Ucapan Carlo seperti terus terngiang di telinga Siena. Cerita itu memang sesuai dengan cerita ibunya selama ini, bagaimana ibunya bertemu dengan ayahnya di Gotemba. Namun apakah itu artinya dia harus memercayai Carlo?
"Aku bahkan tak pernah tahu nama ayah kandungku. Bagaimana kamu bisa yakin… kalau kamu tidak salah orang? Dan bagaimana kamu bisa berharap aku percaya pada ceritamu?" Akhirnya Siena membuka mulutnya. Pikirannya terlalu kacau. Dalam situasi seperti ini, menyangkal adalah hal yang jauh lebih mudah dilakukan.
"Kamu Siena Mori, anak dari Sakura Mori bukan? Waktu Papa bertemu ibumu, dia masih sedang kuliah tahun kedua sebagai perawat. Kemudian kalian pindah ke Los Angeles saat usiamu baru sepuluh tahun. Kamu kuliah jurusan jurnalistik, dan bekerja sebagai kolumnis di media online Angels Daily selama dua tahun. Dan usiamu saat ini dua puluh empat tahun."
Ini kedengaran mulai menakutkan bagi S
"Jadi kamu mau bertemu dengan Papa?" ulang Carlo. Suaranya terdengar gembira. "Ya, aku ingin bertemu dengannya…," cuma itu yang diucapkan Siena. Carlo seperti sedang menimbang-nimbang. "Baiklah…. Sebenarnya Papa minta aku yang ketemu kamu duluan, karena dia sendiri sangat gugup. Dia bukan pria yang banyak bicara. Dan dia takut kalau kamu tak bisa menerimanya." "Biar aku sendiri yang putuskan setelah bertemu dengannya," Siena mencoba untuk terdengar tegas, biarpun jantungnya mulai berpacu kencang. Dia tak tahu apa yang diharapkannya, tapi dia sudah cukup mendengar cerita Carlo. Saatnya menghadapi kenyataan. Carlo memberi isyarat pada Siena supaya berdiri dan mengikutinya. Mereka keluar dari ruangan itu, berjalan melewati koridor panjang yang di kiri kanannya terdapat taman. Karena sudah gelap, Siena tak bisa melihat sampai ke ujung taman, tapi yang jelas rumah itu sangat besar d
Alfonso menatap dengan mata menyala saat kedua pria itu makin mendekat. Lampu dari gerbang villa menyorot wajah mereka dengan jelas. Mereka memakai mantel panjang dan kacamata hitam. Alfonso curiga. Mereka juga mungkin membawa senjata di kantong mantel mereka, dilihat dari bentuk kantong mantel itu. Ia mengepalkan kedua tangannya, rahangnya menegang, seluruh indera tubuhnya waspada. Salah satu pria yang berkepala plontos mengangkat tangan sambil menyapa, "Selamat malam, Tuan. Kami sudah menunggu Anda dari tadi. Kami datang ke sini untuk mengabari Anda kalau Nona Siena Mori baik-baik saja. Saat ini dia sedang berada di suatu tempat yang aman. Kami akan kembali lagi ke sini besok pagi untuk menjemput Anda, dan membawa Anda bertemu Nona Mori." 'Apa katanya?!' Alfonso membatin. Darah di seluruh tubuhnya seketika mendidih. Enak saja pria berengsek itu bicara begitu, sedangkan dia sudah susah payah mencari Siena dengan panik ke
Alfonso mengira telinganya salah dengar. Tapi Siena terus menatapnya dengan wajah serius. "Apa katamu? Keluarga?" Siena mengangguk pelan. "Iya, Alf…. Maaf, aku tak bisa segera hubungi kamu. Tapi ponselku ada di salah satu dari mereka, Pino atau Dino," sambungnya, sambil menunjuk bergantian ke arah kedua pria yang bersama Alfonso. "Mereka sedang cari kamu untuk memberi kabar, supaya kamu tak khawatir. Ternyata, aku tak menyangka kalau malah jadi begini…. Please, Alf…. Lepaskan dia…." Bagi Alfonso, menatap mata hazel Siena yang indah adalah salah satu kelemahannya. Siena sudah di depan matanya, apalagi yang dia inginkan selain bertemu Siena? Perlahan ia mengendorkan tangannya yang menjepit leher Pino, dan memasukkan pistol ke dalam saku mantelnya. Pino langsung menarik napas panjang setelah akhirnya bisa bernapas dengan bebas, sambil memegang lehernya yang sudah memerah. Rekannya
Alfonso terbangun karena mendengar bunyi pintu ditutup, tapi bukan dari kamarnya. Itu mungkin Carlo, karena dia tahu pria itu tidur di sebelah kamarnya. Baru jam lima pagi, matanya sudah tak mau menutup. Dia sadar tidurnya kurang nyenyak. Mungkin karena otaknya terus memikirkan banyak hal yang terjadi kemarin.Jadi Siena akhirnya bertemu ayah kandungnya. Dan ayah Siena bukanlah orang sembarangan. Sepertinya tantangannya untuk menaklukkan hati Siena akan bertambah."Makin banyak tantangan, makin menarik," gumamnya sambil tersenyum.Ia bangkit dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Saatnya untuk mencari tahu lebih banyak mengenai tantangan apa saja yang harus dia hadapi."Selamat pagi, Carlo," Alfonso menyapa Carlo yang sedang berdiri di pinggir kolam renang di halaman belakang rumah yang luas."Hai, Alfonso. Tak kusangka kamu bangunnya pagi juga. Atau jangan-jan
Siena melihat Alfonso dan Carlo berdiri berhadapan di dekat kolam renang, sepertinya sedang mengobrol tentang sesuatu yang penting. Wajah mereka terlihat serius. Apa yang mereka obrolkan pagi-pagi begini? Apakah tentang kejadian tadi malam? Siena menghampiri mereka dari belakang. "Alf…? Carlo…?" Alfonso menoleh. Kenapa wajahnya terlihat seperti emosional? Apa ada sesuatu yang mengganggunya? "Cherry…." Siena berjalan mendekati Alfonso. "Maaf, aku tak bermaksud ganggu obrolan kalian. Aku cuma mau beritahu kalau sarapan sudah siap. Alf, aku sampai lupa bertanya semalam. Apa kamu sudah makan? Jangan-jangan gara-gara semua kekacauan yang terjadi, kamu belum sempat makan." Sebersit rasa bangga dan senang muncul di hati Alfonso, karena dia yang ditanyai lebih dulu oleh Siena, bukan Carlo. "Aku memang sudah lapar." Ia melirik Carlo, dengan seulas senyum kemenanga
Dalam perjalanan menuju Panti Asuhan Safe Haven, Siena secara singkat menceritakan semua kejadian tadi malam pada Alfonso, mulai dari dia 'diculik' sampai dengan obrolannya bersama Stefano dan Carlo. "Keluarga mafia?" ulang Alfonso dengan nada terkejut, saat Siena bercerita tentang latar belakang keluarga De Martini di masa lalu. "Bukan mafia seperti yang kamu bayangkan. Mereka tidak lakukan kejahatan," Siena buru-buru menambahkan. "Ya, tapi tetap saja keluarga ayahmu jelas sangat berpengaruh di kota ini. Seharusnya sudah bisa kutebak. Pantas saja jumlah pengawal di rumah ayahmu banyak. Dan mereka bawa pistol." "Itu sebabnya lain kali kamu jangan bertindak nekat lagi seperti semalam. Kalau mereka mafia sungguhan, sama saja kamu cari masalah." "Tapi sepertinya aku sudah kena masalah. Kakak tirimu tak suka denganku," cetus Alfonso sambil tersenyum getir.
Alfonso meraih kedua tangan Siena dan menggenggamnya. "Tentu saja ayahmu menginginkanmu, Cherry…. Aku dengar cerita Carlo, ayahmu tak pernah menikah dengan wanita lain, karena dia cuma mencintai ibumu. Sekarang setelah bertemu kamu, dia pasti ingin menebus semua kesalahannya padamu." "Aku tak mau dia lakukan ini karena rasa bersalah. Aku berharap dia menginginkanku karena… karena rasa cintanya pada Mama. Tapi kenapa aku masih merasa belum siap untuk memanggilnya Papa?" Siena seperti bertanya lebih pada dirinya sendiri. "Semuanya butuh waktu, Cherry. Nikmati saja sebanyak waktu yang kamu butuhkan. Kita tak perlu harus buru-buru pergi dari kota ini. Kita akan tinggal di sini sampai kamu merasa dekat dan nyaman dengan keluargamu. Dan aku akan selalu bersamamu," ucap Alfonso. Siena tersenyum. Saat ini hatinya seakan begitu penuh dengan perasaannya pada Alfonso. Dia makin menyukai pria ini dari hari ke ha
Siena melihat Stefano duduk di sebuah sofa panjang berwarna cokelat di bawah gazebo. Gazebo itu terletak di halaman belakang rumah, dekat kolam renang. Udara malam di awal musim dingin berhembus. Langit tampak bersih tanpa bintang. Saat Siena mendekat, Stefano langsung menoleh memandangnya. "Kemarilah, Siena…," sambut Stefano, tangannya menunjuk sofa di sampingnya. Siena duduk di samping Stefano. Dia baru sadar ada sebuah album foto di pangkuan Stefano. "Ini adalah foto kenanganku bersama Sakura. Aku selalu simpan dengan baik, karena ini satu-satunya yang bisa menghiburku kalau aku merindukannya," ucap Stefano dengan suara pelan. Stefano memperlihatkan album foto itu. Siena mengenali wajah sang ibu waktu masih muda, begitu cantik, penuh semangat, dan ceria. Rambut Sakura yang sebahu terurai indah berwarna hitam, membingkai wajahnya yang oval mungil. Senyu