“Maafkan aku, Nadia. Aku nggak bisa.” Jus jeruk yang di hadapanku segera kusesap untuk membasahi tenggorokan yang mulai mengering karena mendengar permintaan Nadia, teman SMA-ku.
Ini adalah pertemuan keduaku dengannya, setelah kami bertemu secara tak sengaja dalam suatu acara kantor.
Meski aku dan Nadia teman SMA, dahulu kami tak cukup dekat, namun, sebatas kenal satu sama lain. Aku kenal dia, dan dia pun mengenalku.
Tak kuduga, pertemuan kali ini, dia intens untuk membicarakan teman SMA sekaligus seseorang yang penah singgah namun juga melukaiku. “Ratih, Rizal sudah berubah. Dia minta maaf padamu,” ucap Nadia di sela keraguanku.
Bulan lalu, alumni SMA ku mengadakan reuni. Tentu saja, aku tak berminat untuk datang. Dan gara-gara reuni itu pula, kini Nadia datang dengan misinya.
Bukan tanpa alasan. Usiaku sudah nyaris kepala tiga dan statusku masih sendiri. Ini bukan karena pilihanku, tapi karena takdir memang mengharuskan aku bersabar.
Usia yang kian merangkak, dan tak kunjung datangnya jodoh, membuatku menarik diri dari pergaulan. Meski aku bergabung di grup WA sekolah, aku malas menanggapi percakapan di sana. Bahkan, notifikasi hingga ratusan aku biarkan saja, tanpa berniat membukanya.
Aku selalu dihinggapi ketakutan kalau-kalau dalam grup itu membicarakan tentang statusku. Meski aku tahu, itu bentuk perhatian mereka padaku. Namun, tentu saja, perasaan tak nyaman, membuatku memilih lebih baik untuk tidak berinteraksi. Aku memilih fokus pada karirku, meski semuanya hanya berjalan biasa saja.
Dan kedatangan Nadia dengan niat serius ingin menjodohkanku dengan Rizal, teman SMA kami, seolah membuka luka lama yang sudah kukubur dalam-dalam.
Memoriku kembali ke jaman putih abu-abu.
“Kamu tahu, kenapa Dewi menolakku?” Rizal berdiri di depanku dengan berkacak pinggang.
Suasana sekolah berangsur sepi. Hanya beberapa anak masih main basket di lapangan depan. Dan beberapa pengurus koperasi dan pengurus OSIS yang mungkin masih ada kegiatan.
Aku tak berani menatap pria yang kini menghalangi jalanku. Jantungku berdegup kencang. Ada rasa gugup menyelimuti, membuatku hanya dapat tertunduk. Selama ini, aku tidak pernah terlibat pembicaraan dengan Rizal. Bahkan, membayangkan berbicara dengannya saja, aku tak sanggup.
“Kalau diajak ngomong, lihat aku dong!” gertaknya.
Perlahan aku mendongak. Wajah Rizal memerah. Sepertinya dia menahan geram, membuat nyaliku semakin menciut. Aku hanya mampu menggeleng.
“Aku tahu kamu menyukaiku!” Ucapannya terdengar sinis. Saat aku menatapnya, terlihat sekali senyum miring di bibirnya, membuat hatiku semakin teriris.
“Kalau sampai alasan Dewi nolak aku, karena kamu, kamu akan tahu sendiri akibatnya!” ancamnya sambil menudingkan telunjuk tepat di depan wajahku, hingga membuat aku tersentak kaget.
Rizal membalikkan tubuhnya dengan cepat, dan berjalan meninggalkanku. Dari langkahnya, terlihat sekali dia sangat marah.
Kakiku seolah tak bertenaga. Aku kira, dia mendatangiku untuk menitip salam pada Dewi karena aku sahabatnya. Rupanya, justru dia mengataiku. Apa Dewi memberitahukan perasaanku padanya? Atau, selama ini tingkah lakuku terbaca olehnya?
Aku menarik nafas dalam-dalam.
Apa salahku? Apa aku salah menyukainya? Bukankah cinta tak pernah salah? Andai bisa, mungkin aku juga tak ingin jatuh cinta padanya. Banyak lelaki yang lebih baik dari dia. Kenapa aku harus jatuh cinta padanya?
Sejak tragedy itu, tatapan permusuhan kerap aku terima dari sosok bernama Rizal. Tak sedikit pun senyum bersahabat aku terima. Ini sangat berbeda saat sebelum perasaannya ditolak oleh Dewi.
Dulu, sering dia menyapa. Dan itu juga yang membuatku semakin jatuh hati padanya. Rupanya, aku salah duga. Sapaan itu bukan untukku. Tapi, untuk sahabatku.
Hingga lima tahun berselang, aku bertemu lagi dengan Rizal. Tepatnya saat pernikahan Dewi.
Jantungku berdebar tak karuan, saat menyadari siapa yang sedang menarik kursi dan duduk di sebelahku. Pria yang sama, dengan lima tahun lalu, namun dengan penampilan yang 180 derajat jauh berbeda. Parasnya tak lagi dekil dan kerempeng. Tapi, menjadi pria yang menawan, dengan kulit bersih dan terawat. Inikah yang dimaksud Dewi tadi?
Pria itu segera menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dengan tangan bersedekap.
“Pasti kamu bahagia, temanmu itu sudah menikah.” Aku menatapnya, teringat ucapannya kala SMA. Kalau diajak bicara, harus melihat pada lawan bicara. Bibirnya terlihat miring, seolah sedang mengejek.
“Dia tak pernah menerimaku, karena kamu!” Punggungnya yang tadi menyandar kini sudah tegak. “Kamu hanyalah duri bagi sahabatmu sendiri. Kamu senang kalau Dewi menjauhiku. Padahal, kamu tak tahu, kalau sesungguhnya Dewi menjauhiku karena nggak enak sama kamu. Dia menolakku, karena kamu!” Telunjuknya masih mengarah padaku, persis lima tahun yang lalu.
“Nggak akan ada laki-laki yang bakal mau sama perempuan yang menjadi penghalang jodoh sahabatnya seperti kamu!” Volume ucapannya tidak terlalu keras, namun cukup jelas terdengar di telingaku.
Tubuhku seakan limbung mendengar ucapannya, andai aku tak duduk di kursi.
Rizal sudah berlalu, tapi, sakit dadaku karena ucapannya masih terasa, bahkan hingga kini.
Aku yang berusaha keras melupakannya, mengapa dia masih saja menyimpan dendam padaku? Mana mungkin aku masih mengharapkannya, meski penampilannya sudah jauh berbeda. Jumawa sekali dia.
Harga diriku seolah dihinakan oleh pria bernama Rizal.
Berkali aku mencoba melupakan, namun sungguh sulit. Berkali aku mencoba memaafkan, meski dia tak pernah minta maaf atas ucapannya itu. Namun, tajamnya sembilu, masih saja terasa menggores dalam dadaku.
Apa karena itu pula, diusiaku kini yang menjelang kepala tiga, masih belum bertemu jodoh. Apa karena aku masih dendam padanya?
“Sudah dua tahun dia menduda, Tih.” Ucapan Nadia mengembalikan kesadaranku dari puing-puing masa lalu. “Anaknya butuh sosok seorang ibu,” lanjut Nadia.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Nadia mungkin tak terlalu tahu tentang luka yang pernah Rizal torehkan padaku. Kecuali kalau Dewi atau Rizal sendiri yang bercerita padanya.
“Oh … jadi, dia mau menikah lagi untuk dijadikan baby sitter?” sahutku sinis. Aku seolah berubah menjadi bukan diriku, saat membicarakan Rizal. Pria yang pernah membuat hatiku menjadi berkeping-keping.
Sejenak Nadia tersentak. Aku yakin ia tak menyangka aku bisa berkata seperti itu.
“Bukan begitu, Tih. Dia tahu kamu belum menikah. Dia butuh pendamping yang setia, seperti kamu,” ujar Nadia.
“Nad, aku bukan setia. Tapi aku tak laku!” ujarku sarkas.
Kata-kata Rizal masih terngiang ditelingaku, saat dia menyumpahiku saat hari pernikahan Dewi saat itu. Bagaimana mungkin dia menyebutku setia? Jangan-jangan ada udang dibalik keinginannya menikah denganku. Bagaimana kalau ini semacam balas dendam yang belum usai? Dendam karena dia tak dapat menikah dengan Dewi?
“Nduk, usiamu sudah tidak muda lagi. Ibu sama Bapak tidak masalah kalau kamu menikah sama duda. Sudahlah tidak usah pilih-pilih. Apalagi kamu kan sudah kenal siapa Rizal itu,” ujar Bapak. Aku tahu, Bapak menyampaikan itu dengan hati-hati.Hari itu aku pulang ke rumah orang tuaku. Meski aku kerja di Jakarta, paling tidak, sebulan sekali aku menyempatkan diri untuk menengok Bapak dan Ibu. Dua adikku pun kerja di luar kota. Kami bergantian pulang.Kepulanganku kali ini, berbeda dengan kepulanganku biasanya. Aku sengaja bicara serius dengan Bapak mengenai rencana Nadia, meski sebenarnya aku tidak setuju. Tapi, berulang kali Nadia memintaku, agar aku menyampaikan maksud baik Rizal ini ke Bapak dan Ibu. Bahkan, sampai tadi pagi, Nadia masih mengingatkanku.Awalnya, aku berharap Bapak dan Ibu tidak menyutujui perjodohanku dengan Rizal. Apalagi status Rizal yang duda beranak satu. Umumnya, orang tua yang punya anak gadis, belum dapat menerima jika yang meminang seorang duda. Namun, kenapa yan
“Ratih, aku tahu kamu marah padaku. Tapi, plis. Kasih aku kesempatan.” Rizal sore itu menemuiku di kantor usai jam kerja. Dia ingin mengajakku bicara.Aku sebenarnya malas. Aku kecewa pada Rizal. Pertama kecewa dengan masa lalu dimana dia pernah menghinaku. Yang kedua kecewa dengan kelancangannya datang kepada orangtuaku bersama orang tuanya tanpa membicarakan dahulu padaku. “Aku memang tak pernah berarti bagimu. Sehingga, datang ke rumah pun kamu tak memerlukan persetujuanku. Lalu, kenapa aku harus memberimu kesempatan?” balasku. Apa dia pikir dengan memaksakan datang ke rumahku, dan membawa serta anaknya, hatiku akan melunak dan menerimanya? Tidak akan!“Ratih. Aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Tolong beri aku kesempatan. Aku ingin membayar semua perlakuan burukku padamu di masa lalu,” tukasnya. Café yang berada di seberang kantorku ini sudah mulai ramai. Banyak karyawan kantor yang mampir ke sana, sembari menunggu jalanan terurai karena macet saat jam pulang kerja. Sebenarnya,
Suasana area ruang tunggu bandara pelan-pelan mulai ramai, karena jadwal keberangkatan semakin mendekat. Banyak penumpang mulai masuk memenuhi ruang tunggu.Gadis kecil di sebelahku ini berceloteh dengan riang, seolah kita sudah lama saling mengenal. Sebenarnya aku termasuk orang yang sulit akrab dengan anak-anak. Aku sering kehabisan bahan ngobrol dengan anak kecil. Namun, Sasti sangat pandai membuat rasa canggungku hilang. Aku hanya cukup menanggapi celotehannya. “Dia tak punya teman di rumah. Jadi, dia suka sekali mendapatkan teman bicara,” jelas Rizal. Lelaki itu duduk di sisi kanan Sasti. Sementara aku berada di sisi kirinya. Orang yang tak tahu, bisa saja menyangka kami adalah suami istri yang bahagia. Ingin rasanya aku mengorek dimana mamanya Sasti. Tapi, rasanya tak pantas aku tanyakan saat ada Sasti di sini. Mungkin, nanti saat anak itu sedang tidak bersama kami. Yang aku tahu dari Nadia, Rizal sudah menduda selama dua tahun. “Mamanya sudah menikah lagi.” Rizal seperti
Mataku mengerjap. Aroma minyak kayu putih tercium di sekitarku. Sudah lama aku tak pernah pingsan. Aku benar-benar shock mengetahui kenyataan kalau aku pun hendak dilamar. Bagiku pernikahan itu menentukan masa depan seseorang. Aku tak boleh gegabah. Mungkin itu juga yang menyebabkan hingga usia mendekati kepala tiga aku masih memilih sendiri. Setiap ada lelaki yang mendekat, aku memilih untuk menjaga jarak. Dan entahlah, sampai kapan itu akan terus terjadi, aku tak tahu. “Nduk, tamunya sebentar lagi datang. Kamu sebaiknya segera bersiap,” tutur Bulik dengan lembut, saat aku masih terbaring di kasur.Aku mengangguk, lalu berusaha bangkit. “Kamu tidak usah mikir macem-macem. Paklikmu sudah tahu siapa Nak Rizal itu. Anaknya baik. Rajin ke masjid. Nggak bakal jahat sama kamu,” terang Bulik di sela-sela merias wajahku. Aku hanya menurut saja. Rumah Paklik dengan rumah Rizal memang cukup dekat. Tak heran kalau Paklik mengenal Rizal dengan baik.Mendengar kata jahat, tiba-tiba hatiku
Tak dapat kupungkiri. Dadaku masih bergetar jika bertemu dengan Rizal. Dia memang cinta pertamaku. Dan setelahnya, aku tak pernah membuka hati untuk pria lain. Dia memang jahat padaku. Dia kejam padaku. Tapi tanpa aku menyadari, rasa ini masih ada. Masih sama dengan saat aku berseragam putih abu-abu.Hatiku memang terluka. Hatiku memang tercabik dengan penolakannya kala itu. Tepatnya bukan penolakan karena aku tak mengatakan apapun padanya. Tapi, dia secara tak langsung menyalahkanku sebagai penyebab ditolaknya cintanya kepada Dewi. Kini, dia datang padaku. Apakah ini yang dinamakan takdir cinta? “Kamu masih ragu?” tanya Nadia. Aku dan Nadia janjian di salah satu resto di pusat kota. Tengah-tengah antara tempatku dan tempat Nadia.Aku sedang mencoba memantapkan hati. Tak mungkin aku menemui Dewi. Dia tinggal di kota lain. Sementara, Nadia tinggal di kota yang sama denganku. Makanya, Nadialah yang awalnya menjodohkan aku dengan Rizal. “Entahlah, Nad. Jauh di lubuk hatiku masih ber
“Ratih?!” Sebuah suara yang aku kenal, membuatku menoleh. “Rizal!” Saking kagetnya, tak sadar hingga aku menyebut namanya.Pria itu tersenyum simpul. Ah, aku baru kali ini melihatnya tersenyum padaku. Ada getar aneh dalam dadaku melihat senyum itu. Dulu, sejak SMA dia tak pernah tersenyum padaku. Aku hanya bisa mematri senyumnya dalam anganku. Tapi bukan senyuman untukku. Senyuman untuk orang lain. Dan itupun, sudah membuatku tak bisa tidur. Dulu, dia sangat murah senyum. Itu juga mengapa aku jatuh hati padanya. Sayangnya, memang senyuman itu tak pernah untukku. Kini, dia di depanku, dan tersenyum untukku. Aku seperti terbang ke langit ke tujuh. Rasanya seperti kembali ke masa ABG. Masa-masa aku jatuh cinta. Masa-masa bergelut dengan bayangan cinta pertama. “Kenapa, Ratih?” Aku tergagap mendengar ucapannya. Ah, dia menyebut namaku. Sesuatu yang kutunggu, lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Kukerjapkan mata untuk mengembalikan kesadaranku. “Oh, nggak. Kamu sedang apa di sini?”
“Aku di cafe depan. Ajak Sasti ke sini.” Aku bisa menebak, pasti itu telepon dari mantan isterinya. Apakah dia akan ke sini? “Mungkin, aku duluan?” ujarku mencoba menghindar. Pasti akan ada rasa canggung jika aku bertemu dengan mantan istrinya Rizal. Membayangkan saja, aku tak sanggup. “Aku kenalkan kamu pada Desti dulu,” ujar Rizal mencoba menahanku. Benar saja. Hanya dengan ucapan Rizal seperti ini saja, aku lemah. Aku tak mampu menolaknya. Bagaimana nanti kalau aku benar-benar menkadi istrinya? Saat aku tenggelam dalam dilema, tak lama, ibu dan anak itu datang mendekat ke meja kami.Sasti terlihat akrab dengan mamanya. Lalu, apa yang menjadi alasan Rizal berpisah?Rizal segera melambaikan tangannya ke pelayan café untuk memesankan minum wanita anggun dan putrinya itu sebelum mereka duduk. Aku benar-benar merasa tak nyaman berada di sana. Bagaimanapun aku adalah orang lain yang berada diantara mereka. Tiba-tiba, bayanganku aku merasa mirip sebagai pelakor. Mengambil Rizal dari
“Aku hanya ingin menghargainya,” tukasku. Aku bisa menerka, Rizal merasa tak nyaman jika aku menanyakan sesuatu pribadi pada Desti. Aku memahaminya. Akupun mungkin tidak merasa nyaman jika Rizal menanyakan pribadiku pada teman dekatku yang lain.Tapi bagiku, pertemuanku dengan Desti dapat menjawab sedikit banyak tentang kedekatannya dengan Sasti. Ataupun, seperti apa selera Rizal terhadap wanita. Cantik!Ini kembali mengingatkanku pada Dewi. Sahabatku saat SMA. Sepertinya memang hanya yang cantik lah yang dapat memikkat hati Rizal.“Kamu nggak jadi belanja?” tanya Rizal kemudian. Sepertinya ia sedang mengalihkan sedikit ketegangan di antara kami barusan. Atau, dia keheranan karena aku tak membawa hasil belanjaan?Aku mengedikkan bahu. Aku memang tak niat berbelanja. Tadi, aku ke mall ini hanya mencuci mata saja. "Sayang, Tante pulang dulu, ya," pamitku pada Sasti. Ingin kucium pipinya, tapi aku rikuh dengan Rizal. "Kok, Tante juga pergi?" Tadi Sasti sibuk dengan mamanya. Aku baru