, karena mobil Daniel yang tinggi.Sepanjang perjalanan kami memeng diam. Aku hanya sibuk melihat jalanan. Danielpun tidak menegurku. Aku malu memulai obrolan.Sebuah mobil sedan berwarna hitam merapat terparkir di samping mobil Daniel.“Hei, Sofi. Gimana keadaanmu? Udah sehat?”Seseorang mengulurkan tangannya setelah menuruni mobil tersebut.Aku terkejut dan melihatnya. Ternyata Salman yang datang menghampiriku.“Oh iya, Bang. Sudah agak baikan.” Aku menyambut tangannya lalu bersalaman.Daniel turun dari mobil menghampiri kami. Salman tersenyum menyambut Daniel.“Salman, Mas” Salman mengulurkan tangannya memperkenalkan diri.“Daniel.” Daniel meraih tangan Salman lalu melirikku.“Mas ini kakak Sofi, yah?” Tanya Salman. Daniel nampak terkejut mendengar pertanyaan Salman.“Tahu dari mana?” Timpal Daniel penasaran.“Enggak, Mas. Soalnya waktu itu saya pernah ngajak Sofi berangkat kekampus bareng. Terus dia nolak. Katanya bareng kakaknya.Saya liat waktu itu Mas yang nganter Sofi. Jadi saya filir, Mas ini kakak Sofi.” Papar Salman.“Iya, bener.” Jawaban Daniel membuatku kaget.“Oh, kalo gitu restuin kita ya, Mas. Aku mau PDKT sama Sofi.” Ucap Salman agak berbisik pada Daniel.Salman memang tidak punya rasa malu. Dia selalu berterus terang tentang perasaannya.“Tergantung Sofi, mau apa enggak. Aku nggak bisa ikut campur. Itu bukan urusanku!” Daniel melihatku."Bisa kasih tips nggak Mas buat ngedapetin dia? Dia susah dideketin soalnya.""Jangan mulai deh, Bang." Tegurku pada Salman.Daniel melangkah menaiki mobilnya. Dia menyalakan mesin dan mulai melajukannya cepat. Aku belum sempat menyampaikan terima kasih.Aku berjalan menuju kelas meninggalkan Salman. Dia membuntutiku, tapi aku tidak menghiraukannya.Sesampainya dikelas, aku menyapa teman-temanku yang sudah datang lebih awal."Cie, cie.." Mereka meledekku karena Salman tidak berhenti mengikutiku bak bodyguard.Aku duduk dibangku barisan paling depan. Aku menyandarkan tubuhku dan melipat kakiku. Aku mengabaikan Salman yang berdiri didepanku.Aku belum melihat sosok Rena yang biasanya sudah duduk menunggu kedatanganku. Menyiapkan bangku kosong tepat disampingnya.“Aku boleh duduk samping kamu, nggak?” Salman masih berdiri. Dia tetap tidak menyerah.“Maaf bang, tapi ini tempat duduk buat Rena.” Aku meletakkan tasku dibangku kosong tersebut.“Aku tahu. Tapi sepertinya Rena gak masuk deh hari ini. Buktinya dia belum dateng sampe sekarang.”“Dia telat bang. Tadi dia w******p aku.” Kataku berbohong.“Oh, oke nggak apa-apa. Lagian cuma tempat duduk doang, kan? Yang penting hati kita deket. Ya, kan?” Salman tersenyum.Aku membalas senyum Salman tanpa jawaban."Ya Tuhan, kenapa bukan Daniel yang melakukan itu?" Bisikku. Aku menunduk, mengalihkan pandangan dari orang-orang disekelilingku.“Heii..” Rena datang menghampiriku. Aku mengambil tasku yang kuletakkan tadi dikursinya.“Duduk belakang sana, Man. Ngapain berdiri disini terus? Gak capek?” Pinta Rena sembari meledek.“Tahu tuh, dari tadi berdiri disitu mulu.” Bisikku pada Rena.“Biasalah. Namanya juga orang lagi jatuh cinta. Hahahaa…” Rena tertawa lepas.“Husstt! Capek aku ngeladeninnya.” Aku menyenggol tangan Rena.“Ya udah lah gak usah diladenin.” Rena membalas senggolanku.“Udah gak aku ladenin, Ren. Tapi tetep aja dia nggak nyerah. Emang batu banget dia!”“Ya udah, ladenin aja kalo gitu.”“Tambah ganggu dong, nanti.”“Ya tinggal bilang aja baik-baik, kalo kamu tuh gak suka sama dia.”“Aku nggak tega, Ren. Udah berkali-kali soalnya.”“Kalo gitu ya hadepin aja dia yang kayak gitu.” Ujar Rena dengan santainya. Aku hanya diam. Tidak tahu bagaimana menjelaskannya lagi.Ingin rasanya aku bilang pada Rena, bahwa aku tidak menyukai Salman karena ada orang lain yang ada dalam hatiku saat ini, yaitu sepupunya.Tapi itu tidak mungkin! Aku tidak mau dianggap memanfaatkan situasi. Lebih baik aku simpan saja perasaan ini untuk diriku sendiri.Biarlah semua berjalan dengan indah. Hingga pada saatnya aku tidak mampu memendamnya, saat itu aku akan mengutarakannya.Seusai jam kuliah kelar, aku keluar dari kelas bersama Rena."Ikut aku belanja, yuk." Ajak Rena."Belanja apa, sih?" Tanyaku."Biasa, keperluan rumah. Nanti aku telpon Kak Di, deh. Please.." Rena memelas. Di adalah panggilan keluarga Rena untuk Daniel.Memang selalunya setiap berbelanja, Rena memintaku untuk menemaninya.Tapi Rena adalah Perempuan yang tahu adab, dia selalu meminta izin pada Daniel setiap ingin membawaku pergi bersamanya.Rena takut mengganggu pekerjaanku. Dia tidak mau semena-mena, meskipun bosku adalah sepupunya."Oke, oke.. kapan aku bisa nolak ajakan kamu?""Bisa! Nanti kalau kamu udah nikah." Aku tertawa kecil. Rena menyeretku. "Thank you." Ucap Rena lirih."Sama-sama." Jawabku.Rena memang perempuan yang sangat bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya. Dia dipaksa mandiri oleh keadaan.Berbeda dengan orang tuanya yang bertahan hanya karena tidak mau karirnya hancur. Bukan karena tanggung jawab pada pasangannya.Rena didewasakan oleh keadaan. Dia tumbuh menjadi wanita yang sangat baik.Aku berjalan bersamanya menyusuri jalanan kampus dari Gedung fakultas satu kefakultas yang lain menuju parkiran.Kami menaiki mobil Rena menuju sebuah mall tempat Rena biasa berebelanja.“So beautiful, anak Mamah.” Aku memeluk Mamah Daniel. Aku mencoba menahan air mata yang ingin jatuh. Memeluk mamah Daniel serasa memeluk Ibuku. Aku merasa sedikit damai dalam pelukannya. “Makasih, Mah. Makasih juga udah mau dateng.” Dia melepas pelukanya dan tersenyum sambil menatap mataku. Mata Mamah Daniel berbinar. Terpancar kebahagiaan disana. Ada perasaan kecewa dalam hatiku atas kebahagiaannya. Kecewa, karena Ia bahagia atas pernikahanku yang bukan dengan anaknya. “Mamah pasti dateng sayang. Kan, yang nikah anak Mamah.” Jawab Mamah Daniel teduh. 'Iya. Mamah Daniel bahagia, karena dia menganggapku anaknya. Ah, aku terlalu berlebihan karena kecewa.' “Mas Di nggak dateng?” Dia Kembali melempar senyumnya. “Dateng, dong.. kalau nggak dateng, gimana kamu nikahnya?” Balasnya. Aku mengernyitkan dahiku. Aku memang berharap Daniel bisa datang, tapi kalaupun dia tidak datang, itu tidak akan berpengaruh apa-apa pada pernikahanku. Aku mengangguk, meskipun aku tidak meng
Untuk Mas Daniel, Daniel, Satu nama yang terpateri dalam hati ini. Terima kasih karena sempat menjadi warna dalam hidupku. Sampai saat ini, aku masih mencintaimu. Sangat. Meski raga ini sudah tak mampu lagi berlari mengejarmu, tapi hati ini senantiasa merindumu. Semua memang sudah terlambat. Aku tidak bisa melawan takdirku.Tapi tak salah bukan, kalau aku berharap, suatu saat takdir berpihak padaku. Aku masih mengaharapkanmu, mas. Meski secuil saja harap adalah sesuatu yang mustahil. Tapi, bukankah berawal dari kemustahilan mencintai dengan derajat yang berbeda sudah kita lewati? Sekarang, aku hampir menjadi isteri orang, dan kamu masih sendiri. Apakah ini juga akan menjadi mustahil? Ah, entahlah! Kamu terlalu dalam untuk aku keluarkan dari lubuk hatiku. Kamu terlalu berkuasa dalam otakku hingga aku tak mampu melupakanmu. Kalau boleh aku bilang ‘aku benci takdirku’. Tapi itu tidak boleh, kan? Karenanya, aku tidak membencinya. Apapun dan siapapun. Selamat tingg
"I love you, Mas." Aku terisak dibahu Daniel. Bahu yang selalu kuharapkan dapat menopang kepalaku saat aku sedih."Love you too, sayang." Jawab Daniel. Malam ini kami sedang duduk bersama diteras rumah Daniel. Aku ingin menghabiskan malamku bersama Daniel.Orang tua Daniel sedang keluar untuk menemui koleganya.Besok, aku harus kembali menjadi Sofi tunangan Salman. Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan pernikahanku atas permintaan Daniel.Daniel memberikan alasan yang masuk akal untuk tidak merebutku dari tangan Salman. Daniel bukan tipikle laki-laki curang dan licik.Dan aku harus bertanggung jawab atas semua keputusan yang kuambil. Sebenarnya, bisa saja waktu itu aku menggagalkan pertunanganku.Tapi aku memilih meresmikan pertunanganku dengan Salman."Mas, udah beberapa hari lagi aku akan nikah sama Salman. Aku akan jadi milik dia Mas." Daniel menatapku. Hatiku sakit melihat mata Daniel yang juga meneteskan air mata."Apapun yg terjadi esok, aku harap kamu akan selalu bahagia sayan
“Ada apa Di?” Samar-amar aku mendengar suara Mamah Daniel.“Sofi sakit, Mah.” Jawab Daniel sambil menggendongku dan berjalan terburu-buru. Daniel membawaku kekamarnya. Kamar Dimana aku meninggalkan Daniel saat dia terbaring lemah.“Kamu nggak apa-apa, sayang?” Tanya Mamah Daniel. wajah yang seiras dengan Daniel inipun sama-sama mengkhawatirkanku. Aku melihat ketulusan mereka menyayangiku.“Nggak apa-apa, Mah. Mamah nggak usah khawatir, yah..” Jawabku menenangkan Mamah Daniel.Aku melihat Daniel yang sedari tadi tidak tenang.“Ini buburnya, Pak.” Maid Daniel mengantarkan mangkuk berisi bubur pada Daniel.“Makasih, Bi.” Daniel meraih mangkuk itu dan menghampiriku. “Makan dulu ya, sayang.” Ucap Daniel. Aku melirik Mamah Daniel. Aku malu Daniel memanggilku sayang didepan Mamahnya. Aku mengangguk dan membuka mulutku saat Daniel menyuapiku. Entah kenapa aku bisa jatuh ketangan Salman, padahal begitu lebarnya jalan untukku masuk kekeluarga Daniel.Aku sangat yakin, ini bukan takdir. Mela
Seusai meeting, semua staff keluar dari ruang meeting. Aku tidak benar-benar fokus pada meeting hari ini."Rena nggak masuk lagi, Mas?" Tanyaku pada Daniel. Aku tidak melihat Rena sedari pagi. "Begitulah." Jawab Daniel yang masih sibuk memeriksa kertas-kertas laporan hasil meeting. Aku masih duduk terpaku melihat Daniel sambil berfikir keras bagaimana cara menggagalkan penikahanku tanpa menyakiti dan membuat malu pihak manapun. Selain itu juga, aku teringat bagaimana kemarahan Ayah Salman dan ancamannya terhadapku semalam. Aku takut. Tanganku mulai gematar lagi.Dari semalam aku belum makan. Aku letih memikirkan semuanya.“Sofi.” Daniel menoleh kearahku lalu memanggilku. Aku mencoba menahan semua rasa sakit. “Heii.. kamu kenapa, sayang?” Daniel menghampiriku.Terlihat wajah Daniel nampak khawatir melihat kondisiku. Aku tidak bisa menyembunyikan kondisiku yang lemah. Tapi aku masih berusaha kuat. “Kita pulang, ya.” "Aku nggak apa-apa, Mas. Aku cuma terlalu panik menghadapi semuany
Daniel menghampiriku dan memberikan kotak kecil yang ia ambil dimeja kerjanya. “Buka.” Pinta Daniel. Aku mengambil kotak tersebut dan membukanya. Ada cincin cantik dengan permata hitam diatasnya. Warna favorite kami. “Apa ini?” Tanyaku masih bingung. “Cincin. Cincin ini aku beli buat aku kasih kekamu untuk menyatakan perasaanku sama kamu. Waktu itu, Rena masuk keruangan ini dan dia liat cincin ini. Aku bilang, kalau aku mau melamar kamu. Tapi dia nggak ngizinin aku dengan alasan, kalau kamu nggak suka sama aku. Dia bilang, kamu cinta sama Salman. Dan hampir bertunangan sama dia.” Mataku terbelalak mendengar penjelasan Daniel. sebelumnya, aku sudah bisa menebak, bahwa Rena adalah dalangnya. Tapi aku tidak menyangka, sejauh ini dia menipu kami. “Oke, satu lagi yang masih jadi teka teki dan sampai sekarang Mas belum ngasih tahu aku. Mas inget kan, waktu aku masih kerja dirumah Mas sebagai maid? Waktu itu Mas pergi ke Turki. Dan sepulang Mas dari Turki, Mas marah dan nuduh