Hai readers >3 Sehat selalu ya dan semoga dilancarkan selalu rejekinya! Terima kasih ya sudah mampir ke ceritaku dan memberikan supportnya selalu :) Happy reading love >3
*** “Aisyah, semua sudah siap kan?” “Sudah Mas, tinggal tunggu Ibu dan Hilda menuju ke sini saja.” Pandangan Hendra terus saja terpaku pada Aisyah, wanita itu tampak cantik dan anggun mengenakan pakaian pengantin berwarna putih dibalut dengan make up natural menambah aura kecantikannya semakin terpancar dan membuat Hendra semakin jatuh cinta padanya. “Kamu cantik sekali hari ini Aisyah,” ucapnya. Tatapan Hendra masih terpaku pada kekasihnya itu. Aisyah tampak tersipu malu, “Apa sih Mas! Jangan gitu deh,” sahutnya. “Tapi kamu emang beneran cantik Aisyah, aku jadi semakin yakin kalau nggak salah pilih! Udah cantik, baik hati lagi, rasanya Mas adalah orang yang paling beruntung di dunia ini karena bisa memperistri kamu,” ungkapnya bahagia. Pipi Aisyah seketika memerah, ia semakin merasa malu karena Hendra terus saja menggodanya dengan kata-kata manisnya itu. Tangan kanan Aisyah melayang mendorong pundak Hendra pelan, “Apa sih Mas! Stop deh, aku nggak bisa digituin!” uc
“Kita berdua belum berpikiran sampai ke sana Ma,” sahut Hendra. “Oh begitu, lebih baik kalian segera rencanakan mateng-mateng ya!” sarannya. “Iya Ma, ya seperti yang Mama dan Papa lihat sekarang kondisinya seperti ini Hendra hanya bisa mengerti keadaan Aisyah, lagi pula Hendra juga masih punya tugas mengabdi di sini jadi ya rencana kita ke depannya paling hanya di sini-sini dulu dan untuk ke depannya lagi kita berdua belum tau,” jelas Hendra pada kedua orang tuanya. “Yah, intinya kalian berdua harus saling mendukung satu sama lain dan harus saling terbuka satu sama lain itu kunci yang utama serta satu lagi jangan lupakan kewajiban pada Tuhan!” jelas ayah Hendra. “Iya Pa, Insya Allah Hendra akan berusaha menjadi imam yang baik untuk Aisyah dan keluarga kecil Hendra. Saat ini, Hendra juga masih banyak belajar jadi Hendra pastinya masih perlu bimbingan dari orang tua dan orang-orang terdekat yang berkenan mengingatkan Hendra.” “Bagus itu Nak!” *** “Eh, eh kalian sudah denger gosip
“Oh iya Bu, Aisyah mau ke rumah sakit nanti siang sekalian mau bawain makanan kesukaan Bapak, pasti Bapak seneng banget biar tenaganya juga cepet pulih!” “Iya Aisyah, Ibu di rumah dulu nemenin Hilda jualan.” * Aisyah mengemas semua makanan yang hendak dibawa ke rumah sakit. “Ada lagi yang kurang Nak?” “Sudah Bu, sudah semuanya. Aisyah juga sekalian mau bawain buat Mas Hendra biar dia nggak usah beli lagi makan siang,” tukasnya. “Oh iya udah, hati-hati di jalan ya!” “Iya Bu, Aisyah pamit. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam, hati-hati!” Aisyah melangkah pergi dengan membawa tas berisi penuh dengan kotak makanan untuk bekal makan siang pak Ahmad dan Hendra. “Assalamualaikum, Mas.” “Waalaikumsalam, Aisyah. Loh, tumben kamu ke sini siang-siang?” “Iya Mas, Aisyah mau jenguk Bapak sekalian bawain kesukaan Bapak jadi Aisyah sekalian mampir ke sini juga buat bawain Mas bekel makan siang,” jelasnya. “Wah, Mas kebagian juga nih! Hampir aja Mas ke luar tadi pada
*** Keadaan sunyi senyap, sementara itu bu Asih tampak merapikan barang-barang almarhum pak Ahmad. Ia menata kembali beberapa potong pakaian suaminya dan dimasukkannya ke lemari, sesekali ia memandangi dan memeluk baju almarhum pak Ahmad hingga tak terasa air matanya kembali menetes. “Aisyah,” panggilnya. “Iya Bu.” “Ke sini sebentar Nak!” Aisyah bergegas menghampiri ibunya. “Iya ada Bu?” “Kamu nanti mau ke rumah sakit lihat Arka kan?” “Iya Bu, paling agak siangan. Kenapa?” “Ibu ikut ya! Ibu kalau di rumah keinget Bapak terus Nak,” jelasnya lesu. Tangan Aisyah meraih pundak ibunya, “Iya Bu. Hahh, Aisyah tau seperti apa yang Ibu rasain sekarang, Aisyah juga rasanya masih seperti mimpi kalau Bapak sudah nggak nemenin kita lagi di sini,” ungkapnya. “Iya Nak, tapi Ibu masih ngerasain kehadiran Bapak di sini masih nemenin kita dan liatin kita sekarang!” “Meskipun raga Bapak sudah nggak ada di sini, Aisyah juga yakin Bu kalau Bapak pasti selalu jagain kita!
Bima memandangi anak-anak yang tengah asyik bermain bola, di sela-sela jam makan siang saat ia rehat sehabis keliling menjajakan barang jualannya. Pria itu tampak memikirkan sesuatu. “Kira-kira anak gua sama Aisyah, laki-laki atau perempuan ya?” gumamnya. Pria itu kembali mengingat tentang masa lalunya, “Coba aja dulu gua nggak cerai sama dia, pasti hidup gua sekarang bahagia bisa deket sama anak!” ucapnya lepas. “Eh, enggak-enggak! Keputusan gua buat cerai sama dia sudah tepat, sekarang gua cuma perlu anak gua bukan dia! Bagaimana pun caranya gua harus berhasil dapetin anak gua.” Sifat asli Bima mulai keluar. * “Gimana hari ini Bima? Kamu nggak ketemu sama temen-temen Mama kan?” “Apa pentingnya sih Ma, aku ketemu sama temen Mama atau nggak?” Bima mulai kesal. “Ya siapa tau kamu ketemu di jalan terus mereka ngenalin kamu, Mama sendiri kan yang jadi malu nanti!” “Keterlaluan ya Ma! Mama harusnya bersyukur punya anak seperti Bima yang masih mau tanggung jawab dengan keluarga!” “Be
*** [Halo, assalamualaikum istriku sayang!] [Waalaikumsalam, iya Mas?] [Coba tebak, Mas mau nyampein kabar gembira apa?] [Memangnya kabar apa Mas?] [Tebak dulu dong!] [Emm, hari ini Mas pulangnya lebih awal?] [Salah!] [Mas mau ngasi surprise?] [Haduh Aisyah! Masa iya mau ngasi surprise bilang-bilang gimana sih kamu!] [Ya kan nebak Mas! Lagian Mas juga suka ngide kan] [Iya deh iya.] [Terus apa kabar gembiranya?] [Kabarnya gembiranya, alhamdulilah Arkanza udah boleh pulang!] [Hah, Mas ini beneran? Tau dari mana?] [Iya Aisyah, ini seriusan. Mas ini lagi di rumah sakit, kata dokternya tadi begitu karena Arkanza progresnya cepat membaik sejauh ini, jadi hari ini sudah diperbolehkan pulang dan Mas sekarang lagi ngurus administrasinya] [Alhamdulilah Ya Allah, terima kasih! Ya udah Mas, sekarang Aisyah siap-siap ke sana ya!] [Alhamdulilah. Iya Aisyah, kamu hati-hati di jalan, pelan-pelan aja.] [Iya Mas, pasti!] Tut! [panggilan diakhiri] “Bu! Ibu!” panggil Aisyah kegirangan.
“Ma, kita kapan pulang ke rumah Papa?” “E, Kia main sama Oma dulu ya!” Jihan berusaha mengalihkan perhatian anaknya. “Mama kenapa? Kia kan udah sembuh Ma, Kia sekarang udah belajar jalan. Kok kita lama banget di sini? Kata Mama kita di sini cuma liburan. Kia kangen sama Papa Ma!” rengeknya tanpa henti. “Duh, Kia. Tolong jangan ganggu Mama dulu!” Ini adalah kesekian kalinya sikap Jihan memberikan penolakan atas pertanyaan-pertanyaan dari Kiara-putrinya. Hal tersebut mengundang rasa penasaran kedua orang tuanya. “Kia sama Oma dulu ya sayang!” ucap ibu Jihan, berusaha menjauhkan cucunya terlebih dahulu. Setelahnya ia menghampiri Jihan kembali. “Jihan kamu kenapa sih akhir-akhir ini Mama perhatiin lebih sering ngejauhin anak kamu?” “Ngejauhin gimana maksud Mama? Mana mungkin lah Ma aku kayak gitu ke anak aku sendiri!” bantahnya. “Terus yang tadi Mama lihat itu apa?” “Hmm, Mama kan tau sendiri aku lagi sibuk!” “Sesibuk-sibuknya kamu, sejak kapan sih kamu bisa sampai me
“Kamu kenapa Aisyah?” Aisyah tak sadar Hendra sedang bertanya padanya. “Aisyah!” panggilnya untuk yang kesekian. Hendra beralih menepuk pundak istrinya pelan. Aisyha terkejut, “A, eh iya Mas. Kenapa?” “Hmm, harusnya Mas yang nanya kamu kenapa? Kok tiba-tiba murung terus ngelamun gitu?” “Ah, enggak. Perasaan Mas aja kali!” kilahnya. Ia beranjak pergi menyusul bu Asih. Tangan kanan Hendra melesat mencekal tangan Aisyah dan mengentikan langkah wanita itu. “Ada apa Mas? Aku udah bilang nggak kenapa-napa!” kekehnya. Ia terus saja membantah. “Aisyah aku ini suami kamu, jadi tolong ya apa pun perasaan yang mengganjal di hati kamu usahain dibagi juga ke aku!” Hendra berusaha membujuk istrinya itu. “Maaf Mas.” Aisyah tertunduk lesu. “Maaf, maaf kenapa? Kamu nggak ada buat salah kok! Mas cuma berusaha ngingetin ke kamu aja, kalau ada apa-apa ayo cerita ke Mas kan udah sering dikasi tau juga kalau Mas ada di sini buat jadi tempat keluh kesah kamu. Udah ya, jangan sedih gitu
***“Nak, semoga kamu nggak dendam sama Ibu ya. Ibu ngelakuin ini demi kebaikan kamu, Ibu nggak mau kamu sampai tahu kelakuan Ayah kandung kamu seperti apa, Ibu takut kamu kecewa berat Nak.” Aisyah berpikir keras. Aisyah masih meratapi nasibnya serta anaknya, ia takut tentang ke depannya akan ada masalah yang datang hingga menyangkutpautkan masa lalunya kembali dengan Bima dan Aisyah tidak akan pernah rela bila Arkanza terlibat di dalamnya. Wanita itu takut jika anaknya akan memiliki ingatan kelam tentang kedua orang tuanya terutama sesosok ayahnya yang begitu keji terhadap ibunya dan dirinya.“Ayo Nak, kita pergi sebelum ayah kamu dateng.” Aisyah tampak berkemas, ia pergi membawa Arkanza.* Jantung Aisyah berdegup kencang, tangannya gemetar, keringat pun membasahi keningnya. Langkahnya tampak berat.“Hahhh, bismilah ya Nak semoga ini sudah memang keputusan yang baik buat kita semua.” Aisyah berusaha meyakinkan dirinya.“Ada yang bisa dibantu ibu?”“
***“Arka sayang, Ibu udah lama sekali nggak lihat wajah kamu ini! Ibu kangen Nak, Ibu khawatir sama kamu sayang. Kamu pasti selama ini haus banget ya Nak,” ucapnya penuh kasih. Setelah sekian lama, akhirnya Aisyah kembali merasakan kehangatan tubuh bayi mungilnya. Ia terpaksa tak menjalankan peran seorang ibu untuk beberapa waktu yang lumayan menyiksanya, wanita itu tampak sudah sangat lelah dengan kejadian yang telah terjadi. Sangat menguras emosi dan perasaan seorang ibu.“Nanti tunggu Ayah pulang ya Nak, kita jalan-jalan ke rumah Nenek semuanya sudah nungguin kamu di sana, mereka kangen sekali dengan kesayangan mereka. Kamu anak yang kuat sayang, terima kasih ya sudah bertahan sejauh ini, anak Ibu pintar sekali.”“Assalamualaikum,” ucap seseorang dibalik pintu.“Waalaikumsalam, eh Mas. Kamu udah pulang rupanya.”“Iya, Ya. Halo anak Ayah, Ayah kangen Nak!” ucapnya lembut.“Ganti pakaian dulu Mas, makanan udah aku siapin di meja.”“Iya sayang, makasi ya.” Akh
***“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, kasian sekali. Di mana keluarganya Ya Allah?”“Sudah berumur, seharusnya dijaga dengan baik! Anak-anaknya ke mana?”“Sepertinya ibu ini sudah bingung karena faktor umur, kasian sekali!” Di ujung jalan besar tampak terjadi insiden yang menggegerkan orang sekitar hingga menimbulkan kerumunan. Bercak darah berlumuran di jalan, sepertinya terjadi kecelakaan. Mobil ambulance dan polisi segera datang, kondisi korban sudah sangat memprihatinkan dilihat dari kondisi badannya sepertinya sudah tak bernyawa. Kepalanya terus mengeluarkan darah dan terdapat beberapa luka dibagian kaki serta tangannya, ia sudah tak sadarkan diri. Petugas segera melarikannya ke rumah sakit.“Ih, serem banget!” tukas orang yang lalu lalang.*“Apakah korban telah berhasil di identifikasi?”“Belum berhasil pak, kami cukup kesulitan karena tanda pengenal korban tidak ditemukan saat di lokasi kejadian. Namun, karena korban saat ditemukan mengenakan pakaian pasien kemu
“Bima!” Lelaki itu lekas memalingkan pandangannya, Aisyah menghampiri Bima-mantan suaminya.“Tega kamu Bima! Kamu pikir apa yang kamu lakukan ini sudah akan menguntungkan kamu? Sampai segitunya kamu terobsesi ingin memiliki dia, Arka itu darah daging kamu bisa-bisanya kamu nyakitin dia,” tukasnya kesal.“Gua nggak pernah nyakitin dia, lu yang rebut Arka dari gua Aisyah! Mungkin kalau lu nggak misahin gua dengan dia gua nggak bakalan berbuat nekat kayak gini!” bantahnya.“Apa? Aku nggak salah denger Bima? Bukan aku yang jauhin kamu tapi kamu yang nggak pernah mau nganggep dia sebagai anak kamu, kamu lupa ya gimana biadabnya kamu ngusir aku sama almarhum ayah aku saat itu … saat itu aku ngemis dihadapan kamu Bima! Tapi apa kata kamu dan keluarga kamu justru malah nuduh aku dan menghina aku, dan kamu malah memilih menikah dengan perempuan lain yang kamu anggap bakalan bisa ngasi kamu keturunan karena kamu nuduh aku mandul kan!” ucapnya geram.“Ya itu kan dulu! Karena aku mema
*“Jadi di sini kamu sembunyikan anak saya!” ucap Aisyah geram.“Sabar ya.” Hendra berusaha menenangkan. Polisi mengerahkan seluruh pasukannya untuk mengepung tempat persembunyian Bima, tentunya ini menjadi bagian yang sangat menegangkan mengingat lelaki bejat itu bisa saja nekat melakukan sesuatu yang bisa membahayakan nyawa Arkanza.TOK! TOK! TOK! Polisi berusaha mengetuk pintu rumah, mereka berharap Bima bisa ditangkap dengan mudah.“Permisi! Bapak Bima, kami ada urusan penting dengan anda!” Tampak seperti tak ada siapa pun di dalam rumah. Tidak ada suara sahutan seorang pun.“Permisi!” Polisi masih terus mencoba. Sementara itu di dalam rumah, Bima, Jihan dan Kiara tengah makan bersama di meja makan. Mereka rupanya mendengar suara sayup-sayup dari luar.“Siapa Mas? Perasaan seperti manggil nama kamu!” ucapnya penasaran.“Mana aku tau!”“Kamu buat masalah lagi ya? Atau kamu ada ngutang lagi? Jangan-jangan itu debt collector yang waktu
***“Gimana Mas?” tanya Aisyah penuh harap. Hendra terkulai, ia tampak lemas. Napasnya terengah-engah dengan keringat mengucur dari dahinya. Dokter itu kelelahan.“Nggak ketemu Ya, maafin Mas ya. Mas juga udah usaha keras buat nemuin anak kita,” jelasnya lesu.Aisyah menarik napas dalam, “Hah, gimana ya Mas? Aku juga bingung harus gimana lagi, aku tau kok Mas, Papa sama Mama juga udah usaha keras buat nemuin anak kita tapi aku juga nggak bisa bohong tentang perasaan aku.”Hendra meraih tubuh istrinya, ia memeluk tubuh Aisyah erat. Mereka berdua berakhir menangis bersama.Drrttt! Drrrttt! Drrrrt! [gawai Hendra berdering]Hendra gegas mengusap air matanya dan segera meraih gawainya.“Ha-halo,” jawabnya terbata.“Halo, selamat siang. Dengan bapak Hendra?”“Siang, iya dengan saya sendiri. Ada apa ya Pak?”“Baik, bapak Hendra kami dari kepolisian maksud menelpon bapak izin memberitahukan informasi terkait pencarian putra bapak!” jelasnya.DEG!!! Dada Hendra terasa b
***“HAH! BERISIK!” pekik Jihan keras. Wanita itu merasa muak mendengar tangis Arkanza tanpa henti. “Bisa diam nggak sih! Gua itu udah pusing mikirin urusan rumah sama bapak lu yang sampai sekarang nggak pulang-pulang, lu nggak usah lagi nambahin beban gua ya!” Jihan tampak stress, penampilannya awut-awutan. Seharian dia hanya menaruh perhatian penuh pada Arkanza karena takut dengan ancaman Bima jika ia pulang ke rumah.“Ma, aku lapar! Aku mau makan, Ma!” rengeknya.“Sabar sayang, Mama lagi sibuk ini!” sahutnya sembari sibuk menenangkan Arkanza yang tangisnya makin keras.“Mama nggak sayang sama aku lagi! Katanya adik itu bukan adik aku tapi Mama lebih sayang sama dia, dari tadi sama adik itu mulu!” keluhnya merasa tak dipedulikan. Jihan yang mendengar perkataan anaknya yang demikian lantas tertegun, ia tak menyangka jika ia harus menempatkan anaknya mengalami perasaan demikian. Tubuhnya melemas, wanita itu tak berdaya.“Sayang, maafin Mama Nak. Ini semua salah
***“Mas, aku udah nggak berdaya lagi. Ini sudah delapan hari berlalu tapi Arka anak kesayangan aku nggak ketemu-ketemu. Apa Arka baik-baik aja Mas?” Aisyah tampak sedikit putus asa.“Aisyah, Mas tau kalau kamu khawatir dan juga rindu dengan Arka … kita semua juga merasakan hal yang sama. Kita usaha kuat dan sabar dulu ya, Mas yakin Arka pasti ketemu dan baik-baik aja sekarang.”“Mas, kok kamu bisa setenang ini sih Mas?” tanyanya. Sepertinya Aisyah sedikit kesal dengan suaminya itu karena Hendra tampak begitu tenang di tengah keresahan Aisyah yang sudah memuncak.“Aisyah sayang, meskipun kamu lihat Mas tenang itu semua tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Mas hanya sedang berusaha kuat untuk kamu dan tentunya buat anak kita juga … seperti yang Mas bilang tadi kita semua sedang merasakan hal yang sama. Kamu percaya kuasa Allah kan? Kita serahkan semuanya sama yang di atas, kita mohon petunjuk dan memohon agar Arkanza segera ditemukan,” ucap Hendra berusaha menenangkan. Dalam kondisi in
“Terus aja kamu ungkit-ungkit!”“Ya kan emang kenyataannya kayak gitu! Kenapa kamu mau nyangkal yang jelas-jelas udah faktanya?” Bima pergi ke kamar begitu saja, ia tampak seperti orang yang kalah berdebat.**TOK! TOK! TOK! Jihan menggedor pintu kamar dengan keras.“Kenapa sih kamu berisik banget dari tadi? Kalau Arka bangun gimana? Aku udah susah payah nidurin dia!” Bima tampak kesal.“Enak banget ya kamu Mas, kerjaannya cuma leyeh-leyeh doang di rumah. Kerja enggak, bantu beres-beresin rumah juga enggak!”“Jaga ya mulut kamu Jihan, aku kan lagi ngerawat anak aku!”“Alasan kamu itu aja ya Mas, kayak nggak ada yang lain, perasaan kalau anak kamu itu nangis juga ujung-ujungnya kamu manggil aku kan. Mending besok kamu kerja deh Mas, ini beras udah mau habis! Kalau kita kayak gini terus lama-lama bisa mati kepalaran di sini. Mending kita balik aja ke rumah yang dulu, setidaknya kalau kita mati masih mati dengan tenang di rumah mewah bukan di kontrakan kumuh ini!”