Bantu jawab gaes ... Yuk, yuk ... yang mau kasih GEM waktu dan tempat dipersilakan ya...
Apa yang Dita katakan sebelumnya seakan tak lebih dari gertakan semata. Hingga kini, tak ada panggilan resmi atau surat pemanggilan hukum yang ditujukan pada Kinara. Hari-hari terus berganti, minggu pun berlalu. Dalam kurun waktu itu, Fany menunjukkan perubahan yang menggembirakan. Ia mulai membuka diri terhadap kehadiran Kinara dan Aditama. Ketegangan di matanya mulai memudar. Sorot curiga itu kini digantikan dengan keteduhan. Ia belajar mempercayai—dan yang terpenting—merasa dihargai.Interaksi mereka tak lagi kaku. Fany bahkan tak keberatan saat Kinara menyentuh rambutnya untuk membenarkan poni atau saat Aditama menepuk bahunya dengan lembut. Kedekatan yang dahulu terasa mustahil kini tumbuh dengan perlahan. Saat waktunya tiba, Fany akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Ia tinggal bersama Kinara dan Aditama di apartemen, menempati kamar mungil yang dulu adalah ruang kerja Aditama. Pria itu dengan senang hati menyulap ruangannya menjadi tempat yang nyaman, lengkap dengan g
“Kamu terlalu gegabah, Dita. Tidak ada strategi,” ucap kekasihnya dengan nada dingin.“Aku akan lakukan apa pun. Fany itu emas.” Mata Dita membara, penuh obsesi.“Tapi lawanmu kali ini bukan orang sembarangan. Meski ipar-mu itu berdiri di atas kakinya sendiri tanpa sokongan kekuasaan keluarganya, tapi dia bukan tipe yang membiarkan orang mengacaukan keluarganya.”“Justru istrinya yang mengacak hidupku!” Dita berseru, napasnya tersengal oleh amarah. “Sudah punya segalanya, masih juga serakah menginginkan Fany. Harusnya dia tetap jadi Kinara yang dulu—polos, tidak tahu apa-apa. Sejak kapan dia berubah? Sejak kapan dia jadi begitu ambisius dan serakah?”“Tapi tetap hati-hati, kamu masih berada dalam pengawasan sanksi administratif.”Dita mengangguk patuh—duduk di samping kemudi mobil dengan senyum puas mengembang di wajah. Dia memiliki beberapa bukti—foto dan video yang sangat menguntungkannya, serta dokumen yang sudah dimanipulasinya dengan cermat. Ada pula beberapa bukti pendukung yang
Sudah tiga hari berlalu sejak Kinara menemukan Fany dalam keadaan mengenaskan di pinggir jalan. Sejak hari itu pula, dunia Fany berubah—penuh ketakutan. Trauma itu begitu mengakar, hingga setiap suara langkah di koridor rumah sakit pun membuat gadis kecil itu meringkuk di sudut ranjang. Setiap kali suster datang memeriksa, Fany hanya diam, menarik selimut sampai ke dagu dan menatap nanar. Sungguh menyedihkan.Ia bahkan belum mau berbicara dengan Kinara. Kinara hanya bisa melihat sang adik dari balik dinding kaca saja.Setiap kali Kinara masuk ke kamar, Fany hanya memalingkan wajah—meminta sang kakak pergi. Kinara mencoba mengerti. Ia tidak marah, tidak tersinggung. Tapi tetap saja, ada perih luar biasa yang menggurat di dadanya."Fany masih tidak mau bertemu denganku, Mas,” lirihnya, menatap kosong ke depan sana—saat mereka duduk berdua di taman rumah sakit.Satu-satunya orang yang bisa membuat Fany berbicara adalah psikolog anak yang ditunjuk oleh rumah sakit.“Dia butuh waktu, Sayang
“Ampun … Kak …,” katanya menutupi wajahnya. Kinara membeku.Aditama sedikit menjauh memberi ruang untuk kakak dan adik itu.Tangan Kinara terangkat setengah, lalu turun perlahan mengusap lengan sang adik. “Fany … kenapa kamu seperti ini?” suaranya pelan, hampir putus asa.Fany mundur beberapa langkah—masih enggan menatap siapa lawan bicaranya.“Fany … ini Kak Ara,” lirihnya membuat sang adik mengangkat pandangannya.Matanya menatap Kinara tak percaya. Tubuhnya memeluk diri, seperti melindungi dari sesuatu yang sangat menakutkan.Air mata Kinara jatuh melihat langsung bekas pada tubuh sang adik yang sebelumnya hanya melihatnya dari foto saja. Bekas itu memang hampir sembuh, tapi ada beberapa luka baru. Termasuk sudut bibir Fany yang pecah dan mengeluarkan darah.“Kak Ara …,” panggilnya memeluk sang kakak. “Aku … aku nggak mau disakiti,” gumamnya lirih. “Aku takut, Kak.”“Siapa yang nyakitin kamu?” tanya Kinara, suaranya mulai tercekat.Namun sesaat kemudian Fany melepas pelukannya. Ia h
Kinara mencoba menghubungi Dita, tapi tidak ada respons. Ia lalu memutuskan mendatangi rumah sang kakak, tapi rumah itu pun tampak kosong. Tak punya pilihan lain, Kinara meminta bantuan Dito untuk menghubungi sang kakak.Dari informasi yang Dito peroleh, Dita dan Fani memang sedang tidak di rumah karena tengah liburan, sekaligus mencari sekolah baru untuk Fani. Sekolah yang lebih dekat dengan tempat Dita bekerja, usaha kafe bersama kekasihnya.Meski akhirnya Kinara tahu bahwa sang adik dalam keadaan baik, hatinya tetap tidak tenang. Dita sama sekali tak mengizinkan Kinara bertemu dengan sang adik, apa lagi memberitahu keberadaan mereka.Dito juga sempat mengatakan bahwa ia akan turun ke Bandung, kalau Dita berbuat macam-macam terhadap adik mereka. Namun Dita hanya menjawab tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena Fany tengah menikmati waktu libur sekolah.“Jadi, apa kata Dito?” tanya Aditama sambil memeluk Kinara di atas ranjang menjelang tidur.“Mereka liburan, Mas. Tapi yang aku ngg
Mata Kinara membulat tak percaya saat membuka foto yang ada di hadapannya.Tangan Kinara bergetar. Dadanya sesak. Nafasnya tercekat.Foto itu menampilkan Fany, tapi yang menjadi perhatian Kinara wajah sang adik, melainkan bekas-bekas lebam keunguan yang tampak jelas di bagian paha yang sedikit terbuka dari balik rok seragam. Ada pula guratan biru di lengan dan perut yang terekam samar dari sisi kamera.Kinara menutup mulutnya dengan tangan, tubuhnya gemetar. Matanya mulai berkaca-kaca sebelum akhirnya bulir air mata jatuh satu per satu, menyisakan sesak yang tak tertahankan.Ia menggeser silde selanjutnya dengan foto yang sama, tapi dengan jarak lebih dekat. Foto itu diambil beberapa hari terakhir saat Fany. Karena wali kelas lebih sering bertukar kabar Fany dengan Nana, saat sang asisten itu membesuk Fany. Wali murid tersebut memberanikan diri memberitahu hal itu.“Mas ... itu Fany?” Suara Kinara pecah, tangisnya tak bisa lagi dibendung. “Lihat, Mas! Di pahanya ... lengan ... bahkan—”