“Zen mohon sudahi, Pa! Semua ini milik Zen dari almarhumah. Kenapa harus pindah tangan kepada Tante Rima? Zen merasa dirampok. Bukankah mempertahankan harta benda dari tangan perampok bisa mendapatkan pahala syahid?” ucap Zen seraya menaikkan satu sudut bibir nya.
“Iya. Lanjutkan saja pak Fandi!” ucap Fatan pada akhirnya. Sungguh Ia merasa dipermalukan oleh Zen, meskipun di sisi hati lainnya Ia mengatakan bahwa ucapan Zen benar.“Enggak bisa, Pa...!” seru Rima dengan amarah yang mulai Ia perlihatkan, yang selama ini tertutupi oleh kepura-puraan.“Ssstt...!” Pak Fatan memberi isyarat agar istrinya diam dan tak menambah masalah.“Enggak. Jangan nyuruh Bunda diam sedangkan mulutnya anakmu itu kaya tempat sampah. Beraninya mengatakan saya perampok, padahal... “Plakkk...Tanpa sadar, Fatan menampar pipi Rima hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring. Semua orang yang berada di sana terdiam, tak pernah membayangkan bahwa pak Fatan y“Anak kesayangan Papa, kelihatan aslinya,” celetuk Zen membuat pak Fatan menarik nafasnya dalam-dalam.“Dia hanya membela Papa,” sahut lelaki paruh baya yang menjadi penyebab lahirnya Zen ke dunia.“Apapun yang Aku katakan tak akan pernah didengar, jadi buat apa lagi Aku harus menunjukkan kebenaran. Biarlah, nanti juga akan terbuka siapa yang benar dan siapa yang salah,” sahut Zen tak ingin memperpanjang perdebatannya lagi dengan pak Fatan. Ibaratkan ceret yang tertutup, diisi air apapun ia tak akan mampu menampungnya. Berbeda jika tutupnya dibuka, maka air apapun akan masuk, terkecuali si pemilik memilah dan memilih air apa yang akan diterima ceret. Seperti itulah, pola pikir dan hati manusia.“Bukannya begitu Zen... ““Tolong dilanjut, Pak! Ini sudah hampir tengah malam. Kita semua tentu butuh istirahat.” Zen memotong ucapan pak Fatan yang Ia yakini hanya ucapan pembelaan saja.Pak Fatan menutup mulutnya kembali. Ia sadar betul bahwa Ze
Zen mengeratkan kepalan tangannya karena sakit hati dengan apa yang diucapkan oleh pak Fatan. Bahkan, Ia masih mengingat wajah sinis dan penuh kemenangan dari wajah Renisa.Zen merasakan ada telapak tangan yang menenangkan di pundaknya. Ia pun menoleh ke arah pak Fandi yang berusaha menenagkannya. “Saya sendirian, Pak. Saya sebatang kara,” lirih suara Zen, namun masih jelas terdengar di telinga pak Fandi.“Nak Zen tenang saja, ada Saya di pihak nak Zen. Juga... Jangan lupa, saat ini nak Zen sudah punya istri.”Zen tersenyum kecut, kemudian melangkahkan kakinya untuk keluar dari rumah itu lebih dulu.“Bapak lupa, Saya belum mengenal siapa istri Saya. Apa pernikahan ini juga akan berhasil atau tidak,” ucap Zen seraya terkekeh. “Sudahlah Pak, jangan terlalu menghibur Saya. Tapi... “ ucap Zen seraya menghentikkan langkahnya sesaat, menatap ke arah pak Fandi. “Saya mengucapkan banyak banyak terima kasih, Pak! Jasa Bapak sangat besar buat saya, dan Saya
Pletakkk...“Awww... “ keluhku saat sesuatu terasa menghujam di kening. Rasanya seperti palu godam yang mengayun ke arah kening.“Hahahahahaha... “ rasanya ada suara buto ijo yang terdengar begitu membahana, sangat dekat denganku.“Hey, bangun!” lirih suara Santi, teman satu bangku denganku seraya mencubit pahaku cukup keras. Sungguh berbanding terbalik dengan suaranya yang tak mungkin terdengar sampai ke depan kelas.“Awww... “ teriakku, membuat tawa seisi kelas kembali membahana.“Lea! Lea! Jangan karena kamu bisa mengerjakan semua soal, membuat Saya memaklumi kebiasaan barumu. Jangan tidur di kelas!” gelegar suara pak Yahya begitu memekakan telinga.“Ya ampun, Aku masih di kelas ya?” tanyaku begitu polosnya.“Huuuuuu... “ sorak membahana dari seisi kelas.“Mentang-mentang ini hari terakhir pemantapan, kamu seenaknya tidur di kelas, sedangkan Saya berpeluh banyak karena berupaya keras membuat kalian semua paha
“Bagaimana kabarnya, anak-anakku?” tanya bu Salsa dengan suara yang bergetar.“Baik, Bu!” jawab kami serempak.Kulihat bu Salsa tak seperti biasanya yang galak dan judes pada siswa. Wanita cantik berhijab nude itu selalu tak suka apabila mendengar kelas berisik, atau melihat sampah permen, pasti semua siswa yang berada di sekitarnya akan terkena dampak cabutin rumput lapangan atau taman. Tapi kali ini, nampak sekali jika Ia sedang tertekan.Keringat besar sudah mengalir dari dahiku saat Ku lihat sosok yang menemani bu Salsa, kini ikut masuk dengan gagah.“Selamat siang!” ucapnya dengan tersenyum ramah, namun tak serta merta membuat kami balas beramah tamah.“Kok pada tegang banget, enggak ada yang jawab sapaan Saya?” tanya petugas berbaju coklat itu. Di dadanya, tertulis nama Irwan P.“Siang!” jawab teman-temanku serentak, kecuali Aku.“Silakan Bu, sambil duduk saja!” Pak Yahya menyodorkan kursi miliknya kepada bu Salsa.
Rasanya darahku terasa membeku, nafas pun serasa tak bisa lagi ku hirup saat mendengar tudingan Salwa tepat kepadaku.“Benarkah itu, Lea?” tanya pak Yahya, diangguki oleh bu Salsa.“Hah?”Hanya kata itu yang keluar dari mulutku sebagai pengganti jawab yang tak bisa kuungkapkan.“Benar kamu yang bersama-sama dengan Andin saat hari terakhir Ia bersekolah?” tanya bu Salsa mempertegas.Aku tak mampu menjawab setiap tanya, baik itu dari pak Yahya atau pun bu Salda. Rasanya ingin segera berlari dan meninggalkan tempat ini sejauh mungkin.“Ya, Aku juga lihat. Tapi, seingatku... kalau enggak salah kalian berpisah di depan gerbang sekolah ya, Lea?” tanya Rafael seolah menciptakan oase di tengah gurun yang tandus.Meskipun begitu, hanya anggukan yang bisa kusuguhkan untuk ucapan Rafael yang menurutku seperti sebuah pembelaan.Pak Yahya mendekati bu Salsa dan membisikannya sesuatu, “Bu, sepertinya Alea tidak bisa dibawa ke
Kepala terasa berat, mata tak bisa melihat apapun, semuanya nampak gelap. Rasa dingin menusuk sampai ke sumsum tulang ku. Sedetik ku kerjapkan mata, sekedar mencari cahaya yang mungkin bisa kutemukan.“Aku di mana?" lirihku. Aku mencoba memegang kepala yang terasa begitu sakit dan berat, "Sakit. Aduh!” rengekku.Aku meraba segala yang ada di sekitarku, “ Di mana ini?” monologku. Tempat ini terasa sempit dan entah di mana. Aku mencoba bangkit, kemudian duduk hanya sekedar mengembalikan kestabilan tubuh.Meskipun kepala masih sangat berat, tapi Aku berusaha mengingat apa yang terjadi, “Aku di toilet,” ucapku mengingat kejadian terakhir tadi, seraya mengedarkan pandangan, namun tetap saja tak ada cahaya yang bisa kulihat. Dengan sekuat tenaga, Aku bangkit meraba bagian tembok yang ku perkirakan sebagai pintu. Ku raba bagian selot kunci.Klik.. Aku membuka selot kunci pintu wc sampai terbuka.Krieeettt...Sedikit demi sedikit pintu ku buka sampai akhirnya terbuka semua. Sama saja, gelap
"Dicariin sama siapa?” tanyaku sedikit panik. Aku betul-betul kaget dan merasa takut jika yang mencariku adalah polisi.Memang tak salah, orang yang merasa memiliki kesalahan pasti akan merasa takut dengan sesuatu hal yang ada kaitannya dengan kesalahannya, termasuk Aku. Aku memang takut jika nanti terseret dengan kasus Pak Rafli dan Andien. Pasalnya, Aku memang sempat akan menikah dengan turis asing. Bahkan, Aku sempat di belanjakan baju dan salon.“Itu... si Agus."Mang Ujang mengemukakan tentang siapa yang tadi dikatakan mencariku.“Emangnya si Agus mau ngapain nyariin Neng Lea? " tanya Mang Ujang kepada sekuriti lainnya, sekuriti yang tadi memergoki ku keluar dari toilet.“Katanya... mau nengokin Ibu nya Neng Lea yang baru dioperasi. Tapi orangnya malah nggak ada,” sahut Mang Parmin lagi membuat aku sedikit bernafas lega. Bagaimana tidak, Aku sudah mengira akan hal yang tidak tidak, namun ternyata Agus mencariku karena Ia ingin menjen
“Mang, kenapa ke sini?” tanya ku sambil menepuk-nepuk pundak Mang Parmin yang sedari tadi nyerocos kaya kereta api, serta tidak mendengarkan ucapanku.“Loh, memangnya salah? Kita mau ke rumah sakit umum kan?” tanya Mang Parmin masih melajukan motornya, namun sedikit melambat.“Bukan Mang, rumah sakit kota,” sahut ku sedikit kesal.“Euleuh, Mamang kira rumah sakit umum. Atuh rumah sakit kota mah elit, Neng!” ucap Mang Parmin seraya memutar balik. Dua rumah sakit itu memang berlawanan arah.“Maaf ya, Mang. Tadi Lea enggak bilang dari awal,” ucapku malahan merasa bersalah. Perasaan bersalah ini karena dua hal, karena tak memberitahunya dari awal dan karena sempat berprasangka buruk kepadanya. Berprasangka kalau Mang Parmin justru akan berbuat jahat.Akhirnya, Mang Parmin kembali melajukan motor ke arah yang lain. Sampai di tikungan dari arah sekolah tadi, Mang Parmin pun kembali bercerita dan menunjuk ke arah tikungan yang akan kami lewati.