“Hmmm, saya mau bertanya satu hal, boleh, Pak?” Setelah mengumpulkan keberanian, aku mencoba mengutarakan pertanyaan. Dari pada semua itu hanya menjadi prasangka tak berujung. Sebaiknya aku tanyakan saja. Ya, walaupun misalkan memang antara Pak Faqih dengan Tante Lani ada apa-apa. Dia pastinya akan mencari alasan lain untuk mematahkannya. “Jangankan satu, mau sepuluh juga boleh, kok.” Kulihat seulas senyum menghias bibirnya. “Pagi ini saya lihat mobil Bapak di halaman rumah Dion. A--apa saya boleh tahu, ada urusan apa Bapak dengan keluarga Pak Subekti?” Akhirnya rasa penasaran yang sejak tadi kupendam, tertuntaskan sudah. Aku menunggu jawaban Pak Faqih dengan hati berdebar. Dia terdiam sejenak, lalu menggaruk kepala. Aku masih menunggu jawabannya ketika tampak dia tengah menunduk sebentar. Namun tak lama, dia sudah kembali mengangkat wajah dan mengulas senyuman. “Oh itu, tadi ada urusan pengadaan fasilitas sekolah, kebetulan ‘kan Pak Subekti anggota dewan. Jadi berharapnya, sih, d
Pov Dion “Aku tak tahu lagi harus buat kamu percaya seperti apa, Yu! Kalau kamu gak rela karena berpikir jika aku sudah menyentuhmu, maka tak ada cara lain, aku akan secepatnya bertanggung jawab. Kita akan menikah.” Kalimat itu berulang-ulang terngiang dalam benak. Pesawat yang membawaku pulang menuju tanah air terasa sangat lambat. Padahal perjalanan Singapura-Indonesia hanya butuh waktu dua jam saja. Semua ini karena Mama, dia membuat aku terjebak dalam semua ini. Bahkan selama di Singapura, aku sama sekali seperti orang linglung. Gawai yang tertinggal membuat aku tak bisa berkomunikasi dengan siapapun. Sialnya lagi aku baru saja melempar janji pada seseorang lalu kemudian menghilang dengan mendadak. Kepanikan Mama mendengar Nenek yang sakit keras dan terjatuh di kamar mandi membuat Mama mengirimku cepat. Bahkan rupanya ticket sudah dia siapkan. Awalnya, katanya Mama yang hendak pergi, tetapi karena Papa ada kunjungan dinas ke luar pulau. Mama memohon agar aku segera berangkat
Pov DionSakit terasa menjalar hingga ke lubuk hati paling dalam. Aku menelan saliva dan mencoba menahan gejolak yang bermuara. “K--kenapa, Bu? Kenapa Ayu begitu tega mengkhianati hubungan kami? Kenapa, Bu? Kenapa?! Apakah ada lelaki lain yang begitu mudah membuat Ayu jatuh cinta? Ternyata aku salah, selama ini kukira dia tipe perempuan setia yang menjaga marwahnya. Namun, ternyata sama saja.” Aku tersenyum getir mendapat kenyataan yang sangat membuat anganku tertampar. Dia sudah menerima khitbah dari orang lain. Secepat itu. “Katakan padaku, Bu! Katakan, siapa lelaki itu?” Aku kembali menatap Ibu. Perempuan yang mengatakan kalimat itu dengan begitu ringan. Seolah perasaanku untuk Ayu hanya sebuah permainan.“Kamu jangan sembarangan menilai Ayu. Tak ada asap kalau tak ada api. Siapapun lelaki itu, Kamu tak bisa mengubah lagi keputusan Ibu. Ibu sudah memberikan restu pada mereka. Menikah itu tak hanya sekadar mencintai pasangan, tetapi membuatnya nyaman di tengah keluarga barunya! I
Pov - Dion“Assalamu’alaikum, Ma! Dion. Boleh masuk!” Aku mengetuk daun pintu. Tak berapa lama kudengar derit daun pintu yang terbuka. Namun alangkah terkejutnya aku melihat sosok yang berdiri di depanku dengan senyum manisnya. Rencana apa lagi sebetulnya yang tengah mereka buat untukku? “Hay, Dion!” “Vio? Lagi ngapain di sini?” Aku menatap datar pada perempuan yang mengenakan dress di atas lutut itu. Seleranya Mama ya yang modelan Dewi sama Vio memang. Entah kenapa, padahal dia sesama perempuan, tetapi malah pada suka yang kurang-kurang bahan.” “Mama sakit, Yon. Badannya dari malem panas banget. Ini masih aku kompres.” Viona menunjukkan handuk kecil yang tampak masih basah pada tangannya. Aku menautkan alis, menatap wajah Mama yang tampak tak ada pucat-pucatnya. Namun, karena Viona mengatakan Mama sakit, lekas aku mendekat. “Mama sakit apa?” tanyaku. Bukan khawatir, tetapi justru malah curiga. “Gak tahu, Yon. Dari malem badan Mama meriang, panas dan dingin. Untung ada Viona m
Aku menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Mengintip dari balik tirai dengan mata berkaca-kaca. Kepergian Dion menoreh luka dan membawa sekeping asa. Punggungnya sudah menghilang di tikungan ketika kututup rapat kembali gorden kain yang menjadi tempatku bersembunyi. Tak terasa ada tetes hangat yang menyeruak, mengalir pada sudut mata kemudian berjatuhan. Kuseka dengan punggung tangan seraya menunduk dan berjalan menuju kamar. Kututup pintu kamar rapat-rapat, kerebahkan tubuh yang terasa lemas. Kembali terngiang penggalan kalimatnya yang membuatku tercengang. “Denger, Yu. Aku gak tahu menahu tentang pertunangan itu. Asal kamu tahu. Hari ini, aku baru pulang dari Singapura. Nenek jatuh dari kamar mandi dan Mama memintaku pergi.” “Kamu melihat mobil keluarga Viona mungkin benar! Tapi apa kamu melihatku, Yu?! Pasti enggak ‘kan? Aku harap kamu tunggu aku. Akan kuurus semua ini dengan Mama! Kamu masih cinta sama aku ‘kan, Yu?” “Aku mencintai kamu, Yu! Bukan Viona! Tolong beri kesem
Ah, benar saja. Aku sudah tertinggal. Lekas aku maju dan membayar di kasir. Sesekali aku masih melirik ke arah mereka. Sepertinya aku harus menguntitnya. Aku harus mengetahui apakah ada kebenaran lain yang disembunyikan Pak Faqih dariku? Akhirnya acara bayar membayar pun selesai. Si*lnya, mereka sudah menghilang. Lekas aku berjalan mencari keberadaan dua orang itu. Aku harus mendapatkan sesuatu. Kutelusuri lorong-lorong mall. Lekas aku memakai masker yang tadi kugunakan untuk berkendara. Setidaknya, aku merasa sedikit aman ketika wajah ini terlindung masker. Ke mana mereka? Rupanya terlalu cepat mereka menghilang. Aku, bahkan tak bisa aku menemukannya. Harusnya aku pulang saja dan tengah bercerita dengan Harum, sekarang. Namun, rasa penasaran yang menggebu membuat aku memutuskan untuk mengabaikan rencana awalku. “Baru keluar dari tempat makan? Berarti ‘kan sudah pertemuannya? Kalau mereka pergi, berarti ada kemungkinan pulang atau pindah tempat? Hmmm, belanja, misalnya.” Aku meng
“Ayo dimakan dulu, Ay.” Lagi-lagi dia memanggilku, Ay. Dasar. “Hmmm … sebelum makan, boleh gak aku minta sesuatu?” tanyaku dan menatapnya lekat. “Minta apa?” Dia bertanya santai sambil mengambil sumpit makan miliknya. “Aku mau dengerin hasil sadapan suara Tante Lani dengan Pak Faqih sekarang, bisa?” tanyaku padanya.“Kasih tahu aku, kenapa kamu ingin mendengarkan suara rekaman ini?”Pertanyaan Dion sontak membuat otakku berputar untuk mencari jawaban. “Ahmmm … kenapa memangnya kamu tanya gitu? Gak bolehkah aku ingin dengar?” Aku sengaja bertanya kembali. Rasanya gak ada gunanya juga Dion tahu alasanku. “Bukan gak boleh dengar. Hanya saja, aku hanya akan memberikan file rekaman suara ini pada orang yang berkepentingan.” “Aku berkepentingan.” Aku menjawab cepat. “Kepentingan untuk apa?” Dia menatapku lagi. Kok jadi menyebalkan kayak gini, sih?Aku diam, menghela napas kasar lalu kubuang. Melihat aku terdiam, kudengar, Dion kembali membuka suara.“Apakah setelah mendengar file reka
“S--saya b--bisa jelaskan, Yu! Jangan salah paham!” Suaranya terdengar gemetar. Aku tersenyum hambar. “Bapak tak perlu menjelaskan apapun karena saya sudah telanjur meragukan ketulusan Bapak dalam pernikahan ini. Saya merasa, Bapak hanya menjadikan saya alat agar Bapak bisa segera naik jabatan dengan memisahkan saya dengan Dion. Saya yang awalnya tersanjung dipinang oleh orang sebaik Bapak, kini merasa kecewa dan saya meminta agar Bapak segera membatalkan pinangan Bapak pada saya dan rencana pernikahan kita batal.” Entah dari mana keberanian tiba-tiba muncul begitu saja. Aku begitu lancar bicara dan mengucapkan kalimat seberani itu. Suasana meja makan menjadi hening. Semua saling terdiam dan menyimpan sendok seperti kehilangan selera makan. Aku yang baru saja dikuasai rasa sedih, kecewa dan emosi menatap orang tua Pak Faqih dan adik-adiknya yang sudah begitu baik. “Maafkan saya, Pak, Bu! Maafkan saya kelepasan.” Lantas aku beranjak setelah mohon diri. Perasaan campur baur tak ka