Pov Dewi Senyumku terukir sempurna. Akhirnya obat tidur yang diam-diam kumasukkan ke dalam minumannya bekerja cepat. Gak sia-sia aku bolak-balik untuk meyakinkan dia kalau aku sudah berubah. Aku tak mau hancur sendirian. Jika aku tak bisa mendapatkan Dion, maka dia pun tidak. Mau seperti apapun kehidupannya sekarang, Dia tetap hanyalah seorang anak dari tukang nasi uduk dan juga penjaga sekolah. Semua statusnya sekarang tak akan merubah apapun juga. Lekas aku menelpon Indra---teman nongkrong yang dulunya kakak kelas di SMA, usianya terpaut dua tahun di atasku. Beberapa hari lalu tak sengaja dipertemukan ketika dia sedang menggalau karena ditinggal selingkuh oleh pacarnya. Dia bukan orang bajingan, hanya saja dia butuh teman di atas ranjang untuk membalas sakit hati pada perempuan yang sudah membuat dia terluka itu, itu katanya. Aku yakin, jika pada akhirnya Ayu minta dinikahi, maka Indra pun akan bersedia. Kurang baik apa aku? Bahkan sampai memikirkan siapa yang akan bertanggung ja
Pov Dewi “Iy--Iya, Yon! Makasih sudah nolong kami, tapi jangan bunuh dia. Aku gak mau kamu dipenjara!” tukasku seraya menelan saliva. Senyuman miring terukir pada wajah Dion, lalu dia menatapku tajam. Jujur, debaran dalam dada berdentuman tak karuan. “Hanya saja, gue justru sebaliknya! Gue ingin, lo dan dia dipenjara!” Ucapan itu berubah menjadi bentakan. Dan satu dorongan kasar kembali kurasakan, bersamaan dengan menjauhnya tubuh Dion dan dia tampak menelpon seseorang. Mendengar kata-kata yang terucap dari mulut Dion, sontak aku terkesiap. Apakah aktingku kurang meyakinkan? “K--Kok gitu s--sih ngomongnya, Yon?” Aku terbata. Dia hanya melirik sinis seraya mematikan panggilan telepon. Entah siapa yang dia hubungi. Dia pun melirik Indra yang masih sempoyongan. Lelaki itu baru saja hendak bangun ketika tanpa dia duga, Dion melangkah cepat memburunya dan menghadiahi tendangan kencang yang mengenai alat vitalnya. Lengkingan penuh kesakitan terdengar bersama tubuh Indra yang kembali a
Pov Dion “Hallo, Bos! Baru saja polisi keluar dari rumah Non Dewi. Sepertinya Beliau sudah digiring ke mobil polisi!” Suara Panji---orang yang sudah lama menjadi tangan kananku melaporkan dengan jelas. “Oke, makasih ya, Bang!” Begitulah sebutanku pada lelaki asal Palembang tersebut. Aku menutup panggilan. Lantas kusandarkan tubuh pada dinding apartemen milik Papa di mana Ayu masih terlelap. Harum yang tadi kuminta panji jemput tak bisa datang. Bingung, canggung, itulah yang aku rasakan sekarang. Dia masih terbungkus seprai seperti ketika tadi aku menolongnya. Sementara itu, pakaiannya kutumpuk di tepi tempat tidurnya. Gak ada keberanian untukku memakaikan set pakaian itu pada badannya. Yuu, please cepetan bangun! Duh, kok tidurnya pules banget, sih!Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Beberapa kali aku mencoba bangunkan, tetapi dia hanya menggeliat, lalu kembali terlelap. Seolah tak kuat menahan kantuk yang menggelayut begitu hebat. Semakin aku mencoba membangunkannya, sema
“Yu, kaki kamu kenapa? Sakit?” Dion tampak kaget dan memburu ke arahku. Tak menyangka, wajahnya tampak cemas. Namun sayang tak tampak sedikitpun menunjukkan rasa bersalah setelah apa yang dia lakukan padaku. “Gak usah sok peduli! Luka yang kamu torehkan di sini jauh lebih menyakitkan! Buka pintunya! Aku mau pulang!” teriakku. Sesak, sesak sekali di dalam dada. Kulihat dia hanya menghela napas kasar. Dion seolah tak acuh akan teriakanaku. Tatapannya beralih pada darah yang tercecer. Lalu tanpa kata, dia lekas membuka lemari pakaian yang ada di ruangan ini. Lalu dia kembali dengan membawa kotak P3K. “Kaki kamu luka, Yu. Aku obatin dulu, nanti infeksi.” “Aku mau pulang! Buka pintunya sekarang!” Aku tak peduli lagi atas sikapnya yang masih sok baik. Rupanya selama ini aku sudah salah menilai Dion. Kukira dia adalah lelaki baik, lelaki yang pantas mendiami relung hatiku hingga tujuh tahun lamanya aku tak bisa berpaling dari sosoknya. Namun, kenyataan hari ini benar-benar membuatku sho
“Susah kalau aku harus percaya semudah itu dengan apa yang kamu katakan, Yon! Sedangkan mata kepalaku melihat sendiri kamu tengah melakukan hal tak senonoh itu padaku. Bahkan kemejaku masih ada dalam tanganmu. Lalu apa bisa aku percaya dengan serangkaian cerita tadi?” Kuhela napas panjang setelahnya. Hatiku masih carut marut dan dilemma. “Otakku masih belum bisa mengurai semuanya, Yon. Dalam benakku, kamu tetap sudah menyentuhku! Kamu hendak mengambil kesempatan dariku ….” lirihku. “Aku tak tahu lagi harus buat kamu percaya seperti apa, Yu! Kalau kamu gak rela karena berpikir jika aku sudah menyentuhmu, maka tak ada cara lain, aku akan secepatnya bertanggung jawab. Kita akan menikah.” “Antarkan aku pulang! Aku mau pulang.” Aku bicara tanpa menatap wajahnya. Hati masih bergemuruh hebat. Otak, sedang tak bisa mencerna semuanya dengan baik. Namun aku yakin, diri ini masih suci. “Kita makan dulu, Yu.” Kudengar suaranya yang tetap lembut. “Aku gak lapar. Aku mau pulang.” Dia menghe
“Tadi Bi Ais ke sini dan nunjukkin ini, Yu!” Ibu mengangsurkan gawai miliknya dan menunjukkan foto-foto dalam pesan whatsapp. “Astaghfirulloh, Bu!” Aku tercekat. Rasanya wajah ini langsung memanas. Aku menggeleng perlahan dan menggigit bibir bawah. Ribuan godam terasa menghantam ulu hati bergantian. Menimbulkan nyeri dan sakit yang luar biasa. Aku luruh ke lantai seraya menatap ulang satu persatu gambar yang Ibu tunjukkan. “G--gak m--mungkin … I--ini g--gak mungkin.” Ibu meraihku dan memapahku untuk bangun. “Kenapa kamu bisa berbuat seperti itu dengan lelaki tersebut? Siapa dia?” Suara Ibu pun tak kalah bergetar. Aku menggeleng pelan. Rasanya tak pernah terekam dalam memoriku kalau aku melewati momen menjijikkan itu. Hanya saja malam tadi aku memang bersama Dion, tetapi lelaki dalam foto ini sepertinya bukan dia, meskipun yang terlihat hanya bagian belakang tubuhnya saja, tetapi aku bisa membedakannya. “Ayu gak tahu, Bu. I--ibu dapat dari mana foto itu?” Gelengan kepala perlaha
Harapanku terlalu melambung tinggi sepertinya. Kedua tangan ini dengan ringan membuka pintu. Berharap sosok tinggi tegap itu tengah tersenyum dan menungguku. Setidaknya, aku memiliki kekuatan ketika Dion di sisiku. Namun, aku harus menelan kecewa. Mematung sejenak ketika melihat sosok yang disambut Ibu dengan hangat. “Sehat?” tuturnya. “Alhamdulilah, sehat, Pak Faqih. Mari duduk!” Wajah sumringah Ibu ketika mempersilakan lelaki yang datang dengan kemeja abu-abu lengan pendek dan celana bahan itu pun begitu kentara. Seolah tengah menemukan jarum yang terselip di antara tumpukkan jerami. Aku lekas mundur lagi ke belakang beberapa langkah, berniat hendak bersembunyi kembali ke dalam kamar. Namun, sepertinya Ibu sudah berdiri di ambang pintu. Kudengar titahnya memanggil.“Ayu, buatin minum dulu buat Pak Faqih,” tuturnya. “Iya, Bu.” Akhirnya itu yang aku ucapkan. Lekas beranjak ke dapur dan membuatkannya teh manis hangat dalam cangkir keramik bermotif bunga. Kubuka tudung saji, rupan
Ah, bahkan security itu tampak tak bisa menyembunyikan rasa bahagia atas kabar pernikahan ini, apalagi Tante Lani---ibunya Dion yang jelas menentang hubungan kami. Apakah aku harus menerobos ke dalam untuk memastikan atau pulang dan menerima jika semua ini sudah berakhir, dan perjuangan kami hanya sampai di tengah jalan? “Mbak, maaf. Sebaiknya Mbak lain kali saja ke sininya. Nanti saya dimarahi kalau ketahuan ada orang berlama-lama depan gerbang, Mbak. Di dalam sedang ada acara penting. Keluarga Non Viona juga gak suka kalau ada orang yang membocorkan acara ini ke publik, sebelum dia mengumumkannya resmi.”Aku tersenyum kecut, tetapi pastinya hanya aku saja yang bisa melihatnya karena senyumanku tertutup masker. “Apa boleh saya bertemu dengan Dion, Pak. Saya mohon.” Pada akhirnya aku sudah menggadaikan rasa malu dan takut ini. Security itu terdiam dan menatap heran. “Katanya tadi dipanggil Bu Lani buat bersih-bersih? Sekarang dipanggil Mas Dion.” Dia tampak heran. “S--saya … hmmm