Mencari Kebenaran
Peristiwa kecelakaan yang menjadi penguak fakta. Raya mendapati golongan darahnya tidak sama dengan ayahnya, juga ibu kandungnya. Raya merahasiakan semua temuannya itu, dan bertekad mencari tahu kebenarannya sendiri dengan caranya sendiri.Dia berkenalan dengan Devon, salah satu perawat di rumah sakit itu. Berusaha mencari informasi sebanyak mungkin mengenai ibu Rahma, namun sayang, informasinya benar benar terbatas.Raya keluar dari ruang perawatan ibu Rahma, dia terlihat menutup pintu kamar perawatan itu, menghela nafas panjang, dengan ekspresi kekecewaan tinggi."Kamu tidak berhasil? sudah kuduga, setidaknya aku senang karena kamu akan terus datang," ucap Devon."Ayo ke Kantin, aku akan mentraktirmu makan dan minum," ucap Devon seraya berjalan ke arah kantin, dia terus menunjukkan ekspresi ajakan, berharap Raya akan mengikuti langkahnya. Sekali lagi Raya menghela nafas, lalu berjalan mengikuti langkah Devon."Menyerahlah, kamu harus menyerah," ucap Devon yang sudah duduk di salah satu kursi yang ada di kantin, berhadapan dengan Raya."Aku sudah sering mengatakan ini, aku tidak akan menyerah," ucap Raya."Carilah pekerjaan pasti, kamu pengantar makanan bukan? pekerjaan itu lebih cocok daripada seorang detektif, sudah menyerahlah," ucap Devon."Ya, semua pekerjaan aku jalani selama tidak menyusahkan orang lain," ucap Raya yang masih merahasiakan mengenai tujuan aslinya terus menemui ibu Rahma."Aku tahu, kamu wanita yang tangguh," ucap Devon."Aku pernah melihatmu di toserba yang ada di alun alun, cukup lama aku mengamatimu, ternyata itu benar benar kamu," ucap Devon. Dia terlihat menerima semangkuk mie rebus dan meletakkan di meja persis berada di hadapannya."Aku bekerja di sana setiap jam empat hingga sebelas malam, kamu bisa mengunjungiku," ucap Raya."Ah tidak, aku harus membeli sesuatu jika mengunjungimu disana," ucap Devon."Ya, itu namanya tata krama, kamu tidak boleh masuk ke dalam rumah makan jika tidak ingin membeli makanan, begitu juga dengan toserba," ucap Raya yang terlihat juga menerima semangkuk mie rebus yang dipesannya."Devon, ceritakan padaku, apa yang kamu ketahui mengenai ibu Rahma?" Tanya Raya. "Aku tidak terlalu mengenalnya, aku baru bekerja dua tahun di sini, mungkin kepala perawat lebih mengetahuinya karna dia sudah bekerja di sini waktu ibu Rahma juga bekerja di rumah sakit ini,” ucap Devon."Apa kamu sama sekali tidak mendengar apapun?" telisik Raya, dengan wajah penuh harap dia akan mendapatkan sebuah informasi.“Ibu Rahma dulu bekerja di rumah sakit ini, hingga pensiun, aku tidak mengenal keluarganya, tidak ada yang mengunjunginya. Dengar dengar dia dulu adalah bidan senior yang galak, ya hanya seperti itu," penjelasan Devon mengenai ibu Rahma."Aku akan membuatnya menyerah, dia harus memberitahu informasi penting itu, harus," ucap Raya dengan sangat yakin."Ini sudah tiga bulan, sepertinya kamu hanya menyia nyiakan waktu," ucap Devon seraya menyantap mie rebusnya."Tidak ada yang sia sia, aku akan terus berusaha meyakinkannya. Apa menurutmu dia sudah sembuh? aku melihatnya cukup normal seperti orang yang tidak mengidap demensia," ucap Raya."Ya sebenarnya dia sudah lumayan sembuh, tapi tetap saja penyakit itu tidak bisa disembuhkan, apalagi dia sudah cukup tua, lebih dari enam puluh tahun. kepala rumah sakit memutuskan membiarkannya tetap berada di sini sebagai apresiasi karena dia sudah mengabdikan hidupnya untuk rumah sakit ini," ucap Devon."Kasian sekali," ucap Raya.“Boleh aku Tanya sesuatu?” Tanya Devon.“Ya, tentu saja,” ucap Raya.“Informasi apa yang sebenarnya kamu cari?” Tanya Devon.Raya terlihat menatap Devon dengan pandangan tajam, lalu tiba tiba keningnya berkerut.“Informasi yang sangat penting, untuk keberlangsungan hidup seorang anak,” ucap Raya.“Hmmm, baiklah, aku mengerti, kamu tidak bisa memberitahuku,” ucap Devon.“Ya, nanti, suatu saat nanti,” ucap Raya seraya tersenyum.Mereka berdua melanjutkan makannya, menikmati mie rebus yang mereka pesan. Mie rebus dengan beberapa potongan cabe pedas, sungguh sangat menggugah selera.Raya memutuskan untuk pulang, Devon menemaninya berjalan menuju ke arah parkiran motor. Tiba tiba ada seorang pasien wanita menabrak tubuh Raya, dia berlari dari dalam rumah sakit, seperti hendak melarikan diri."Pembunuh, kamu membunuh anakku, kembalikan anakku, kembalikan, kamu pembunuh, dokter pembunuh," ucap wanita itu."Kembalikan anakku," teriaknya.Melihat hal itu Devon berusaha menjauhkan Raya dari wanita itu. Devon memanggil bantuan untuk sesegera mungkin mengamankan wanita setengah baya yang merupakan pasien di sana."Kamu tidak apa apa?" tanya Devon pada Raya."Ti-tidak," ucap Devon gugup.Tiba tiba keringat dingin bercucuran, Raya mulai tidak bisa mengendalikan dirimu. Raya mengalami serangan panik (panic attack), rasa takut atau gelisah mulai muncul."Raya, kamu tidak apa apa," ucap Devon. Pandangan mata Raya mulai tidak jelas, dia gugup, bingung dan takut dengan segala yang ada di sekitarnya."Tenanglah Raya, tarik nafas panjang, tenangkan dirimu," ucap Devon.Tiba tiba lintasan ingatan muncul di kepala Raya. Kejadian yang sama, ketika dia mengalami serangan panik (panic attack), di sebuah rumah sakit."Raya, tenanglah, ambil nafas panjang, lihatlah sekelilingmu, semuanya baik baik saja," ucap seseorang di lintasan ingatannya."Bayangkan langit biru yang indah, bayangkan pohon hijau yang menyegarkan, mereka begitu indah, tidak perlu ada yang kau khawatirkan, semuanya akan berlalu, tarik nafas yang panjang," ucap seseorang itu lagi.Raya menekan dadanya, ingatan itu semakin membuatnya sesak."La-langit biru yang indah, po-pohon hijau yang menyegarkan, mereka begitu indah, tidak ada yang perlu aku khawatirkan," bisik Raya pada dirinya sendiri."Raya, tenanglah, ambil nafas panjang, bernafaslah dengan tenang," ucap Devon.Devon berusaha keras untuk menyadarkan Raya, memeluknya, menenangkannya.Raya mulai mengatur nafasnya, supaya serangan panik ini tidak berlanjut, membuatnya tidak bisa melakukan apapun, bahkan untuk bernafas saja itu tidak mudah."Aku akan mendapatkan kebenarannya, dia harus menceritakan semuanya," ucap Raya."Aku akan memaksamu, akan memaksamu," bisik Raya yang masih berada di pelukan Devon, lalu dia memejamkan mata dan tidak sadarkan diri.Di rumah Raya, terlihat Rohaya memunguti potongan demi potongan piring keramik yang dilemparnya tadi."Aku sudah menginvestasikan seluruh uangku, kamu akan menjamin hidupku di masa depan juga masa tuaku kelak, seharusnya kamu tidak membuatku kecewa. Kamu harus mengurus ayahmu, mengurusku, melebihi dirimu sendiri," ucap Rohaya, ibu tiri Raya, terlihat sangat kesal.“Ah, apa aku carikan saja dia jodoh, juragan tanah, ya, itu lebih baik, dia bias lebih berguna,” guman Rohaya.“Anak yang keterlaluan, sudah enak jadi dokter kenapa juga mesti mencari pekerjaan lain. Jadi pramuniaga, pelayan restoran, tukang bersih bersih, wah, sungguh sangat tidak elilt, menjijikkan,” gerutu Rohaya.“Percuma saja cantik jika tidak bisa mendapat pria kaya,” ucap Rohaya yang terlihat mengamati dirinya sendiri yang diyakini sangat cantik dan mempesona.Bersambung...Akhir KisahRaya melihat ada dokter Edo berdiri di belakang wanita itu, wanita cantik yang baru pertama kali dilihatnya.“Raya, apa bisa kita bicara sebentar? Kita bicara di ruangan sebelah,” ucap radit yang ternyata juga ada di sana.“Ada apa?” tanya Raya bingung. Jelita segera melepaskan pelukannya. Mau tidak mau Raya mengikuti langkah Radit, dokter Edo dan wanita yang belum dia kenal sebelumnya.Raya dan ketiga orang itu sudah masuk ke sebuah ruang perawatan kosong, persis di sebelah ruang perawatan ayah Raya. Jelita kembali memeluk Raya, dia benar benar tidak bisa menahan diri.“Maafkan ibu, ibu hanya merindukanmu,” ucap Jelita.“Kalian harus bicara bertiga, saya akan meninggalkan kalian di sini,” ucap Radit yang kemudian dia segera keluar meninggalkan mereka bertiga.Jelita melepaskan pelukannya, dia menatap wajah Raya dengan begitu penuh rasa.“Dia adalah istri saya, namanya Jelita,” ucap pak Edo mengenalkan wanita yang sedari tadi memeluknya. Raya mengangguk ragu, juga mengula
Usaha RayaMendengar hal itu, Radit tersenyum, ya, ini adalah sesuatu yang dia tunggu.Radit mengantar Raya pulang kembali ke apartemennya. Setelah mobil berhenti di depan apartemen, Radit juga ikut turun. Radit mengantar Raya hingga ke dalam apartemen.“Pulanglah,” pinta Raya. Radit tidak bergerak sedikitpun. Setelah mereka masuk ke dalam apartemen, Radit terlihat menarik tubuh Raya, Radit memeluk Raya, lalu menjatuhkan bibirnya ke bibir Raya.Dalam situasi ini, entah kenapa hati raya yang tadinya seperti menyimpan es, lambat laun es itu mencair. Raya meneteskan air mata, rupanya dia masih begitu menyayangi Radit, mencintainya, dan dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Raya membalas ciu-man Radit, ciu-man yang mulai terasa hangat, penuh dengan cinta.***Sejak malam itu, Raya mulai berusaha bekerja sebaik mungkin, walaupun dia harus belajar keras, mulai dari awal, seperti layaknya mahasiswa baru. Dia tidak menyangka akan kembali ke tahap ini, rutinitas yang sudah dia tinggalkan
Sebuah PermintaanRaya terlihat begitu cantik, iya, sangat cantik sekali dengan balutan dress warna cream, panjang selutut. Dress itu sengaja di siapkan oleh Radit, diletakkan di sofa apartemennya, lalu dia menulis pesan “Untukmu, semoga aku melihatmu memakainya,” tulis Radit yang kemudian menempelkan memo itu di atas sebuah kotak berisi dress cantik itu.Raya menunggu Radit, di depan apartemen.“Cantik,” gumam Radit ketika turun dari mobil sport yang dikendarainya sendiri.Raya berjalan ke arah Radit, dengan senyum, lalu tiba tiba senyum itu memudar.“Apa aku harus memakai pakaian seperti ini? Yang benar saja,” ucap Raya kesal.“Ah kamu ini, baru saja aku mengatakan kamu cantik, anggun sekali, rupanya macan putih tetap saja macan putih,” ucap Radit.Raya kemudian masuk ke dalam mobil Radit.“Kita mau ke mana?” tanya Raya.“Panggil mas dulu,” ucap Radit.“Apa?” tanya Raya.“Ya, aku sudah lama tidak mendengar kamu memanggilku mas, aku ingin mendengarnya. Bukankah itu panggilan sayangmu
Seorang Ayah Di sebuah ruangan, terlihat dua orang laki laki setengah baya tertawa bersama, mereka larut dalam perbincangan hangat dan menyenangkan, rupanya mereka adalah pak Hartawan, dokter spesialis jantung yang sekarang memutuskan untuk bekerja dari balik meja dan yang satunya adalah dokter Edo, ya, dokter kepala sebuah rumah sakit swasta di Yogyakarta. Dia baru saja mendarat, mereka baru bertemu sepuluh menit yang lalu.“Aku tidak menyangka kamu akan mengunjungiku, sudah dua tahun lebih kita tidak bertemu,” ucap pak Hartawan.“Iya, sepertinya aku akan sering mengunjungimu,” ucap dokter Edo.“Wah, benarkah, tentu itu akan sangat menyenangkan, kita bisa mengingat masa muda kita, atau kita bisa mengunjungi teman teman kita,” ucap pak Hartawan.“Kamu dulu terkenal sebagai senior yang sangat keras, banyak anak baru yang membencimu, termasuk aku,” ucap dokter Edo yang kemudian tertawa lepas.“Ya, begitulah, tapi tetap aku adalah senior paling digilai,” ucap pak Hartawan yang kemudian
Harapan CintaRaya, pak Bondan dan Rohaya sudah sampai di bandara Soekarno Hatta, bandara di Jakarta. Raya dan keluarganya keluar ke arah lobby bandara. Di sana sudah ada Radit yang menunggunya, Radit hanya mengulaskan senyum, senyum yang menyimpan berbagai rasa yang semuanya adalah rasa bahagia.Raya mengulaskan senyumnya, dalam kebingungan setidaknya dia masih memiliki setitik harapan dan orang yang bisa membuatnya bergantung.“Om, tante,” sapa Radit pada ayah dan juga ibu tiri Raya.“Wah, calon menantu,” bisik Rohaya pada pak Bondan.“Hust, jangan begitu bu, nanti Raya malu,” ucap pak Bondan.“Terimakasih ya Radit,” ucap Rohaya.Raya terlihat melihat mengarahkan matanya pada Rohaya, sedikit melotot, berharap Rohaya bisa mengerem sedikit mulutnya.“Mobil saya sudah siap,” ucap Radit.“Di sebelah sana,” lanjut Radit.“Supir saya akan membantu membawa koper bapak dan ibu,” lanjut Radit seraya melihat ke arah koper koper yang sudah ada di troli barang.“Te-terima kasih,” ucap Raya.“Ti
Perjalanan Dalam HarapanRaya dan Rohaya terlihat membantu pak Bondan turun dari taxi, sedangkan Devon dan Marry membantu menurunkan beberapa koper dari bagasi mobil taxi.“Terimakasih,” ucap Raya setelah Devon dan Marry mengeluarkan semua koper dan tas besar mereka.“Aku bantu sampai dalam,” ucap Devon.Mereka semua segera masuk ke dalam bandara.Pak Bondan, Raya dan Rohaya akan segera ke Jakarta, kondisi pak Bondan sudah stabil, sudah bisa melakukan perjalanan jauh.“Apa kamu dan keluargamu akan menetap?” tanya Devon pada Raya yang saat itu terlihat begitu cantik, dengan kemeja putih, celana jeans biru muda juga dipadukan dengan tas tangan berwarna hitam, sungguh pemandangan yang jarang terlihat dari Raya yang selama ini berpenampilan maskulin. Hanya saja dia tetap memakai sepatu kets berwarna senada dengan celananya.“Aku belum tahu, tapi pasti akan lama,” ucap Raya.“Aku akan mengunjungi kalian, jaga diri baik baik di sana,” ucap Devon.Marry terlihat menggerakkan bibir, menampilk