Oh, Tuhan! Dua makhluk ini tidak bisa dihilangkan untuk sementara waktu kah?“Gue pernah putus cinta dan nangis semalaman, kurang lebih begini, sih, kondisi gue waktu itu,”lanjut Dian. Meringis kecil saat mengingat naas nya kisah cintanya.“Gue juga, sih. Tapi, bukan putus cinta, ya. Gue dulu pernah nangis semalaman karena dimaki sama Pak Mungga.” Telunjuknya mengacung pada wajah Jena. “Ya kayak begini juga kondisinya.”Dian menggeser lebih dekat kursinya, lalu meneleng. “Bisa dibuka dulu ngga kaca matanya? Siapa tau ada beleknya?”Heh?! Mbak Nurul mengangguk, lalu bersidekap. “Coba dibuka aja dulu, Je. Siapa tahu lebih parah dari pada kita.”Jena melepaskan nafas kasarnya. Lalu, memandangi kedua tatap mata yang tertuju padanya seakan-akan dia sedang diintrogasi. Namun, sebelum dia menjawab pertanyaan tidak penting itu, pandangannya tertuju pada seseorang yang mondar-mandir di depan pintu divisi pemasaran sambil menempelkan ponselnya di telinga. Kayak nggak ada tempat lain aja.Mbak
Ya ampun! Kenapa, sih, Jena harus berhubungan lagi dengan lelaki brengsek itu? Memangnya tidak ada kah teman yang lain yang bisa Dinda minta tolong selain dia? Kenapa, sih?“Pliss, Je …”Menyebalkan! Sungguh menyebalkan! Jena mengangguk pasrah sambil memalingkan wajah muaknya. Dia tidak punya alasan untuk menolaknya. Mengingat Dinda tengah ada acara keluarga malam ini. Kalau tidak, tidak mungkin perempuan itu meminta tolong padanya, kan?Jadi, dalam waktu tiga puluh menit, Jena telah sampai di depan sebuah pintu. Memencet bel berulang kali. Sekali. Dua kali. Sampai sepuluh kali. Tidak dibuka!Jena menggerutu kesal. Harus kah dia masuk begitu saja? Masuk, lalu meletakkan map itu di atas meja, kemudian pulang? Begitu kah?Tangan Jena mulai terangkat, menekan digit-digit angka yang pernah dia lihat saat lelaki itu menekannya. Lalu, pintu pun berdenting dan terbuka perlahan. Jena menunduk untuk memastikan penampilannya tidaklah buruk di malam ini. Lalu, mengangkat wajah sambil mendorong
“Siapa lelaki itu? Apakah Brian?” “Iya.”“Kalau kamu mencintainya, beritahukan dia soal ini. Jangan kamu pendam sendiri.”Jena menutup laptopnya yang seharian ini telah menemaninya. Sudah dua Minggu setelah percakapan itu, dia merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan Brian. Alias, Brian tidak boleh mengetahui apapun. Dan Jena, memutuskan untuk tidak lagi memiliki hubungan apapun lagi dengan pria itu. Tangannya baru saja menurunkan kaca mata bulatnya. Menggerai rambutnya yang seharian ini dicepol. Matanya melihat bagaimana dirinya tetap terlihat fresh meski waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.Dian baru saja melewati kubikelnya. “Wiiih … mau nge-date lo?”tanya nya sambil mengunyah sisa cemilannya. Jena mengernyit, lalu menggeleng. Tangannya sempat masuk ke dalam kemasan cemilan Dian. “Gue mau pulang lah, istrahat. Muak banget sama pekerjaan ini.”Dian melepaskan tawanya sampai terbatuk. Setelah meminum air putih, dia kembali berbicara. “Gue pikir mau ngedate. Kan
Jena tidak tahu. Dia penuh kekalutan saat perutnya mendadak sakit. Melilit. Dan dia hanya memekik sendirian sambil memegangi perutnya. Tubuhnya meliuk, dia mencoba untuk merubah posisi, percuma … perutnya masih sakit. Malah semakin sakit.Sakit yang tidak tertahankan sampai Jena memilih untuk mengganti posisi. Dia duduk sambil berselonjor. Matanya mengerjab pelan saat tahu pandangannya memburam. Dia menggelengkan kepalanya pelan. Sekali. Dua kali. Pandangannya tetap buram.Sebelum pandangannya menggelap, dia merasakan sesuatu mengalir di balik celana pendeknya.***Jena merasakan kepalanya begitu sakit. Beriringan dengan aroma obat-obatan yang tiba-tiba menyeruak, menusuk indra penciumannya. Dia mencoba untuk bergerak, namun tidak bisa. Dia mendengar ayahnya menangis. Dapat dia rasakan kepalanya diusap pelan oleh tangan penuh kasih sayang itu. Jena mendengar kalimat maaf yang diucapkan berulang kali. Matanya terasa sangat berat, bahkan hanya untuk terbuka dan melihat. Telinganya men
Dua. Garis. Merah. Tercetak tebal di bagian tengah benda pipih kecil itu. Rongga dadanya terasa dipukul dengan benda tumpul. Untuk sementara waktu dia menganga dengan mata terbelalak. Tangannya bergerak naik hanya untuk memastikan kembali bahwa penglihatannya tidak buruk. Jadi …, memang benar bahwa dia sedang hamil, kan?Makanan favorit yang tiba-tiba berubah, pusing yang kadang menyerang di waktu pagi, ternyata bukan masalah sepele. Melainkan faktor akibat dari sesuatu yang telah berada di dalam rahimnya.Rasanya dunianya hancur lebur dalam satu waktu. Punggungnya menyender lemas di dinding kamar mandi. Benda pipih itu sudah dia masukkan ke dalam tong sampah. Kini, matanya memandangi dirinya yang mengenaskan di cermin dengan tatapan kosong.Dia menyesali perbuatannya di malam itu.Ah!Jena!Perempuan itu terisak dengan kedua tangan yang menutupi wajah. Memikirkan nasib keluarganya yang mungkin akan bertambah parah jika aibnya terbongkar. Memikirkan bagaimana ayahnya akan menanggun
Dia membukanya lagi selembar demi selembar. Tidak ada yang patut dicurigai. Brian tampak biasa saja di gambar itu. Layaknya sedang berbicara dengan seorang rekan, kan? Lalu, motif apa seseorang yang tidak ingin diketahui itu mengirimkan gambar Brian padanya?Dua mangkok mie instan diletakkan di atas desk. Lalu, Mbak Nurul menarik kursi untuk duduk di sebelah Jena. Dia melongok sebentar, ikut memandangi foto yang masih dipegang Jena. “Brian?”Jena mengangguk. Lalu, memperlihatkan foto-foto itu pada Mbak Nurul. “Lihat deh, Mbak. Nggak ada yang aneh, kan?”Mbak Nurul melihat kembali, lalu mengangguk. “Nggak ada yang aneh. Brian emang gitu kalau lagi jelasin pekerjaan ke rekan-rekannya.” Tangannya sudah mengaduk mie instan yang kecap dan saos yang belum menyatu.Melihat itu, Jena menelan ludahnya. Tangannya menunjuk mangkok lain yang berada di hadapnya. “Yang ini punya siapa, Mbak?”“Punya Lo. Gue takut Lo ambil mie instan punya gue lagi, jadi gue pesan dua.”Jena berseru antusias. “Wiihh