"Eh eh, lo lo pada ada yang liat tas gue dimana nggak?"
"Eh, lo liat tas gue nggak!"
"Lo liat nggak?"
"Nggak ya? Aduh dimana dong?"
"Masa nggak ada yang liat sih?"
Sekarang ini Adelia tengah sibuk menanyakan keberadaan tasnya pada beberapa orang teman di kelas. Belum lama tadi bel telah berbunyi dan jadwal pelajaran saat ini Biologi dimana hari ini semua harus sudah mengumpulkan tugas makalah yang diberikan oleh Pak Darmawan seminggu yang lalu. Dan masalahnya, makalah itu ada di dalam tasnya yang hilang entah kemana.
Adelia berkacak pinggang di sebelah bangku
Adrian berdiri dengan bersender di samping motor Ninja ungunya. Sesuai dengan perjanjian tadi, kalau ia akan menunggu Adelia di parkiran. Sembari mengunyah permen karetnya, cowok itu mengedarkan pandangannya ke semua arah. Menelusuri dimana satu cewek diantara murid-murid yang berlalu-lalang di area parkiran itu.Tepat saat Adrian menoleh ke satu arah, ia melihat Adelia bersama Friska dan seorang cowok yang belum ia kenali sebelumnya. Mereka berjalan bersama dengan diiringi canda tawa yang renyah. Dan sesaat setelah mata Adelia bertemu dengan mata Adrian di samping motornya itu, tawanya luntur sudah, berganti dengan wajah datar. "Kita belajar di rumah gue aja ya! Gue males kemana-mana!" seru Adrian begitu Adelia, Friska dan Dicky telah berhenti di hadapannya.
"Rumah lo kok sepi banget ya? Ada orang nggak sih di dalem?" Adelia terheran-heran memperhatikan rumah yang begitu besar dan luas tetapi terlihat sepi tanpa penghuni. Adrian segera turun dari motornya dan menghampiri Adelia. "Setiap hari emang selalu kayak gini rumah gue! Soalnya bonyok di luar negeri dan gue disini tinggalnya ya cuma sama beberapa pembantu dan tukang kebun gue doang! Miris nggak sih? Tapi, ya udah lah, nggak penting! Masuk yuk!" tuturnya kemudian berjalan dahulu.Adelia pun menatap punggung cowok itu yang kini tengah berjalan di beberapa undakan untuk menuju pintu utama. Adelia tidak tahu bagaimana jadinya dirinya kalau berada di posisi Adrian yang hidup tanpa kasih sayang dari orangtua itu. Sedikit rasa kasihan pun muncul di dalam hati Adelia.
FRESH. Kesan pertama yang Adelia lihat dari sosok Adrian, juniornya yang belum pernah ia kenali sebelumnya itu. Dengan rambut yang masih sedikit basah karena habis keramas dan juga pakaian santainya, yaitu kaos oblong yang memperlihatkan lengan berotot nya dan celana jeans hitam sedengkul, yang melekat di tubuh six spack nya itu, Adrian berjalan menuruni tangga sembari mengusap-usap rambutnya, membuat titik-titik air bekasnya keramas itu pun tersirat ke samping kepalanya.Tapi, Adelia hanya cuek bebek saja, tetap duduk tanpa mengubah posisinya betopang dagu dengan bantal sofa di pangkuannya. Sampainya Adrian di ruang tamu tempat Adelia menunggu, cowok itu langsung duduk pada sofa panjang dan meletakkan buku-buku yang ia bawa diatas meja. "Kita belajar apa?" tanya Adelia datar.Adrian pun menolehkan kepalanya kearah Adelia, "Menurut gue, ada baiknya kalo kita kenalan dulu deh! Walaupun udah tau nama satu s
"Tolong .. Jambret!! Tolong .. Jambret!! Tolong .. Ada jambrett!!"Sebuah teriakan khas ibu-ibu dari satu arah terdengar sampai gendang telinga Reno, membuat pemuda yang sedang dalam perjalanan pulang ke rumahnya itu langsung menghentikan laju motornya yang semula berjalan berkecepatan sedang, dan mengedar kan pandangannya ke sumber suara.Tepat di satu titik-di depan sebuah toko kue-Reno menemukan seorang wanita paruh baya tengah menjerit meminta tolong, juga dua orang laki-laki berpakaian seperti preman tengah berlari dengan terbirit-birit menuju kearahnya, dengan salah satu dari mereka yang menenteng sebuah tas.Dengan cepat, Reno melepas helm dan turun dari motor gedenya itu lalu berkacak pinggang dan mengangkat sedikit kaki kirinya membentuk sudut 45° bermaksud untuk membuat satu dari mereka terjatuh. Reno dengan santai bersiul dan seolah-olah sedang melihat-lihat sekitarnya. Dan benar saja, saat preman it
"Nak Reno, kamu duduk duduk dulu disini ya! Tante mau ke belakang dulu!" Marissa berkata sembari menduduk kan Reno pada sofa panjang ruang tamu itu kemudian berjalan ke arah dapur untuk memanggil pembantu nya. "Bikk .. Bibik .." teriaknya."Iya, Nya!" jawab pembantu itu dengan sebuah spatula di tangannya. "Tolong siapin air es sama handuk kecil, terus bawa ke depan ya! Cepet!" kata Marissa cepat sembari membuka pintu kulkas dan mengeluarkan sebotol air putih dingin kemudian dituang pada gelas. "Baik Nya!" jawab pembantu itu.Sembari menunggu Marissa yang berada di dapur, Reno mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang tamu itu. Dan saat ia melihat di dinding, ternyata ada sebuah foto keluarga disana. Ayah, ibu, dan satu gadis kecil ditengahnya. Beberapa saat, Reno memperhatikan foto gadis kecil itu, ia seperti mengenalnya. Mulai dari wajah, gaya tomboy, sampai senyum nya benar-benar familiar di mata Reno. Tapi siapa? Reno mengernyit
Nada dering panggilan berbunyi berkali-berkali dalam tas Adelia, membuat gadis yang tengah belajar dengan Adrian itu pun mengangkat kepalanya dari buku yang dipegangnya dan mengambil ponselnya dalam tas itu."Aduh, gue masih nggak ngerti nih! Gima---" gumam Adrian terpotong."Bentar, nyokap gue telfon!" Adelia langsung menggeser dial phone warna hijau itu dan mendekatkan ke telinganya."Hallo Mah!" sapa Adelia sembari menolehkan kepalanya keluar."Hallo Adel? Kamu kemana sih nak? Kok belum pulang juga? Langit udah mendung loh! Kamu pulang sekarang yah, keburu hujan!" kata Marissa di seberang.Adelia yang melihat cuaca hampir gelap itu pun mengiyakan ucapan Marissa, "Iya deh, Ma! Aku pulang sekarang! Lagian aku juga udah selesai kok!" putusnya."Tapi kamu naik apa? Apa perlu mama suruh Mang Diman aja bua
MALAM ini diluar sedang turun hujan, tidak terlalu deras juga tidak disertai petir dan gledek, hanya hujan ringan. Membuat udara menjadi agak dingin dan menusuk tulang. Dan dengan ditemani gitar kesayangan dan segelas white coffee panas itu, Adelia duduk di sofa yang memang terdapat pada balkon kamarnya, memandangai rinai hujan yang turun dengan keroyokan itu."Woyy sendirian aja lo? Kasian banget, lagi ngelamunin gue ya?" ledek Dicky yang baru saja melompat dari balkon kamarnya, karena letak kamar mereka yang memang bersebelahan.Adelia menatap malas cowok di depan nya itu, lalu menegakkan posisi duduk nya, ia merasa bosan sekali mendengar kenarsisan Dicky yang tak ada habis nya. "Resek banget sih lo! Ngapain gue ngelamunin lo? Kerajinan banget! Kayak nggak ada kerjaan lain aja!"Dengan kekehan kecilnya, Dicky pun langsung duduk di samping Adelia dan seketika pandangannya jatuh pada gelas bermoti
"MEMASUKI tahun 1945, posisi Jepang menghadapi Sekutu semakin tidak menguntungkan. Tanda-tanda bahwa Jepang akan kalah perang sudah mulai terlihat. Pendaratan Sekutu di Irian pada bulan April dan jatuhnya Pulau Saipan pada bulan Juli 1944 telah mengancam kedudukan Jepang di Indonesia. Maka, untuk mempertahankan diri dari Sekutu, Jepang tidak mempunyai cara lain kecuali dengan meningkatkan bantuan kekuatan dari rakyat Indonesia."Pak Benni berdiri tegap di depan kelas, menerangkan materinya sebaik mungkin dengan mengacu pada buku cetak yang tebalnya kurang lebih 5 cm di tangannya. Suasana kelas yang tercipta pun selalu hening setiap guru itu mengajar, karena predikat killer yang melekat di dirinya. Semua murid harus disiplin, fokus dengan yang beliau sampaikan, karena ketika diberi pertanyaan, semua harus bisa menjawab. Bahkan terkadang beberapa murid sampai menguap karena bosan mendengarkan ocehannya, kebanyakan mereka berpendapat bahwa cara mengajar guru itu sa