Pov DionSakit terasa menjalar hingga ke lubuk hati paling dalam. Aku menelan saliva dan mencoba menahan gejolak yang bermuara. “K--kenapa, Bu? Kenapa Ayu begitu tega mengkhianati hubungan kami? Kenapa, Bu? Kenapa?! Apakah ada lelaki lain yang begitu mudah membuat Ayu jatuh cinta? Ternyata aku salah, selama ini kukira dia tipe perempuan setia yang menjaga marwahnya. Namun, ternyata sama saja.” Aku tersenyum getir mendapat kenyataan yang sangat membuat anganku tertampar. Dia sudah menerima khitbah dari orang lain. Secepat itu. “Katakan padaku, Bu! Katakan, siapa lelaki itu?” Aku kembali menatap Ibu. Perempuan yang mengatakan kalimat itu dengan begitu ringan. Seolah perasaanku untuk Ayu hanya sebuah permainan.“Kamu jangan sembarangan menilai Ayu. Tak ada asap kalau tak ada api. Siapapun lelaki itu, Kamu tak bisa mengubah lagi keputusan Ibu. Ibu sudah memberikan restu pada mereka. Menikah itu tak hanya sekadar mencintai pasangan, tetapi membuatnya nyaman di tengah keluarga barunya! I
Pov - Dion“Assalamu’alaikum, Ma! Dion. Boleh masuk!” Aku mengetuk daun pintu. Tak berapa lama kudengar derit daun pintu yang terbuka. Namun alangkah terkejutnya aku melihat sosok yang berdiri di depanku dengan senyum manisnya. Rencana apa lagi sebetulnya yang tengah mereka buat untukku? “Hay, Dion!” “Vio? Lagi ngapain di sini?” Aku menatap datar pada perempuan yang mengenakan dress di atas lutut itu. Seleranya Mama ya yang modelan Dewi sama Vio memang. Entah kenapa, padahal dia sesama perempuan, tetapi malah pada suka yang kurang-kurang bahan.” “Mama sakit, Yon. Badannya dari malem panas banget. Ini masih aku kompres.” Viona menunjukkan handuk kecil yang tampak masih basah pada tangannya. Aku menautkan alis, menatap wajah Mama yang tampak tak ada pucat-pucatnya. Namun, karena Viona mengatakan Mama sakit, lekas aku mendekat. “Mama sakit apa?” tanyaku. Bukan khawatir, tetapi justru malah curiga. “Gak tahu, Yon. Dari malem badan Mama meriang, panas dan dingin. Untung ada Viona m
Aku menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Mengintip dari balik tirai dengan mata berkaca-kaca. Kepergian Dion menoreh luka dan membawa sekeping asa. Punggungnya sudah menghilang di tikungan ketika kututup rapat kembali gorden kain yang menjadi tempatku bersembunyi. Tak terasa ada tetes hangat yang menyeruak, mengalir pada sudut mata kemudian berjatuhan. Kuseka dengan punggung tangan seraya menunduk dan berjalan menuju kamar. Kututup pintu kamar rapat-rapat, kerebahkan tubuh yang terasa lemas. Kembali terngiang penggalan kalimatnya yang membuatku tercengang. “Denger, Yu. Aku gak tahu menahu tentang pertunangan itu. Asal kamu tahu. Hari ini, aku baru pulang dari Singapura. Nenek jatuh dari kamar mandi dan Mama memintaku pergi.” “Kamu melihat mobil keluarga Viona mungkin benar! Tapi apa kamu melihatku, Yu?! Pasti enggak ‘kan? Aku harap kamu tunggu aku. Akan kuurus semua ini dengan Mama! Kamu masih cinta sama aku ‘kan, Yu?” “Aku mencintai kamu, Yu! Bukan Viona! Tolong beri kesem
Ah, benar saja. Aku sudah tertinggal. Lekas aku maju dan membayar di kasir. Sesekali aku masih melirik ke arah mereka. Sepertinya aku harus menguntitnya. Aku harus mengetahui apakah ada kebenaran lain yang disembunyikan Pak Faqih dariku? Akhirnya acara bayar membayar pun selesai. Si*lnya, mereka sudah menghilang. Lekas aku berjalan mencari keberadaan dua orang itu. Aku harus mendapatkan sesuatu. Kutelusuri lorong-lorong mall. Lekas aku memakai masker yang tadi kugunakan untuk berkendara. Setidaknya, aku merasa sedikit aman ketika wajah ini terlindung masker. Ke mana mereka? Rupanya terlalu cepat mereka menghilang. Aku, bahkan tak bisa aku menemukannya. Harusnya aku pulang saja dan tengah bercerita dengan Harum, sekarang. Namun, rasa penasaran yang menggebu membuat aku memutuskan untuk mengabaikan rencana awalku. “Baru keluar dari tempat makan? Berarti ‘kan sudah pertemuannya? Kalau mereka pergi, berarti ada kemungkinan pulang atau pindah tempat? Hmmm, belanja, misalnya.” Aku meng
“Ayo dimakan dulu, Ay.” Lagi-lagi dia memanggilku, Ay. Dasar. “Hmmm … sebelum makan, boleh gak aku minta sesuatu?” tanyaku dan menatapnya lekat. “Minta apa?” Dia bertanya santai sambil mengambil sumpit makan miliknya. “Aku mau dengerin hasil sadapan suara Tante Lani dengan Pak Faqih sekarang, bisa?” tanyaku padanya.“Kasih tahu aku, kenapa kamu ingin mendengarkan suara rekaman ini?”Pertanyaan Dion sontak membuat otakku berputar untuk mencari jawaban. “Ahmmm … kenapa memangnya kamu tanya gitu? Gak bolehkah aku ingin dengar?” Aku sengaja bertanya kembali. Rasanya gak ada gunanya juga Dion tahu alasanku. “Bukan gak boleh dengar. Hanya saja, aku hanya akan memberikan file rekaman suara ini pada orang yang berkepentingan.” “Aku berkepentingan.” Aku menjawab cepat. “Kepentingan untuk apa?” Dia menatapku lagi. Kok jadi menyebalkan kayak gini, sih?Aku diam, menghela napas kasar lalu kubuang. Melihat aku terdiam, kudengar, Dion kembali membuka suara.“Apakah setelah mendengar file reka
“S--saya b--bisa jelaskan, Yu! Jangan salah paham!” Suaranya terdengar gemetar. Aku tersenyum hambar. “Bapak tak perlu menjelaskan apapun karena saya sudah telanjur meragukan ketulusan Bapak dalam pernikahan ini. Saya merasa, Bapak hanya menjadikan saya alat agar Bapak bisa segera naik jabatan dengan memisahkan saya dengan Dion. Saya yang awalnya tersanjung dipinang oleh orang sebaik Bapak, kini merasa kecewa dan saya meminta agar Bapak segera membatalkan pinangan Bapak pada saya dan rencana pernikahan kita batal.” Entah dari mana keberanian tiba-tiba muncul begitu saja. Aku begitu lancar bicara dan mengucapkan kalimat seberani itu. Suasana meja makan menjadi hening. Semua saling terdiam dan menyimpan sendok seperti kehilangan selera makan. Aku yang baru saja dikuasai rasa sedih, kecewa dan emosi menatap orang tua Pak Faqih dan adik-adiknya yang sudah begitu baik. “Maafkan saya, Pak, Bu! Maafkan saya kelepasan.” Lantas aku beranjak setelah mohon diri. Perasaan campur baur tak ka
“I--Ibu?” Suaraku bergetar. “M--Maafin Ibu, Yu … maafin Ibu yang sudah egois selama ini …,” lirihnya seraya menyeka air mata yang berjatuhan. “Bu!” Aku bangkit dan menghampiri Ibu. Dia meraih jemariku, lalu kembali mengulangi kalimat itu,”Maafin, Ibu.” Tanpa kusangka, bersamaan dengan itu dia menarikku ke dalam pelukannya. Aku termangu, merasakan air matanya yang hangat membasahi setelan seragamku.“Ibu akan bicara dengan Faqih setelah ini. Maafin Ibu yang sudah egois.” Dia melepas rengkuhannya lalu menjauhkan tubuhnya dariku. Ibu melirik pada Dion, tetapi tak bicara apapun. Dia langsung melengos pergi. Aku masih termangu ketika Dion tiba-tiba sudah berdiri dalam jarak satu hasta dariku. “Sepertinya aku sudah mendapatkan lampu hijau. Kabari jika Ibu sudah menyelesaikan urusanmu dengan Pak Faqih. Ibarat kata pepatah, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Yang lebih cepet ya, yang sambil lari.” Dion terkekeh seraya mengacak pucuk kepalaku. Sempat-sempatnya bergurau tak penti
Pov DionSatu minggu sudah aku menunggu kabar dari Ayu terkait pembatalan pertunangannya dengan Pak Faqih. Rasanya lama sekali. Setiap kali aku mengirimi pesan, dia masih menjawab belum ada lagi tembusan. Hari ini, aku sudah rapi. Akan kutemui Pak Faqih dan bicara sebagai seorang lelaki. Aku pun mengirimi pesan padanya. Dia setuju untuk bertemu di sebuah cafe yang tak jauh dari tempat kami. Aku datang dengan sepeda motor kesayangan. Nampak Brio putihnya sudah terparkir di sana. Gegas aku berjalan menuju ke dalam dan mencari keberadaannya. Lelaki itu tampak tengah duduk bersandar dengan santai dan memainkan gawainya. “Selamat siang, Pak!” sapaku. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang. “Selamat pagi, Yon!” Dia menjawab. Menoleh padaku lalu mempersilakanku untuk duduk. “Oh masih pagi, ya, Pak? Kirain sudah siang.” Aku menarik kursi dan duduk di depannya. “Tergantung, sih. Tergantung dari mana sudut pandang yang melihatnya. Bagi saya masih pagi, masih banyak waktu untuk