"Gerald?" tanya Royan pada orang di seberang telepon.
Saat Royan mengatakan nama tersebut, Rachel tak lagi fokus mendengarkannya. Tangannya juga gemetar saat mencuci piring, keringat membasahi lehernya yang ditutupi anak-anak rambut. Melihat hal tersebut Royan tahu pasti ada yang tidak beres dengan keduanya, sehingga ia harus mengambil sikap yang baik.
"Maaf tapi Rachelnya lagi keluar, nanti saya sampaikan kalau ada telepon. Terima kasih," tutup Royan.
Ia pun akhirnya memilih kembali ke ruang tamu dan menaruh ponsel Rachel di sana. Royan masih memperhatikan wanita itu, tidak satu pun kata keluar dari bibirnya. Rasa ingin tahu sudah sangat merajai Royan, namun ia tidak ingin lancang untuk memulai pembicaraan tentang ini.
"Makasih Mas, udah bantu angkat," kata Rachel.
"Ok. Kenalanmu?" tanya Royan memastikan.
"Dulu Mas, sekarang udah gak kenal." Rachel menyempatkan dirinya untuk tersenyum getir.
"Yaudah. Kirain orang asing." Royan menghe
"Halo, Mas Roy," kata Rachel mengangkat telepon."Nanti pulang aku jemput sekalian, ya," ujar Royan."Ng ...." Rachel sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menutupi bahwa dirinya sedang menangis.Royan merasa ada yang berbeda dari Rachel, saat ia mengantarnya tadi Rachel terus bersikeras bahwa lebih baik naik ojek online, dan tidak merepotkan Royan. Dengan alasan tersebut Royan meneleponnya, untuk meyakinkan wanita itu agar pulang bersamanya. Namun, yang ada kini Rachel dengan cepat menyetujui permintaannya, tanpa alasan apapun."Lagi di mana?" tanya Royan."Lagi di jalan," jawab Rachel dengan suara serak."Tenggorokanmu sakit? Serak begitu?" tanya Royan saat menyadari suara Rachel berubah serak."Gapapa kok, Mas. Nanti aku kabarin lagi pulangnya jam berapa, mau ketemu nasabah dulu," tutup Rachel.Setelah perbincangan singkat dengan Royan melalui telepon, Rachel merasa hatinya sedikit tenang. Entah mengapa, hanya mendengar su
Seringai Gerald menandakan bahwa ia siap bertarung dengan Royan. Entah bagaimana Roy mengetahuinya tapi memang Gerald membawa sebuah pisau portable di sakunya. Demi mempertahankan Tuan Putrinya, tentu saja Gerald tak keberatan untuk bertarung satu lawan satu dengan duda beranak satu, yang pastinya tidak muda lagi. Melihat Gerald yang sudah meletakkan pisaunya, perlahan Royan menggapai tangan Rachel, dan melepaskan dari pinggangnya."Mas, jangan. Mending kita balik aja," rayu Rachel."Percuma, dia bakal terus ngejar kamu, kalo gak dikasih pelajaran, Chel," ucap Royan."Tapi Mas nggak tahu Gerald. Dia emang suka berantem dari dulu," kata Rachel mengiba."Kayanya aku belum pernah cerita kalo aku juga tukang berantem dari dulu." Royan berusaha menenangkan Rachel dengan candaannya."Aku beneran ini Mas Roy, gak bercanda." Rachel kesal karena peringatannya tak diindahkan oleh Royan."Iya aku tahu. Udah lepasin dulu, sekarang ambil payungmu,
Setelah mendapatkan pesan dari Rey, Rachel langsung bergegas menuju unit Royan saat itu juga. Mungkin luka yang didapatnya semalam juga menjadi salah satu faktor pendukung demam tingginya. Belum lagi kemarin hujan lebat, dan tentu saja Royan tidak membawa payung, entah mengapa semua itu tidak terpikirkan olehnya semalam. Jika Rachel sudah memberinya obat pencegahan kemarin malam, mungin Royan tidak akan demam yang terlalu tinggi."Rey, Papa mana?" tanya Rachel yang sudah menyelonong masuk, dan menjumpai Rey di depan pintu."Lah, Tante kok bisa masuk?" Rey heran menatap Rachel dengan rambut berantakan dan piyama tidur yang juga sama kondisinya."Nanti tanyain sendiri sama Papa, sekarang Papa di mana? di kamar?" tanya Rachel yang semakin panik."Papa di dapur, Tante. Kan lagi nyiapin sarapan buat Rey," kata pria mungil itu sambil terus memakai seragamnya.Tanpa aba-aba Rachel pun segera berlari ke arah dapur untuk menggantikan Royan yang membuat sara
Rachel membuka matanya yang sudah membengkak akibat tangisannya semalam. Entah berapa jam ia terus meringkuk di dalam selimut hangat, dan ia pun tak tahu pukul berapa Royan pergi meninggalkan kamarnya. Seperti biasa Rachel tentu saja membuka ponsel terlebih dahulu, memastikan ada kabar apakah hari ini. Ia tersenyum getir saat melihat kalender yang kini masih ada di hari kamis, sedangkan ia berbaring lemah di atas ranjangnya hingga pukul delapan."Chel!" panggil Royan sambil mengetuk pintu kamarnya. Tak tahu sejak kapan pria itu ada di sana.Sekuat tenaga Rachel menuju ke arah pintu, karena tenggorokannya terasa sakit jika harus berteriak menjawab Royan. Teh herbal yang pria itu buatkan semalam tak dihabiskan oleh Rachel, karena ia malas untuk makan, dan minum. Kini kebalikannya, Rachel merasakan lapar yang luar biasa."Mas semalem tidur sini?" tanya Rachel."Nggak lah, terus Rey sama siapa kalo aku di sini," jawab Royan."Iya sih. Mas kok belum ber
"Tante, aku mau nambah susu," kata Rey sambil membawa gelas kosongnya."Cepet banget abisnya," jawab Rachel yang langsung mengisi ulang gelas tersebut."Chel, punyaku tambahin selai nya," pinta Royan."Siniin piringnya, aku tambahin," ujar Rachel.Hari ini tepat dua minggu dirinya hanya berkutat di apartmen, dan bahkan sampai lupa jika sebenarnya ia hanya menjalani masa skorsing, bukannya dipecat. Kini, tiap pagi ia akan bangun, dan menyiapkan sarapan untuk dua pria tampan yang kini duduk di meja makan. Royan berpendapat bahwa jika Rachel melakukan hal tersebut setiap harinya, ia akan tetap merasa produktif seperti saat bekerja.Tentu saja, bahkan setelah Royan dan Rey pergi untuk beraktivitas, tanpa mereka ketahui Rachel juga membersihkan tampat tinggal mereka. Mungkin hanya dengan seperti itu, Rachel tidak akan terpikirkan oleh pekerjaannya lagi.Saat mereka sedang asik menyantap sarapan di meja makan, ponsel Rachel menyala, dan mena
"Rey, yang pinter ya. Inget gak boleh bandel sama Oma, atau Opa. Janji?" kata Royan sambil mengacungkan kelingkingnya."Janji. Rey gak akan bandel dan ngerepotin Oma, Opa." Rey menautkan kelingking kecilnya pada Royan."Tante juga janji dulu sama Reyhan. Tante bakal balik lagi, kan?" kata Rey yang juga mengacungkan kelingking tangan sebelahnya pada Rachel."Iya, Tante balik lagi kok." Rachel menautkan kelingkingnya pada Rey, walaupun sebenarnya ia takut bahwa tidak akan pernah kembali lagi, dan menetap di kota asalnya.Saat akhir pekan, tentu saja bandara dipadati oleh orang-orang yang hendak berlibur. Abimanyu, dan Tiara mengantarkan Rey yang ingin melihat keberangkatan Rachel, dan Royan. Pada akhirnya dengan persetujuan Abimanyu, Royan tetap memilih untuk mengantarkan Rachel ke kota tujuannya. Selain itu, Royan harus mengurus bisnis perpanjangan kontrak dengan Adnan, Papa Rachel, dan beberapa urusan lainnya."Kita masuk dulu, ya. Mama sama Papa h
"Jeffry!" teriak Rachel."Hallo. Lama nggak ketemu kita, Chel," ujar Pria yang ada di belakang Rachel."Banget!" jawab Rachel."Siang Tante, Om, eh ...." Jeffry terhenti karena tak pernah mengenali wajah Royan."Ah, ini pacar aku, Royan." Rachel dengan bangga mengenalkan lelakinya yang tampan."Oh Royan ya, salam kenal," kata Jeffry. "Yaudah Chel, lanjut dulu makannya. Aku keburu ada meeting," tutup Jeffry yang langsung berpamitan, dan meninggalkan keluarga tersebut."Siapa Chel?" tanya Royan."Mantan." Rachel dengan cueknya malah melanjutkan perjamuan makannya."Oh masih diakuin ternyata, Pa," kata Eva yang menahan tawa bersama suaminya."Eh, emang kenapa, Ma?" tanya Royan yang penasaran dengan cerita itu."Nggak kok Roy, Jeffry itu pacar pertamanya Rachel, jaman SD," jelas Eva yang juga tak sanggup lagi menahan tawanya."Tahu nggak Roy parahnya apa?" tambah Adnan."Kenapa, Pa?" Royan semakin penasa
Setelah menunggu selama sepuluh menit di loket pembelian tiket, kini Rachel dan Royan sudah memijakan kaki mereka pada salah satu kubik bianglala dengan nomor empat belas. Wajah Royan yang biasanya sangat datar, dan dingin kini entah mengapa bibirnya terangkat dengan indah. Senyum seakan tak lepas dari wajah tampannya sejak mereka mulai terangkat perlahan dalam bianglala. Rachel merasa sedang mengajak anaknya untuk jalan-jalan di pasar malam, dan Royan memerankan diri sebagai anaknya."Kalo aja Rey ikut, pasti dia seneng banget," kata Royan."Seneng lah, orang Papa nya aja seneng banget padahal cuma naik bianglala," goda Rachel."Ini namanya bukan seneng, tapi mengagumi," ujar Royan menutupi rasa malunya."Padahal Mas bisa aja loh beli bianglala nya, kenapa seneng banget." Rachel tidak bisa membaca apa yang dirasakan oleh Royan."Dulu kan aku gapunya duit, Chel," jawab Royan santai.Mendengar hal tersebut membuat Rachel semakin yakin bahwa p