Ken melirik jam tangannya. Sudah pukul sepuluh malam. Dia menghela napas panjang, menyandarkan punggung ke kursi di kamar hotelnya. Hari ini cukup melelahkan, rapat panjang, inspeksi proyek, dan diskusi tanpa henti dengan para investor. Tapi yang paling membuatnya lelah adalah jarak ini. Sudah dua hari di luar kota dan dia benar-benar merindukan Hanum.Baru dua hari berpisah, tapi rasanya sudah seperti sebulan. Proyek baru ini penting, tapi meninggalkan Hanum sendirian dengan cafe barunya bukan hal yang mudah. Dia selalu khawatir, bukan karena tidak percaya pada istrinya, tapi karena tahu akhir-akhir ini ada banyak teror yang membuat ketenangannya terganggu. Baru mau menelepon istrinya, tiba-tiba ponselnya bergetar. Dia tersenyum kecil melihat nama Hanum di layar. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap tersenyum."Assalamualaikum, Mas," sapa Hanum lembut. Ken tersenyum sembari beranjak ke ranjang dan menyandarkan punggungnya. "Wa'alaikumsalam, Sayang. Sudah selesai di cafe?" tanya Ken
Ken merasakan dadanya semakin sesak dan takut Hanum kenapa-kenapa. Apalagi saat dia melihat foto-foto yang dikirimkan nomor tak dikenal itu. Ditambah nomor handphone Hanum dan Bagas tak bisa dihubungi. Tak ingin menebak-nebak, Ken segera menekan nomor mertuanya. Setelah beberapa detik, suara berat Rudy terdengar di seberang."Assalamualaikum, Pak. Apa sekarang Hanum sudah sampai rumah?" tanya Ken dengan suara tegang.Hening.Lalu, suara bapaknya terdengar pelan, tapi menghantam keras di telinga Ken."Wa'alaikumsalam, Ken. Hanum dibawa ke rumah sakit. Maafkan bapak yang tak bisa menjaga Hanum dengan baik selama kamu pergi."Ken tertegun. Seolah-olah dunia tiba-tiba berhenti berputar. Dia pikir Hanum sekadar pingsan karena kecapekan, nggak mengira jika Hanum sampai ke rumah sakit segala."Bukan salah bapak, tapi apa yang sebenarnya terjadi, Pak? Kenapa Hanum sampai dibawa ke rumah sakit segala?" Suara Ken bergetar. Beragam rasa berkecamuk di dalam benaknya. Cemas, takut, bingung dan ge
Ken akhirnya sampai di rumah sakit. Begitu masuk ke ruang perawatan, matanya langsung menangkap sosok Hanum yang berbaring di ranjang dengan perban di lengan dan keningnya. Wajahnya sedikit pucat, tapi matanya tetap teduh seperti biasa. Rudy-- bapak mertuanya tampak lelah dan terlelap di sofa samping pembaringan anaknya. Ken berjalan cepat, lalu duduk di samping istrinya."Sayang ...." Ken menggenggam telapak tangan Hanum. Hanum menatap suaminya lekat lalu tersenyum tipis. Sedari tadi dia tak bisa terlelap karena tahu Ken masih dalam perjalanan pulang."Alhamdulillah akhirnya kamu sudah sampai, Mas." Hanum berujar lirih. "Kenapa belum tidur, Sayang? Ini hampir pagi." Ken mengusap kening istrinya pelan. "Nggak bisa tidur, Mas. Hanum nunggu Mas Ken pulang." Ken menggeleng pelan. Kedua matanya berkaca melihat tubuh istrinya yang banyak luka dan terlihat lemah. "Maafkan aku, Sayang. Aku nggak bisa menjagamu dengan baik." Ken kembali mencium kening istrinya. "Bukan salah Mas Ken. Ini m
Ken duduk di dalam mobilnya sambil menekan ponselnya dengan erat. Suara Ridho dari telepon barusan masih terus terngiang di kepalanya."Tiga CCTV di arena kecelakaan Hanum rusak semua, Mas. Sepertinya sengaja dirusak sebelum kejadian agar tak meninggalkan jejak. Nggak mungkin juga rusak bersamaan begitu kan?"Ken mengetukkan jemarinya ke setir, berusaha menenangkan diri. Ini jelas bukan kecelakaan biasa. Ada yang sengaja menghapus jejak. Tapi siapa dan yang lebih penting, kenapa? Kenapa harus Hanum yang jadi incaran? Benarkah ada hubungannya dengan pesan-pesan nggak jelas yang akhir-akhir ini menerornya? Benarkah ada hubungannya dengan Galih, anak Juragan Gino itu? Apalagi, foto-foto Hanum dan Galih itu jelas sengaja dikirimkan untuknya. Ken terus bertanya-tanya dalam hati. [Mas, saya sudah di cafe langganan]Pesan dari Ridho muncul kembali. Ken menghela napas panjang lalu langsung menginjak gas menuju sebuah kafe kecil tempat dia janjian bertemu Ridho. Ken tak menyerah. Dia ingin t
Tak ingin mampir ke rumah mertuanya lebih dulu, Ken langsung meluncur ke rumah Juragan Gino. Wajahnya menegang, pikirannya penuh dengan kemarahan."Aku sudah curiga dari awal sama si Galih. Dia pasti yang menerorku akhir-akhir ini, apalagi foto-fotonya bersama Hanum kemarin. Jelas-jelas sengaja ditujukan padaku. Kalau bukan dia, siapa lagi pelakunya?" gumam Ken sambil mengepalkan jemari-jemarinya lalu memukul stir. "Sejak awal dia memang tak peduli dengan status Hanum yang sudah menjadi istri orang. Seolah, Hanum miliknya dan tak boleh dimiliki siapapun kecuali dia." Ken terus bermonolog. Dia kembali melirik ke arah spion luar. Di sana tampak Ridho masih mengikutinya dengan motor. "Tapi ... bukti rekaman video itu juga belum terlalu kuat sebab tak menampakkan wajah Galih di sana. Rakamannya hanya terlihat sekilas dan itupun dari belakang. Galih pasti mencari banyak alasan untuk mengelak." Ken kembali menggumam dan berpikir jika terjadi hal yang tak diinginkan nanti. "Nggak mau ta
"Sudah sholat subuhnya, Sayang?" tanya Ken yang kembali masuk kamar. Hanum mengangguk lalu melipat mukena dan sajadahnya. Setelah itu meletakkan kembali ke tempat semula. "Kenapa, Mas? Mau jalan-jalan pagi?" tanya Hanum dengan senyum tipis. Dia melangkah ke pintu, mendekati suaminya yang masih berdiri di sama. Ken menggeleng pelan sembari tersenyum lalu mengusap pelan puncak kepala istrinya."Nggak, Sayang. Mau bikin sesuatu," balas Ken sembari menaik turunkan kedua alisnya. Hanum mengernyit. "Apaan itu?" balasnya penasaran. "Pokoknya kamu pasti suka. Ayo ikut." Ken menarik pelan tangan istrinya menuju dapur. Hanum masih saja bertanya-tanya apa yang akan dilakukan suaminya nanti. Suasana di rumah masih terasa tenang. Jarum jam menunjuk angka lima lebih sepuluh menit. Kedua orang tua Hanum sejak kemarin memang tak di rumah. Mereka menginap di rumah saudara jauh karena ada acara di sana. Hanum sengaja tak ikut karena belum terlalu pulih pasca keluar dari rumah sakit tiga hari lalu.
Di ruang tengah yang masih dipenuhi aroma kopi. Rena duduk di sofa dengan wajah merah padam menahan emosi. Awal bulan yang biasanya dia tunggu karena musim gajian, kali ini justru membuatnya muak setelah Aziz suaminya meletakkan amplop cokelat kecil di meja."Jadi, jatahku bulan ini cuma sejuta, Mas?" sentak Rena lagi. Suaranya makin meninggi dibandingkan sebelumnya. Wanita itu kembali menatap Aziz yang kini hanya mengangguk santai lalu menyeruput kopi dengan tenang. Di sudut lain, Dara-- sepupu Rena yang baru keluar dari kamar mandi buru-buru duduk di kursi makan. Dia tak melanjutkan langkahnya ke ruang keluarga setelah mendengar suara Rena yang tak enak di telinga. Rencananya pagi ini mereka akan jogging bersama sambil kulineran. Agak siang mau shopping ke mall karena Rena kira akan dapat jatah bulanan lebih dari suaminya. Tapi, sepertinya semua gagal total karena tak sesuai dengan rencana. "Gila! Sejuta sebulan dapat apa, Mas? Yakin kamu cuma ngasih aku segini bulan ini?!" tanya
Satu jam kemudian. Rena masih duduk di sofa dengan wajah masam. Aziz sudah pergi katanya mau cari pekerjaan sampingan. Entahlah. Sepertinya dia hanya menghindari raut masam istrinya saja. Sengaja meninggalkan Rena dengan segudang kekesalan yang belum tuntas. Dara, yang sejak tadi ikut menyaksikan pertengkaran itu, akhirnya angkat bicara lagi."Serius, Mbak? Jatah nafkah Mbak Rena cuma sejuta sebulan? Itu beneran keterlaluan!" Dara kembali ikut campur setelah melihat suami sepupunya itu pergi. Rena mengangguk lemas. "Makanya aku kesel, Dar. Aku tuh pengen tetap bisa shopping sama teman-teman. Masa aku harus nunggu setahun buat bisa beli barang-barang yang aku mau? Masa aku nggak bisa menggunakan gajiku sendiri untuk beli ini-itu?!" balas Rena masih dengan wajah ditekuk. Dara mendengkus, lalu duduk di sebelah Rena. "Terus gimana dengan cicilan mobilnya, Mbak? Mas Aziz beneran nggak mau bantu sedikitpun? Memangnya berapa bayar cicilannya per bulan?" tanya Dara semakin penasaran. Rena m
"Apa maksudmu ngomong begitu? Oh, kamu juga seperti mereka yang mengira kakakmu gila? Perlu obat penenang, perlu ke psikiater atau psikolog segala, begitu, Num?!" sentak Mawar membuat Hanum mundur selangkah. Meski tanpa suara, Ken semakin mengeratkan genggaman tangannya untuk menenangkan Hanum. "Kamu senang kan sekarang lihat Rena seperti itu? Puas sudah membuatnya seperti ini?!" tukas Mawar lagi. "Membuat Mbak Rena seperti ini, Bu? Maksud ibu apa menuduh Hanum begitu?!" Hanum membela diri. Dia tak terima difitnah sedemikian rupa oleh ibu tirinya itu, apalagi di depan banyak orang. "Bukannya Mbak Rena yang awalnya membuat hidup Hanum hancur? Dia yang berkhianat. Kenapa sekarang ibu justru menyalahkan Hanum? Nggak salah sasaran kan, Bu?" Hanum mulai berani membela dirinya lagi. Ken menoleh, lalu mengangguk pelan. Dia mendukung keberanian istrinya. Sudah cukup lama diam dan mengalah, waktunya untuk unjuk gigi karena mengalah pun percuma, mereka tak pernah peduli akan hal itu. "Lih
"Kenapa kamu bisa begini, Ren?!" Mawar setengah berteriak saat melihat anak kesayangannya mengobrak-abrik beberapa barang di ruang tamu. Para tetangga tak berani mendekat karena Rena begitu kesetanan setelah motor dan mobilnya diangkut dealer. Azziz pun memilih pergi entah kemana. Sepertinya dia benar-benar malas melihat istrinya yang sulit diatur dan kelewat batas. "Menantu kesayangan ibu itu sudah menghancurkan hidupku. Apa laki-laki seperti itu yang menurut ibu terbaik dan layak dipertahankan?!" sentak Rena dengan mata memerah. Dia mengusap kasar kedua pipinya yang basah air mata. "Tak ada asap kalau tak ada api, Rena! Azziz begitu setelah melihatmu--Mawar tak melanjutkan kalimatnya. Di melirik sekitar yang masih banyak tetangga. Sekesal dan semarah apapun pada anaknya, Mawar masih berusaha menutupi aibnya di depan banyak orang. Dia juga tak ingin nama baik anak perempuannya makin tercemar. "Bukannya ibu bilang kalau tak ada asal kalau tak ada api? Sama halnya denganku, Bu. Ak
"Oh, ternyata kalian di rumah?!" tukas Rena saat melihat Ken dan Hanum duduk santai di teras belakang. Hanum menoleh, begitu pula dengan Ken. Mereka sengaja keluar kamar karena tak ingin terus mendengarkan pertengkaran Rena dan Azziz. Namun, sepertinya Rena tetap salah paham."Iya, Mbak. Kami memang di rumah sejak--"Sengaja menguping pertengkaranku dengan Mas Azziz? Sengaja nggak bawa mobil supaya aku nggak tahu kalau kalian di rumah?!" tuduhnya berapi-api. "Apaan sih, Mbak! Jangan asal nuduh. Ngapain juga aku sengaja nguping obrolan kalian. Nggak penting banget dan kaya kurang kerjaan!" Hanum tak mau kalah. Sekarang dia memang mulai berani membela diri bahkan tak segan menangkis tangan Rena jika dia mulai berani macam-macam. Hanum tak selemah dulu. "Halah! Kamu pasti senang kan lihat rumah tanggaku hancur berantakan? Bangga kamu ya, Num! Sekarang kamu bisa hidup mapan, sementara aku malah seperti ini," sindir Rena sembari melipat tangan ke dada. Hanum beranjak dari kursi. Ken b
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem