William yang dilahirkan tanpa energi roh dan mana, membuatnya di kucilkan banyak orang. Tetapi, dia bukanlah orang yang akan menyerah dengan kondisinya itu. William hanya tidak menyadari bahwa dirinya adalah orang yang di lahirkan dengan kondisi khusus yang membuatnya tidak bisa menggunakan energi roh dan mana. Sebuah insiden penculikan yang melibatkan adiknya, membuatnya bertemu dengan seseorang yang mengetahui sejarah para leluhurnya. Dari pertemuan itu William di ajarkan bagaimana menggunakan kekuatan langka yang penggunanya hanya muncul dalam ribuan tahun sekali. Dan kekuatan itu sekarang hanya ada didalam tubuh William. Saat William sudah menguasai kekuatan dalam dirinya, William juga mengetahui sejarah para leluhurnya. Membuatnya tahu serta memahami bahwa ada tugas dan tanggung jawab yang diwariskan para leluhurnya. Dan hanya dia yang bisa melakukannya. Bagaimana kisah petualangan William? Apa saja yang akan dia temui dan lawan? Akankah William sanggup menyelesailan tugas beratnya?
View MoreDi kamar yang sunyi dan remang, kehangatan malam terasa menekan, membungkus mereka dalam suasana yang berat dan penuh ketegangan. Aroma parfum lembut bercampur dengan keringat, menciptakan hawa yang hampir menyesakkan. Tirai setengah terbuka membiarkan sinar bulan samar menerobos masuk, menyoroti seprai yang kusut di atas tempat tidur, yang kini menjadi saksi pergulatan fisik dan emosional di antara mereka.
Tubuh Anya bergetar halus di bawah Valdi, mengikuti irama yang telah berlangsung terlalu lama. Matanya terpejam rapat, dan air mata mulai menggenang di sudut matanya, meskipun bibirnya terkatup rapat. Setiap gerakan Valdi terasa seperti beban yang semakin berat, mendorongnya ke titik di mana ia tak sanggup lagi bertahan. Anya mulai menggelengkan kepalanya perlahan, seolah menolak kenyataan yang tak bisa ia hindari.
"Cukup, Valdi... cukup..." bisiknya, suaranya terdengar serak dan penuh dengan keputusasaan.
Valdi yang berada di ambang puncak kenikmatan, hampir tidak mendengar bisikan Anya di tengah-tengah derasnya sensasi yang meluap dalam dirinya. Namun, gerakan kepala Anya yang menggeleng perlahan menarik perhatiannya. Dia melihat Anya dengan pipi yang sudah basah oleh air mata, kepalanya masih bergerak, seolah memohon agar semuanya berhenti.
Anya menggigit bibirnya untuk menahan isakan yang tak bisa lagi dia bendung. Kedua tangannya mengangkat sedikit, seolah ingin mendorong Valdi menjauh, namun kekuatan itu dengan cepat memudar dalam kelelahan yang mendalam.
"Tolong... cukup," suaranya kini lebih jelas, namun masih diwarnai isak yang tertahan.
Namun, Valdi terlalu tenggelam dalam hasratnya untuk sepenuhnya menyadari kehancuran yang dia sebabkan. Detik-detik terakhir itu terasa seperti keabadian bagi Anya, yang hanya bisa menunggu, dengan perasaan pasrah, sampai semua ini berakhir.
Setelah dua jam bercinta, Valdi mencapai puncaknya dengan erangan yang menggema di seluruh ruangan. Tubuhnya menggigil dalam kenikmatan yang meluap, sementara di bawahnya, Anya terbaring dengan tubuh yang lelah, bergerak tanpa semangat mengikuti irama yang telah terlalu lama menuntutnya. Air mata jatuh perlahan dari sudut matanya, membasahi pipinya yang dingin.
Setiap sentuhan Valdi terasa seperti beban yang tak tertanggungkan, dan setiap desahan adalah pengingat akan jarak yang semakin lebar di antara mereka. Anya berusaha memenuhi kewajibannya sebagai istri, namun hatinya menjerit dalam diam, terperangkap dalam lingkaran yang tak kunjung usai. Tangisnya tak bersuara, hanya air mata yang membasahi bantal, menciptakan pola keputusasaan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang merasa terjebak.
Setelahnya, Valdi merebahkan diri di samping Anya, menghela napas panjang saat tubuhnya mulai rileks di atas kasur. Tapi Anya, dengan hati yang berat, segera berguling menjauh, memunggungi Valdi, membiarkan air matanya jatuh tanpa henti.
"Aku nggak bisa lagi, Valdi," suaranya pecah dalam keheningan, menyuarakan beban yang lebih berat daripada sekadar kata-kata.
Valdi menoleh, meski dalam hatinya dia sudah tahu.
"Maksudmu...?" tanyanya dengan suara yang lebih lelah daripada bingung.
Anya menghela napas panjang, suaranya terdengar getir dan penuh kelelahan.
"Ini bukan pertama kalinya kita bicara soal ini. Aku sudah coba, Valdi. Aku benar-benar sudah berusaha. Tapi aku nggak bisa lagi. Setiap malam rasanya seperti siksaan, bukan cinta."
Dia menoleh, menatap Valdi dengan mata yang sembap dan penuh luka.
"Aku udah capek. Bukan cuma tubuhku yang nggak sanggup lagi, tapi juga hatiku. Aku mau cerai."
Valdi terdiam, kata-kata Anya menembus sisa-sisa pertahanannya yang sudah lemah. Dia tahu keinginannya yang tinggi sering kali tak bisa dikendalikan, dan Anya selalu mengeluh tak mampu mengimbanginya. Tapi dia tak pernah membayangkan bahwa itu akan menghancurkan pernikahan mereka.
"Maaf, Anya. Aku tahu ini berat... Aku tahu aku minta terlalu banyak..."
Anya menutup matanya, menahan lebih banyak air mata yang ingin tumpah.
"Aku butuh keluar dari ini, Valdi. Aku nggak bisa terus merasa seperti ini, terjebak dalam sesuatu yang nggak lagi membuatku bahagia. Ini harus berakhir."
Valdi terdiam, rasa sakit mengiris hatinya saat menyadari bahwa ia mungkin akan kehilangan wanita yang pernah menjadi cinta sejatinya. Di tengah keheningan yang mencekam, Valdi menyadari bahwa apa pun yang terjadi selanjutnya, hidup mereka tidak akan pernah sama lagi.
****
Valdi duduk di kursi tunggu rumah sakit, tangannya memijit pelipis yang berdenyut. Pikiran dan perasaannya masih berkecamuk, dibayangi proses perceraian yang baru saja berakhir. Valdi tidak menyangka di usianya yang baru menginjak 32 tahun dirinya sudah menjadi seorang duda.
Sejak Anya meninggalkannya, rumah terasa kosong, dan kenangan yang pernah manis kini menjadi pahit. Namun, hari ini, pikirannya harus terfokus pada Ibu Retno—pembantu yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama lebih dari dua puluh tahun.
Ibu Retno, yang selalu setia melayani keluarga Valdi, kini terbaring di rumah sakit, kondisinya semakin memburuk akibat COVID-19. Valdi merasa ada beban tambahan di hatinya, seolah-olah kehilangan orang yang setia mendampinginya hampir sepanjang hidup. Pikirannya masih terpecah antara rasa bersalah dan kesepian yang menggerogoti sejak perceraian, ketika sosok yang tak terduga menarik perhatiannya.
Langkah-langkah ringan mendekat, dan Valdi menoleh, melihat seorang wanita paruh baya yang tampaknya kerabat Ibu Retno, diikuti oleh seorang gadis muda. Saat pandangannya bertemu dengan gadis itu, jantung Valdi seolah berhenti sejenak. Gadis itu adalah Mayang, anak Ibu Retno, yang sekarang sudah berusia 18 tahun.
Valdi teringat saat pertama kali bertemu Mayang, seorang gadis kecil berusia 12 tahun yang pemalu dan pendiam. Tapi kini, di depannya berdiri seorang wanita muda yang telah tumbuh menjadi sangat menawan. Wajah Mayang cantik, dengan mata besar yang berkilauan, dan tubuhnya telah berkembang menjadi bentuk yang menggoda. Namun, yang paling mencolok adalah kesan lugunya yang luar biasa. Meski penampilannya telah matang, kepolosan itu masih terpancar jelas dari cara dia menunduk malu-malu dan senyum tipis yang muncul di bibirnya.
"Selamat sore, Om Valdi," sapanya dengan suara lembut, nyaris berbisik. Senyum yang dulu terkesan kekanak-kanakan kini lebih halus, namun tetap menyimpan kehangatan dan kepolosan yang sama.
Valdi menatap Mayang, senyum manis dan polosnya seolah-olah tak menyadari badai yang sedang berkecamuk dalam diri Valdi. Dalam pikirannya, Valdi merasakan pergulatan yang semakin intens—dorongan liar yang tak bisa dia redam, hasrat yang semakin sulit untuk dikendalikan.
Dia begitu dekat... begitu polos... pikir Valdi, merasakan adrenalin memacu lebih cepat dalam nadinya. Aku tahu ini salah, tapi kenapa aku tidak bisa berhenti membayangkannya?
Valdi menelan ludah, matanya tak bisa lepas dari sosok Mayang. Setiap gerakan gadis itu, setiap senyum kecil yang dia berikan, seolah-olah menarik Valdi lebih dalam ke dalam jurang keinginan yang tidak seharusnya.
Dia adalah milikku, dia harus menjadi milikku... pikirnya, hampir tak percaya dengan dorongan yang kini mendominasi pikirannya.
Bagaimana caranya? benaknya terus berputar, mencari cara,
Bagaimana aku bisa mendapatkan dia tanpa dia menyadari niatku?
Perlahan Lisbet membuka matanya. Pandangannya terlihat kabur dan perlahan mulai tampak jelas. 'Di mana aku?' gumam Lisbet. Lisbet tidak mengenali tempat ini. Itu adalah sebuah ruangan berlantaikan kayu tanpa perabotan apapun. Di ruangan ini benar-benar kosong. 'Apa yang terjadi padaku?! di mana aku?!' Tanya Lisbet didalam hatinya. Lisbet benar-benar bingung, apa yang terjadi padanya, dan di mana sebenarnya dia sekarang. Perlahan Lisbet menyadari bahwa mulutnya tersumpal. Saat dia melihat kakinya, itu terikat dan merasakan tangannya pun juga terikat di belakang. Lisbet mencoba mengingat apa yang bisa dia ingat, bagaimana dia bisa berada di sini.
Dua hari telah berlalu sejak kejadian itu.William sekarang sedang duduk di taman sambil membaca buku, sambil ditemani Lilia dan Reny yang berdiri di dekatnya.William tidak pergi latihan, karena kondisi tubuhnya yang masih belum benar-benar pulih. Sekalipun dia tetap memaksa untuk pergi latihan, sudah dipastikan Lilia dan Reny pasti akan melarangnya dengan keras."Pangeran, teh ini sudah dingin, apa perlu aku ganti yang baru?" tanya Lilia.Lilia yang sebelumnya membuatkan teh untuk William, memandang William yang sangat terpaku dengan buku yang dia baca. Sampai-sampai teh yang dibuatnya belum disentuh sekalipun oleh William, karena terlalu fokus dengan yang dia baca.William sambil masih tetap fokus dengan
Di salah satu kamar, dengan lantai batu dan satu buah tempat tidur kecil, yang memang didesain hanya untuk satu orang.Tidak ada banyak perabotan di dalam kamar itu. Disana hanya ada satu buah meja kecil dan satu kursi sebagai pasangannya. Di sudut ruangan terlihat ada satu buah lemari dengan satu pintu.Tidak ada kesan mewah dan bagus saat kamu melihat semua yang ada di dalamnya. Semua tampak usang, bahkan di beberapa bagian langit-langit kamar, yang terbuat dari kayu pun juga terlihat sudah mulai rapuh.Seorang pangeran yang meninggali kamar ini adalah William. Letaknya bahkan ada di belakang istana. Tidak di dalam istana, yang semuanya terdapat kemewahan di setiap sudutnya.William mengalami kehidupannya seperti ini, sudah sejak ibunya meninggal beberapa tahun yang la
William mendengar sorakan riuh dari para penonton yang melihat pertarungannya dengan Lucas.Walaupun begitu, tidak ada raut wajah senang sama sekali di wajahnya.William sambil berbalik. "Reny, kita kembali," ajak William."Pangeran?" Reny berkedip bingung, melihat William berjalan pergi meninggalkannya.Reny hanya bingung melihat William yang terlihat seperti terburu-buru."Ba-baik, pangeran," ucap Reny sambil berlari menyusul William, lalu berjalan di belakangnya.Semua orang yang sebelumnya bersorak karena melihat kemenangan William, sekarang terdiam. Melihat William pergi begitu saja meninggalkan mereka.Bukan maksud William ingin bersikap angkuh kepada semua yang
Sekarang didalam kamarnya, William berdiri dengan mengenakan pakaian kemeja tipis berwarna hitam yang dimasukkan ke dalam celana panjang hitam. Di celana panjang yang di kenakannya terdapat kait untuk menaruh sarung pedang di samping kanan dan kirinya. Itu adalah pakaian yang sering dia pakai untuk latihan. William sekarang sedang memilih pedang yang ada di depannya untuk digunakannya latihan. William berencana untuk berlatih pedang, yang merupakan rutinitas hariannya. William mengeluarkan pedang yang dia ambil dari sarungnya dan melihatnya. "Hm, sepertinya pedang ini sudah mulai tumpul," gumam William sambil mengamati pedang yang dia pegang. Pedang yang dipegangnya terlihat sudah banyak goresan pada permukaannya, dan lekukan bekas menghantam benda keras pada bagian bilah tajamnya. Itu adalah pedang yang sebenarnya tidak layak lagi untuk digunakan, tetapi karena ini hanya latihan, William menganggap itu tidak terlalu penting. "
Sekarang William berjalan menuju ruangan ayahnya, bersama kedua adiknya di samping kanan dan kirinya.Ada perasaan gugup bercampur senang di hatinya, karena ini adalah pertama kalinya dari sekian lama dia tidak dipanggil oleh ayahnya.Setelah beberapa saat, sekarang William berdiri didepan pintu salah satu ruangan. Itu adalah ruangan ayahnya.Saat William ingin membuka pintu. Tangannya entah mengapa terasa sangat berat.Lisbet dan Richard yang berada disebelah William, sekarang melihat ekspresi rumit William yang berdiri diam di depan pintu, dengan tangan yang hampir menyetuh gagang pintu.Keduanya melihat wajah pucat pasi William, yang seperti seseorang sedang merenung dan memikirkan sesuatu yang berat."Kakak... kakak tidak apa-apa?" tanya Lisbet dengan khawatir sambil menarik-narik lengan baju William.Mendengar suara Lisbet, William tersadar."E, Ah, ya, ti-tidak, aku tidak apa-apa," jawab William dengan gugup.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments