BAB 6
"Cinta lama bersemi kembali"
#Pov nana
Pagi hari setelah Mas Rafa berangkat kerja, aku pun langsung memainkan handphone di dalam kamar sambil melihat anak-anak bermain di luar. Entah perasaan apa yang membuatku ingin sekali chat Evan mantan ku di masa pacaran dulu.
"Mmmh, chat gak ya?" Tanyaku dalam hati.
Berkali-kali aku menulis kata-kata lalu aku menghapus lagi dan tidak mengirimkannya, aku bingung harus memulai dari mana dan berkata apa supaya ia membalas chatku, lalu aku menunggu saja siapa tahu Evan ada chat duluan. Beberapa menit kemudian terdengar notifikasi chat dari handphoneku, setelah aku melihat ternyata chat dari Evan, hatiku merasa senang sekali padahal isi chatnya pun belum aku buka.
"Pagi, lagi ngapain? Maaf pagi-pagi ganggu, apa suamimu sudah berangkat kerja?" Tanya Evan.
"Lagi ngasuh anak-anak sambil santai aja, jangan tanyakan dia kalau dia jam segini sudah gak ada pulang-pulang nanti malam jadi aku bebas juga bisa chat sama kamu," jawabku sambil senyum-senyum sendiri.
Lalu aku pun seperti biasanya menjadikan Evan tempat curahan segala isi hatiku tentang permasalahan rumah tangga maupun hubunganku dengan Mas Rafa yang sudah terasa hambar.
"Aku pun sama, hubunganku dengan istriku sedang tidak baik-baik saja, kita setiap hari bertengkar hanya karena permasalahan kecil saja, rasa dimana ingin mengakhiri rumah tanggaku yang setiap hari selalu dipenuhi dengan pertengkaran," curhat Evan.
Sepertinya kita memiliki masalah yang sama, terutama aku yang memang membutuhkan kasih sayang dari seorang suami, tapi kenyataannya Mas Rafa terlalu sibuk dengan pekerjaannya sendiri, sehingga tidak ada waktu untuk kami berdua mencurahkan semua isi hati. Ditambah lagi, Mas Rafa selalu menentang apapun keinginanku, terutama aku ingin tinggal di rumah orangtuaku sendiri, tapi dia tidak mengijinkan.
Waktu pun tak terasa sudah siang hari, saking asyiknya chat dengan Evan hingga aku pun lupa waktu. Perasaanku sangat tenang seperti mendapatkan kenyamanan setiap kali chat dengan dia. Mungkin ada sedikit perasaan yang tumbuh kembali di hatiku, tapi aku pun sadar kita seperti terhalang dinding kaca.
Aku sudah bersuami, Evan pun sudah beristri, entahlah sesuatu yang mustahil juga. Tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku juga, kalau aku memang merasa dianggap ada kehadirannya sama dia. Sebelum Mas Rafa pulang, aku pun pamit dulu sama Evan.
"Van, kalau mau chat lagi nanti aku kabari ya, soalnya takut ketahuan suamiku & kamu pun ada istrimu juga kan jadi harus pintar-pintar kode ya di saat ada atau tidak ada pasangan kita," chat terakhirku pada Evan sebelum Mas Rafa pulang.
"Iya Na, kita masih bisa chat kan ya tiap waktu, aku akan selalu jadi teman curhat kamu apapun masalahmu cerita saja ya," jawab Evan yang sepertinya mengharapkan kita selalu ada komunikasi tiap hari.
Kami tiap hari selalu saling berkabar dan bercerita, kadang Evan ada sedikit goda-goda juga seakan-akan dia juga masih berharap aku kembali ke pelukannya. Kadang aku selalu mengingat perlakuan dia dulu sangat memperlakukan aku dengan baik, selalu memberi kejutan, dan lain-lain.
Hingga suatu malam di saat Mas Rafa izin tidak pulang karena cuaca memang sedang hujan lebat, ia selalu pulang tengah malam dan menempuh perjalanan jauh juga. Aku merasa kesal karena aku tidak biasa tidur di rumah mertuaku tanpa kehadiran Mas Rafa,
setidaknya aku ada yang jagain di saat ada perasaan takut tidur hanya dengan anak-anak. Seketika aku terpikirkan Evan.
"Van, istri kamu sudah tidur? Bisa gak temenin aku video call?" Aku coba chat Evan duluan.
"Boleh na, kamu ada masalah apa? Kebetulan istriku juga tidak pulang ada tugas di tempat jauh katanya jadi malam ini aku banyak waktu," jawab Evan.
Dengan perasaan deg-degan karena sudah lama tidak melihat wajahnya, aku pun memberanikan diri video call lewat messenger karena aku takut kalau sewaktu-waktu Mas Rafa membuka handphoneku diam-diam.
Begitu bahagianya kami malam ini, meskipun hanya sebatas lewat video call tapi aku bisa bercanda tawa dengannya, aku tak peduli meskipun mertuaku mungkin mendengarkan tapi aku melanjutkan saja hingga menjelang jam 3 pagi.
"Na, ada sesuatu yang mau aku omongin!" Tiba-tiba Evan bicara serius di saat sudah tidak ada pembahasan lagi.
"Mau ngomong apa?, kayaknya serius nih," jawabku sambil tersenyum.
"Na, setelah aku bisa chat lagi sama kamu, aku merasa ada perasaan lagi sama kamu, aku tahu kamu sudah punya suami, dan aku pun sudah punya istri, tapi perasaanku tidak bisa berbohong kalau aku masih sangat menyayangi kamu," ungkap Evan.
Aku pun seketika terdiam, memang hubungan ini tidak mungkin akan berlanjut ke yang lebih serius, tapi aku pun merasakan perasaan yang sama terhadap dia, tapi aku bingung apa aku harus menerima dia ataukah harus menolaknya, karena kita sama-sama sudah punya pasangan juga. Dan takut suatu waktu aku ketahuan suamiku sendiri kalau aku bermain api di belakang dia.
"Van, sejujurnya aku pun merasakan hal yang sama, aku merasa nyaman bisa berkomunikasi sama kamu, hal yang tak pernah aku dapatkan dari mas Rafa juga, tapi kita kan sudah sama-sama menikah," jawabku sambil menatap mata Evan di layar handphone.
"Kita jalani saja dulu ya, kalau kamu mau kita serius aku bisa saja menceraikan istriku demi kamu, aku benar-benar tulus sayang sama kamu," ungkap Evan.
"Beri aku waktu ya Van untuk berfikir dulu, aku sudah nyaman sama kamu, tapi aku tidak mungkin mengkhianati mas Rafa suamiku," jawabku.
"Baiklah, kalau kamu sudah punya jawaban nanti kabari aku ya, aku berharap ada kabar baik juga dari kamu," tegas Evan.
Aku seperti memakan buah simalakama di mana jika aku terima Evan, aku mengkhianati Mas Rafa, tapi jika aku tolak aku akan kembali ke kehidupanku yang hambar, tidak ada ketenangan.
Aku tidak tahu harus memberikan jawaban apa nantinya ke Evan tapi sejujurnya aku juga ada perasaan sayang terhadap dia. Sampai pagi aku tidak bisa tidur hanya memikirkan jawaban untuk Evan seperti apa.
Hingga akhirnya aku mengambil keputusan untuk menerima dia menjadi kekasih gelapku dan mengkhianati Mas Rafa, aku tidak mau kehilangan lelaki yang sangat perhatian seperti Evan, entah mungkin suatu saat nanti aku akan minta dinikahi oleh dia.
Aku sengaja menunda jawaban beberapa hari, aku ingin melihat dulu usaha Evan seperti apa untuk mendapatkan aku kembali ke pangkuannya lagi dan memulai kisah baru meskipun terhalang oleh suami atau pun istri dia, aku akan melakukan apapun demi kebahagiaanku sendiri meskipun harus mengkhianati mas Rafa dan mengorbankan rumah tangga kami.
*🍁🍁🍁🍁🍁*
BAB 73"Ending"#POV ISNA"Pernikahan ini tidak sah, tidak sah," ucap Evan yang ngos-ngosan datang ke pernikahan Mas Rafa.Semua orang melirik ke arah Evan yang mengacaukan pernikahan Mas Rafa. Mungkin ini satu keajaiban yang diberikan Tuhan untuk keutuhan rumah tanggaku. Aku pun tidak mengerti kenapa tiba-tiba Evan datang tanpa diundang. Plaaaaaaaak!!! Sebuah tamparan Nana melayang ke pipi Evan. "Apa-apaan kamu, Van? Kamu hanya ingin menghancurkan kebahagiaanku di hari pernikahanku dengan Mas Rafa," ucap Nana marah. "Raf, kamu tidak boleh menikahi Nana. Anak yang dilahirkan Nana adalah anak kandungku," ucap Evan kepada Mas Rafa. "Kami sudah melakukan tes DNA dan menyatakan kalau anakku adalah anak kandung Mas Rafa," ucap Nana. "Kamu jangan percaya, Raf. Semua hanya akal-akalan Nana agar bisa menikah dengan kamu," ucap Evan.Semua orang tertuju menyaksikan kegaduhan yang terjadi. Hari yang seharusnya menjadi hari kebahagiaan pasangan menjadi kacau karena kedatangan Evan. Aku pun t
BAB 72"Pernikahan""Dan sekarang kalian hanya bisa menyalahkan aku, lalu ke mana kalian semua di saat aku sedang mendekam sendirian di dalam penjara. Apa ada yang peduli satu orang saja dari keluarga?" jawab Nana terhadap Bapak. "Sudah, sudah, sudah, ini rumahku, bukan tempat untuk saling menunjukkan siapa yang benar dan siapa yang salah. Kamu juga, Na, bagaimanapun Bapak dan Ibu adalah kedua orangtuamu. Tidak ada yang namanya orangtua durhaka terhadap anak," ucapku. "Pak, bisa ikut Rafa sebentar? Ada yang mau Rafa bicarakan berdua saja," ajakku terhadap Bapak mertuaku. Aku langsung membawa Bapak ke ruang tamu lantai dua. Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan langsung di depan Bapak. "Is, jangan sampai ada yang naik ke atas untuk sementara," pintaku terhadap Isna. "Ada apa, Raf? Jadi maksud kamu mengundang kami sekeluarga ke sini itu untuk apa?" tanya Bapak."Ceritanya sangat panjang, Pak. Tanpa sepengetahuan semua orang, Nana sudah keluar lama dari penjara. Dia dibawa
BAB 71"Hasil Test DNA"#POV ISNA Tidak terasa waktu yang begitu singkat, setelah sehari semalam aku dibahagiakan oleh Mas Rafa, pagi ini aku harus segera pulang ke rumah. Rasa ingin selamanya selalu berdua dengan Mas Rafa membuatku merasa pupus harapan setelah Mas Rafa mengajakku untuk pulang ke rumah. "Kenapa murung, sayang?" tanya Mas Rafa. "Mas, bisa nggak sih kita liburan setahun gitu? Waktu terasa sangat singkat. Aku masih ingin terus berdua sama kamu, Mas," ucapku merajuk. "Ini kan kita berdua, sampai kapan pun kita akan tetap berdua, sayang," ucap Mas Rafa sambil mengusap-usap kepalaku. "Darimana saja kalian? Kenapa semalaman tidak pulang?" ucap Ibu yang sudah menunggu kami di depan rumah. "Kita suami istri, Bu. Kita bebas mau pergi ke mana saja atau tidak kembali sama sekali juga," jawab Mas Rafa dengan terlihat kesal. "Rafa, kamu dengerin Ibu. Ibu belum selesai bicara," ucap Ibu mertuaku."Apalagi sih, Bu? Masalah Nana, apa masalah lain? Rafa sama sekali tidak mencint
BAB 70"Takkan Pernah Terlupakan"#POV ISNAMentalku semakin hari semakin drop melihat Mas Rafa seperti satu keluarga yang baru mendapatkan kebahagiaan. Rasa cemburu selalu datang di saat Mas Rafa dipaksa untuk menemani Mbak Nana mengasuh bayi yang baru dia lahirkan. Ya Tuhan, apakah aku bisa merasakan sebahagia Mbak Nana sekarang bisa melahirkan seorang bayi yang sangat cantik? Aku hanya bisa melihat dari kejauhan. Kadang sesekali aku mengintip melihat Mbak Nana sedang mengasuh bayinya. Seperti kebahagiaanku kurang lengkap tanpa kehadiran seorang anak yang lahir dari dalam rahimku sendiri. "Mas, maaf ya kalau sikapku agak sedikit overthinking. Aku merasa cemburu, Mas. Aku merasa jadi istri yang tidak berguna karena tidak bisa memberikan kamu keturunan," ucapku kepada Mas Rafa. "Kenapa harus berbicara seperti itu, Is? Semua tidak akan merubah apapun, termasuk perasaanku terhadap kamu. Kita berdoa saja semoga suatu saat nanti kamu bisa mempunyai anak. Tidak ada yang mustahil juga k
BAB 69"Test DNA"#POV ISNAWaktu yang tidak terasa, aku juga menghadapi sikap dan sifat Mba Nana serta ibu mertuaku yang tak kunjung pulang selama di rumah ini. Untungnya, aku selalu menyibukkan diri di kantor dan tidak terlalu menanggapi orang-orang di rumah. Mau seperti apapun pembelaan Mba Nana, cari perhatian, dan lain-lain, aku tidak mau banyak berpikir. Yang aku pikirkan, semakin lama perut Mba Nana semakin membesar. Aku harus siap dimadu oleh Mas Rafa. Rasa sakit yang tidak ingin aku rasakan. Namun, Mas Rafa harus tetap bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Aku selalu berharap tidak ada yang berubah apabila nanti Mas Rafa sudah menikahi Mba Nana. Pastinya, kalau sudah menikah, akan ada tumbuh benih-benih cinta di antara mereka. Mau tidak mau, aku harus berdamai juga dengan kakakku sendiri, dengan catatan dia tidak berusaha membuat Mas Rafa meninggalkan aku. "Is, kamu nggak kerja hari ini?" tanya Nana di ruang keluarga. "Gak, Mba. Aku libur. Aku mau rebahan seharian
BAB 68"Rumah Seperti Neraka Untukku"#POV ISNAKehadiran ibu mertuaku di rumah menjadi beban tambahan dalam hidupku. Bukan aku tidak senang, namun karena sikap ibu yang lebih memihak kepada Mba Nana. Dan Mba Nana juga sangat mencari perhatian dari ibu. Mungkin saja sudah ada yang dia rencanakan, yang pasti aku akan lebih hati-hati. Karena aku tahu dia pasti ingin aku bisa keluar dari rumah ini. "Ya ampun, Nana, ngapain pagi-pagi kamu capek-capek masak? Kan ada ART, kenapa tidak suruh dia saja?" ucap ibu saat aku dan Mba Nana memasak untuk sarapan. Awalnya dia hanya menonton aku yang sedang memasak. Melihat kehadiran ibu, dia langsung pura-pura memasak dan menyuruh aku untuk duduk. "Isna, apa kamu tidak kasihan? Lihat itu perutnya Nana yang semakin membesar. Harusnya jangan capek-capek, apalagi sampai kamu suruh mengurus pekerjaan rumah," ucap ibu lagi."Gak apa-apa, Bu. Isna kan harus pergi ke kantor, jadi biar Nana yang siapkan sarapan untuk keluarga ini. Gak capek kok, Bu, Nana