Fia berjalan menyusuri koridor dengan perasaan bimbang. Hingga dia melihat sosok Yara di depan kamar mandi yang bersebelahan dengan uks. Dengan langkah lebar Fia berjalan ke arah Yara. "Disa mana?" tanya Fia sambil menepuk punggung Yara. "Masih di dalem" kata Yara dengan wajah lesu. "Nih minum" kata Fia sambil memberikan air putih ke arah Yara. "Makasih baik deh" kata Yara dengan senyum manisnya. "Hm" jawab Fia dengan senyum tulusnya. Yara duduk di bangku dekat uks sambil meminum air pemberian Fia. Sesaat kemudian Disa keluar dengan wajah lesu dan mulai berjalan ke arah bangku yang sedang di dudukki Yara. "Nih minum" kata Fia sambil memberikan air putih kepada Disa. Dengan lesu Disa menerima air pemberian Fia. "Gimana sekarang? Udah mendingan?" tanya Fia dengan nada tenang dan menyenderkan tubuhnya di tembok uks. "Udah mendingan, gak kayak tadi" kata Disa dengan senyum manisnya. "Di minum airnya" kata Fia sambil menegakkan tubuhnya. "Lu tadi kenapa Dis?"tanya Yara penasara
Dengan tenang Fia mulai berjalan ke arah Dina. Saat mau sampai di dekat Dina tiba-tiba tubuh Dina limbung. "Lah pingsan" gumang Fia sambil menatap ke arah Dina dengan sorot mata heran. Rina yang melihat itu dengan panik meminta pertolongan. "Nyusahin" gumang Fia sambil berjalan ke arah Dina. Dina mulai mengigau dengan suara lirih. Entah apa yang dia ucapkan, ucapannya tak terdengar jelas. Saat Fia ingin menyentuh dahi Dina, tapi belum juga menyentuh tanganya secara tiba-tiba di tangkap oleh Dina. Dengan dahi mengkerut Fia menatap ke arah Dina. sorot matanya penuh akan tanda tanya. Mata Dina masih terpejam dan mulutnya masih bergumang, mengatakan sesuatu tapi tak jelas. Semakin lama cengkraman pada tangan Fia semakin mengencang bahkan Fia mulai merasa sakit di tangannya. 'Sakit' batin Fia dengan raut wajah menahan sakit. Dengan susah payah Fia menahan sakit di tangannya. "Cari bantuan siswa laki-laki atau gak guru" kata Fia ke arah Rina yang masih berdiri mematung melihat tindak
Nanti malam adalah awal perubahan hidup Fia. Sebab tepat pukul 12 malam dia akan berumur 17 tahun. Perasaan Fia sudah tak tentu arah antara takut, penasaran dan deg degan. Dengan sekuat tenaga Fia mengendalikan dirinya. Seperti ritual saudaranya yang lain. Saat ini keluarga besar Fia sedang berkumpul di rumah Fia dan mereka tak boleh tidur hingga jam 2 dini. Sekarang masih jam 10 malam dan aura di sekitar mereka sudah tak enak. Jika sudah saatnya mereka akan duduk melingkar dan Fia ada di tengah-tengah lingkaran itu. "Dek kamu jangan takut oke, hwaiting" kata salah satu kakak sepupunya menyemangati Fia. "Iya semangat. Dulu kakak juga sempet takut tapi ketakutan itu hilang saat kakak tahu bakat kakak" kata sepupunya yang lain. "Dan kami yakin bakat kamu pasti hebat" kata yang lain dengan senyum mengembang indah. "Makasih atas semangatnya" kata Fia dengan senyum tipis. Setelah itu mereka yang menggerumuni Fia mulai berjalan menjauh. 2 jam kemudian dan waktu untuk ritual akan seger
Pagi harinya Fia sudah siap dengan seragam sekolahnya. Dia juga sudah siap untuk berangkat sekolah. Saat Fia turun ke bawah ternyata anggota keluarganya sudah berkumpul di ruang makan. “Fia mulai sekarang kamu berangkat dan pulang bersama om Ridwan” kata sang ibunda dengan raut wajah tak terbantah. “Iya bunda” kata Fia dengan nada pasrah. “Dan ingat pesan paman” kata pamannya dengan datar. “Beri satu alasan untuk Fia, kenapa Fia harus mematuhi perintah paman” kata Fia tak kalah datar. Karena menurutnya pesan dari pamannya adalah sebuah perintah yang tak bisa dia bantah. Paman Fia yang mendengar ucapan keponakannya hanya menatap Fia dengan tatapan marah dan dingin. Karena sejak dulu tak ada yang berani membantah perintahnya ini pertama kalinya ada yang membantah perintahnya selain istrinya. Bunda Fia yang melihat tatapan kakak tertuannya merasa tak enak hati. “Nanti setelah pulang sekolah bunda jelaskan, sekarang kamu makan dan jangan membantah perintah pamanmu” kata bunda Fia sa
Disa yang melihat respons Fia untuknya sedikit merasanbingung. ‘Kenapa dengan Fia? Apa dia punya masalah?’ begitulah pemikiran Disa saat ini. “Dia kenapa?” tanya Yara dengan nada suara heran. “Aku juga gak tau” kata Disa sambil mengangkat bahu tak tau. “Ke sana Fia yuk Yar” ajak Disa sambil menatap Yara dengan wajah penuh harap. “Emm... ayolah” kata Yara sambil mengandeng tangan Disa dan berjalan menuju bangku Fia. “Fia!” panggil Yara dengan heboh. “Hm?” balas Fia dengan nada suara acuh tak acuh dan masih terfokus akan novel di tangannya. “Kok gitu, aku gak suka” kata Yara dengan nada alay. “Gak suka ya pergi” balas Fia masih dengan nada cuek dan membaca novelnya dengan tenang. “Kamu kenapa? Ada masalah?” tanya Disa dengan nada suara penuh perhatian. ‘Lu bisa Fi, pasti bisa’ batin Fia menyemangati dirinya sendiri. “Gak” balas Fia dengan nada suara malas dan tatapan mata yang menyorot ke arah Disa dengan tak minat. “Yakin?” tanya Disa dengan nada suara tak percaya. “Hm” ba
Sudah dua minggu Fia menjauhi Disa dan Yara. Sekarang dia tahu apa alasan pamannya menyuruhnya menjauhi teman-temannya. Selepas pulang sekolah Fia berbincang dengan bundanya dan bundanya menjelaskan bahwa bakat Fia sedikit berbahaya. Karena dia memiliki bakat untuk melihat masa depan atau masa lalu entah itu seseorang yang masih hidup atau sudah meninggal. Bahkan hanya dengan menyentuh benda-benda di sekelilinya dia bisa melihat kejadian masa depan atau masa lalu yang terjadi di tempat itu. Bahkan ada satu hal yang masih terikat olehnya, yaitu sesuatu yang sudah di takdirkan untuknya. Dan masalah terbesarnya ada di takdir itu, karena takdir itu hidupnya bisa dalam bahaya atau orang di sekelilingnya. Sekarang Fia merasa kesepi dengan kehidupan yang dia jalani saat ini. Tanpa ada suara Yara yang menganggunya dan ocehan Yara yang membuat sakit kepala. Setiap dia berada di sekolah waktunya hanya habis dengan membaca novel dan di perpustakaan. Seperti saat ini, waktunya dia habisnya d
'Brak!' suara pintu di dobrak dengan tenaga penuh. Dengan rasa cemas Yuan masuk ke dalam perpustakaan yang sudah tak berbentuk karena keadaan yang sangat kacau. "Fia" gumang Yuan dan berlari ke arah Fia berada. "Fia" panggil Yuan sambil memegang pundak Fia dengan rasa cemas. "Hey! Sadar" kata Yuan sambil menguncang tubuh Fia pelan. Fia yang merasakan guncangan pun mulai kembali ke dunia nyata. "Lu kenapa?" tanya Yuan dengan nada suara cemas. "Gak, gue gak apa-apa" balas Fia sambil menyingkirkan tanggan Yuan dari pundaknya. "Terus lu bisa jelasin ini semua?" tanya Yuan sambil menatap Fia dengan datar. "Lu gak perlu tau semuanya tentang gue Yuan! Gue bukan Fia yang dulu" kata Fia dengan tatapan datar dan sedikit mencuratkan ke tidak sukaannya kepada Yuan. "Tapi gue masih nganggep lu sama" kata Yuan sambil menatap serius ke arah Fia. "Stop ikut campur sama urusan gue, lu gak ada hak buat tau semuanya" kata Fia sambil menatap ke arah Yuan dengan tajam. "Dan elu gak ada hak ngel
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sendari tadi. Saat ini Fia sedang berjalan menuju parkiran sekolah. Saat berjalan melewati lapangan sekolah tiba-tiba ada bola mengelinding ke arahnya. Dengan datar Fia menatap ke arah bola tadi, sebab saat dia melihat bola itu tiba-tiba ingatannya perputar pada kejadian beberapa minggu yang lalu saat dia bersantai di taman belakang dan tiba-tiba ada kepala menggelinding di kakinya. “Hey! Lepar sini bolanya!” kata seseorang sambil melambaikan tangan ke arah Fia. Dengan datar Fia menatap ke arah orang tadi dan tanpa minat Fia berjalan begitu saja tanpa ada niat untuk mengembalikan bola tadi ke pemiliknya. “Woy! Budeg ya lu!” kata orang tadi sambil menatap ke arah punggung Fia dengan tajam. “Udahlah Rif, lu juga yang salah” kata teman setimnya. “Salah gue di mana? Gue cuma minta bantuan dia buat ngoper bola ke kita” kata Arif dengan nada suara tak terima. “Bukan karena itu, lu salah karena nyuruh dia” kata temannya dengan malas. “Ck!” decaknya de