"akan kualihkan seluruh harta dan penghasilanku kepadamu, tapi jangan beritahu anak-anak dan keluarga. Tolong jagalah rahasia?"
"Hanya itu?" "Ya. "Jadi kau hanya memikirkan kemaslahatan dirimu, reputasi nama baik dan kehormatanmu?" Lelaki mendesah tidak berdaya. Aku terkejut karena dia sama sekali tidak memikirkan hatiku, dia sama sekali tidak berusaha agar aku memaafkannya, memberiku penjelasan yang layak kuterima dan bisa kupercayai adanya. Dia menganggap semuanya remeh. "Aku memang mencintaimu, aku tidak pernah marah atau berteriak padamu, tapi jangan manfaatkan kebaikanku! Aku bersikap lembut karena itulah sifatku, bukan karena takut padamu!" "Aku tak bermaksud melunjak tapi..." "Harusnya kau minta maaf atas perbuatanmu yang menjijikkan! kau menghancurkan hati dan menghianati keluarga ini. Kau juga mematahkan perasaanku." Aku pun mulai tersulut emoji. "Maafkan aku, aku mohon Haifa." "Terima kasih, terima kasih untuk kejutan hari ini yang sangat luar biasa. Aku berdoa agar kesadaranmu terbuka dan kau tidak mengulangi semuanya." ** Lalu setelah percakapan itu, suasana rumah menjadi lebih hening, suamiku jadi lebih pendiam, tidak manja seperti biasa, tidak lagi sering bercanda tawa, atau serba minta dan dilayani. Dia seperti menghindar dan ingin jauh dari kemarahanku. Bahkan saat kami makan bersama dia memilih untuk makan paling akhir, agar dia tidak perlu berpapasan denganku. Dan saat semuanya masih terlihat kondusif tiba-tiba Cantika menelepon diriku. "Mba, sudah dua hari dan Mas Hengky masih menghindariku. Tolong aku." "Kau telah berkenalan dengan suamiku, dekat dan mau menjalin hubungan dengannya. Kau dan segala kesadaranmu telah menerima rayuan dan sepakat mencintainya, lalu mengapakah, saat sulit kau merepotkanku. Aku tidak mau terlibat!" "Kamu adalah istrinya, hanya kamu yang akan didengarkan oleh Mas Hengki, Mba." "Bagaimana kalau dia tetap tidak dengar?" "Tolong bujuklah mba." wanita itu mulai merengek lagi. Sementara aku tak tahu solusi apa yang bisa kutawarkan. Bagaimana caraku menjauhkan wanita itu dari sekitar keluarga kami. Kehadirannya seperti badai, kedatangannya adalah sebuah musibah dan seperti hukuman bagi semua dosa-dosaku. Apa yang telah kulakukan di kehidupan sebelumnya sampai mendapatkan ujian seberat ini. "Aku ingin minta baik-baik padamu, agar kau dan aku sama-sama terselamatkan." "Apa itu?" Tanyanya dari seberang sana. "Ini kehormatanmu sebaiknya kau jauhi suamiku. Aku tidak mengatakan ini karena aku sangat tergila-gila padanya, Aku mengatakan ini demi anak-anakku dan keluarga besar kami." "Jadi kau menolak membantuku?" tanyanya yang terdengar mulai mengancamku. "Aku tidak menolakmu, aku malah sedang menawarkan hal terbaik untuk kita berdua." "Jika anak dan keluarga adalah kelemahanmu maka akan ku beritahu yang sebenarnya pada mereka!" "Kau hanya mempermalukan dirimu dan mengundang masalah baru. Tolong berpikirlah dengan bijak. Anak-anak tak akan terima seorang wanita baru mengaku sebagai kekasih ayahnya, pun, keluarga besar kami hanya akan menatapmu dengan jijik, karena kau akan dianggap sebagai perusak!" "Aku sudah bilang aku menolak diabaikan setelah ia menikmati tubuhku, aku menolak ditinggalkan mengingat janji yang pernah dia berikan!" "Salahmu sendiri membuka pakaian untuk suami orang. Aku tidak bisa membantumu. Kaulah yang harus berjuang dan meyakinkannya agar meninggalkan keluarganya demi kamu. Aku ingin melihat juga suamiku memilih siapa!" Lalu setelah itu kumatikan ponselnya, sudah tidak perlu banyak bicara lagi. Banyak bicara akan mengikis kesabaran dan membuatku kehilangan akal. Aku mungkin akan mulai emosi dan mencarinya, dan jika berhasil kutemukan aku mungkin akan menghilangkan nyawanya. Jadi, demi semua itu tidak terjadi, sebaiknya aku tidak banyak bicara dengannya. Namun, dari manakah wanita itu mendapatkan nomor ponselku. Gejolak apa yang akan dia timbulkan bila dia berani mempublikasikan dirinya sebagai bagian dari hidup suamiku. Musibah apa yang akan di bawahnya, aib sebesar apa, serta sampai mana berita itu akan tersebar. Semuanya akan terdengar ke komplek perumahan, lingkungan pekerjaan suami dan lingkungan pengajian serta arisanku. Semua juga akan ketahuan oleh keluarga dan anak-anakku. Ini sungguh tidak bisa dibiarkan. * Saat lelaki itu bergabung denganku di peraduan dan mematikan lampu, serta membaringkan dirinya diselimut yang sama denganku. Aku mulai bertanya padanya. "Jadi dengan siapakah kau ingin menghabiskan sisa hidupmu?" "Tentu denganmu, Cantika hanya selingan, aku tidak punya perasaan apapun padanya. Jadi tolong tenanglah." Beraninya dia bilang begitu.Melalui pengacara di mana aku sudah tak mau lagi bertemu dengan Mas hengki, aku menggugat perceraian dan meminta dia untuk membagikan harta gono gini dengan adil. sekalipun lelaki itu mati-matian ingin berjumpa denganku tapi aku tak sudi bertemu dengannya. tentang anak-anak aku tidak perlu mengkhawatirkannya karena mereka sudah dewasa dan bisa menentukan mau ikut siapa. mereka tidak harus memilih mereka bisa datang padaku atau ayahnya kapan saja mereka inginkan. 3 bulan setelah perceraian. Matahari pagi menyapa dengan lembut, menyapa aku yang baru saja bangun dari tidur. Cahaya mentari menembus celah gorden tipis, menari-nari di dinding kamar. Aku tersenyum. Udara pagi di kota ini terasa segar, berbeda dengan hiruk pikuk Jakarta yang selalu mencengkeram jiwa. Aku menghirup udara dalam-dalam, mencoba menikmati ketenangan yang selama ini kucari. Ini adalah hari ke-100 sejak aku meninggalkan Hengky. 100 hari yang terasa begitu singkat, namun begitu penuh makna. 100 hari yang mengajar
Mentari pagi menyapa dengan lembut, udara segar masuk melalui tirai jendela kamar hotelku yang mewah. Aku tertidur pulas dalam mimpi yang tenang untuk pertama kalinya tidak harus terbangun oleh alarm dan segera melakukan rutinitas pagi untuk menyiapkan sarapan anggota keluarga. Untuk pertama kalinya aku bisa bernapas dan tidur tenang untuk diriku sendiri. Setelah bangkit dari tempat tidur aku membuka jendela dan menarik nafas dalam-dalam, menghirup udara pantai yang menyegarkan seakan ingin menyingkirkan segala beban yang selama ini menumpuk di hatiku. Aku tahu persis meski aku sudah berumur 40 tahun tapi aku masih memiliki paras yang menawan serta tubuh yang sehat. Mungkin aku harus memutuskan untuk pergi dan memulai kehidupanku sendiri. Aku tahu ada konsekuensi saat harus meninggalkan rumah dan meninggalkan Mas Hengky, saat suamiku tak kunjung memberikan kebahagiaan dan malah menambah kerumitan kuputuskan untuk mencari kebahagiaanku sendiri. Ditambah sekarang Cantika sudah hadir
Melihat uminya Nathan pergi begitu saja aku jadi panik dan gelisah. Aku tahu ada perubahan dalam gesture wajah dan tatapan matanya saat dia menyeret kopernya pergi. Wanita itu seakan bukan istriku, dia butuh kemerdekaan dari hubungannya denganku, dan aku tahu persis Haifa mulai ingin lepas dari semua ini.Hanya aku yang bisa menyelamatkan keadaan dan keluargaku bila aku tidak bisa berpikir bijak dan bertindak maka aku akan kehilangan kedua wanita itu. Bahkan anak-anak dan keluargaku.**Aku terbangun dengan perasaan hampa yang menggerogoti hati, ketidakhadiran Haifa dan kekosongan kamar ini menularkan dingin dan kosong ke hatiku. Rumah kopi yang biasa diseduh hari haifa hari ini tidak tercium. Sana rumah terasa sepi dan hampa, saya akan tempat ini hanya kuburan saja. Saya turun ke lantai bawah dan menuju ke meja makan, tidak ada apapun di sana. Tidak ada secangkir kopi atau sarapan yang dibuat dengan penuh cinta, atau hal yang paling sederhana satuan Haifa yang selalu membangkitkan
"Aku mulai mengerti maksud perkataan Mbak Haifa sekarang!"Bahkan setelah aku tiba di kamar utama, masih kudengar percakapan antara Cantika dan Mas Hengky di teras rumah. Wanita itu belum pergi juga dan masih sibuk mengumbar kemarahannya pada suamiku. "Aku mengerti bahwa Mbak Haifa ingin aku menyingkir sendiri dari hubungan kalian! Dia ingin mendorongku untuk meninggalkanmu!" "Sudahlah, Jangan salah paham begitu! Haifa sedang marah jadi dia tidak tahu apa yang dia ucapkan." "Aku tidak salah paham Mas...dia mengatakannya dengan jelas, aku memang benalu, aku merusak segalanya tapi aku tidak meragukan perasaanku padamu. Aku tulus Mas!" Dia mulai menangis sementara aku menatapnya dari jendela balkon lantai dua."... Aku tidak bisa memaksa seseorang untuk menyukaiku, dan aku tidak berdaya mengendalikan keadaan selanjutnya. Istrimu akan terus mengganggu hidupku, merusak suasana dan menimbulkan kekacauan dalam keluargaku. Dia akan memberikan pembalasan dendam yang pantas untuk perbuatanku
Suasana tiba-tiba berubah menjadi begitu canggung dan memalukan, wanita itu hanya tersenyum canggung sambil memegang bagian belakang lehernya. "Maaf, boleh saya pergi.""Bagaimana kabar Cantika? Tempo hari dia datang ke rumah dan memaksa kami untuk membagi waktu dengan adil. Dia juga mengancam akan membuat aku dan suamiku bercerai bila Mas Hengky tidak menuruti keinginannya.""Kurasa kau tidak perlu membahas ini di tempat umum," desis wanita itu."Memang tidak boleh, tapi aku tidak pernah punya kesempatan bertemu denganmu. Kau harus tahu perilaku anakmu Dan mungkin kau akan memperbaikinya.""Aku sudah sering bicara pada Cantika.""Berhasil mendapatkan suamiku saja dia belum puas, dia ingin menguasai semuanya," ujarku yang membuat sahabatku Sabrina langsung menggenggam tangan ini dan mengajakku mundur. "Hehe, sudah sudah, nanti bicara lagi, banyak orang yang belum kita temui, mari kita membaur," ajak Sabrina sambil menyeretku menjauh. Suasana benar-benar sudah tidak nyaman karena or
Berkat kemarahan itu seisi rumah menjadi begitu hening, anak-anak tetap di kamarnya dan aku juga masih setia di peraduanku. Membaca buku dan bermain ponsel. Aku mengabaikan keberadaan Mas Hengky yang biasanya selalu ingin ditemani untuk menghabiskan waktu dan menonton TV. Di hari-hari biasa kami akan berkumpul di ruang keluarga, bercanda tertawa dan berbagi cerita, tapi sekarang suasananya berubah, terbalik seakan-akan aku dan dia tak begitu saling mengenal, anak-anak kami hanya seperti anak-anak yang kebetulan datang ke dunia ini, seperti tidak terlalu dekat pada ayah dan ibunya. Brak!Suara pintu terbuka keras, Aku menoleh dan mendapati suamiku berdiri di sana. Dia menatapku sambil berkacak pinggang dan menghela nafasnya. "Apa kemarahanmu sudah reda?""Aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti bagaimana kehidupan kalian setelah ini. Rumah ini berubah jadi kuburan dan dapur tidak berisi makanan. Aku lapar.""Kamu bisa pesan makanan karena anak-anak sudah pesan makanan untuk diri mere