Dengan sigap Charles menarik Vanya sebelum Vanya benar-benar terjatuh dari tempat tidur.
"Kamu tidur kayak main k****u aja. Kalau gak cepet aku tarik, pasti sudah jatuh kamu," ucap Charles. "Untung cuma mimpi." Vanya mengatur nafasnya. "Mimpi apa?" tanya Charles. "Gak mimpi apa-apa kok." "Kalau gak mimpi apa-apa kenapa sampai mau jatuh dari tempat tidur?" Charles tetap ngotot bertanya. Penasaran. "Bukan apa-apa," jawabnya sambil berbalik membelakangi Charles. Mencoba untuk tidur lagi, karena jam baru menunjukkan pukul setengah dua belas malam. "Atau jangan-jangan kamu mimpiin aku ya," goda Charles sambil mencolek telinga Vanya. "Enggak. Pede banget sih kamu," ucap Vanya seraya memuk pelan tangan Charles. "Terus mimpi apa? Mimpi hamil ya?" tebak Charles. "Enggak, enggak, enggak." Dengan cepat Vanya membantah. "Jadiin kenyataan aja mimpi kamu yuk." Perkataan Charles membuat Vanya bergidik geli. Ia meronta saat Charles telah menyergapnya. Masuk dalam pelukan Charles. Merasakan kokohnya kedua tangan Charles. "Gimana?" tanya Charles dengan nada sedikit mengayun. Mencoba mengkonfirmasi ulang. “Duh, dosa gak sih aku? Tapi kayaknya gak dosa deh, perasaan dia ke aku aja belum jelas. Jadi gak masalah kalau aku cuekin dia” gumam Vanya dalam hati. "Aminya Charlos mah gitu terus." Tersirat jelas nada kekecewaan dalam ucapannya barusan. Tapi dia masih beruntung, pelukannya yang kian erat itu tak di tepis lagi oleh Vanya. *** Sambil mencari lowongan pekerjaan di koran, Sandra duduk di ruangan Frans. Erin menuntun Charlos berjalan ke arah Sandra duduk. "Kamu gak mau kerja di sini aja, bantuin Papa?" tanya Erin. "Sandra mana ngerti kerjaan di sini, Ma. Pesen ini pesan itu, bayar ini bayar itu." "Kan sambil belajar. Lagian sudah ada karyawan yang handle. Kamu bisa belajar dari mereka." Sandra terdiam mendengar ucapan Erin. "Kasian lo Papa udah tua," ucap Erin lagi. Sandra sendiri sebenarnya bukannya tak mau membantu Frans disini, hanya saja ia ingin merasakan bagaimana mencari pekerjaan itu. Bagaimana gugup dan cemasnya menunggu panggilan kerja. "Gapapa, Ma. Biar Sandra ada pengalaman kerja dulu." Bijak Frans menyikapi keinginan Sandra. Sama seperti dulu Charles yang ngotot mau masuk Akpol setelah lulus sekolah. Meski Frans telah mempersiapkan segala keperluan kuliah Charles dengan harapan setelah lulus ia bisa membantu mengurusi segala usaha keluarga. Namun demi cita-cita Charles anak sulungnya, dengan kerelaan hati Frans mengizinkan Charles mengikuti seleksi penerimaan akpol hingga akhirnya ia lulus dan terima. Tepat jam lima sore, mereka semua pulang dari SPBU. Berbarengan dengan Charles dan Vanya, begitu tiba di rumah. "Ami …" Charlos terlihat bahagia saat melihat Vanya datang. "Sudah makan belum?" tanya Vanya seraya mengambil Charlos dari gendongan Erin. "Mam … Mam … Mam …" Charlos mengulang-ulang kata itu. "Charlos sudah makan Ami." Erin menirukan suara Charlos. "Vanya mandikan Charlos dulu ya, Ma," ucap Vanya yang disambut dengan anggukan kepala Erin. Di dalam kamar, Charles langsung melepas seragamnya dan mengambil handuknya. "Aku mandi duluan ya?" tanyanya sebelum kakinya melangkah masuk ke dalam kamar mandi. "Iya, biar gantian nanti jaga Charlos." "Atau mau…" "Masuk ke dalam cepat!" seru Vanya sambil mendorong pelan Charles dan menutup pintu kamar mandi. Selesai makan malam, mereka pada ngumpul di ruang tengah sambil menikmati siaran televisi. "Jadi kapan Sandra mulai kerja di kantor Papa?" tanya Charles. "Sandra mau nyoba cari kerjaan dulu," sahut Erin. "Kenapa, San?" tanya Charles pada Sandra. Sandra tak menjawab, ia hanya memanyunkan bibirnya. "Ih, kamu lo tinggal masuk kerja di tempat Papa, kenapa harus nyari kerja di tempat lain lagi sih? Kan biar bantuin Papa juga," ucap Charles sedikit tak terima dengan kemauan Sandra. "Abang kenapa sih? Dulu juga Abang gitu, padahal Papa udah siapin Kuliah buat Abang, yang nanti kalau Abang lulus langsung bantu apa. Tapi apa? Abang malah milih masuk akpol kan? Papa gak protes tuh." Sandra menumpahkan kekesalannya di depan semua orang. "Sudah! Kalian berdua kenapa jadi berdebat? Kasihan Charlos!" seru Erin melotot pada Sandra dan Charles bergantian. Yang dipelototi Erin hanya diam saja. "Papa gak pernah memaksa kalian untuk membantu Papa di kantor. Selama Papa masih kuat, Papa bisa kerjakan semuanya sendiri. Kalian bebas memilih jalan kalian sendiri. Yang penting kalian bertanggung jawab dengan apa yang kalian pilih. Ingat jangan sampai kalian berdebat masalah pekerjaan lagi!" seru Frans. "Kalian bersaudara cuma berdua, mbok ya saling support, saling dukung," ucap Erin. Vanya hanya diam mendengarkan mereka berempat. Tak berniat ikut campur di sini. "Maafin Sandra, Bang." "Maafin, Abang juga ya." Kompak Sandra dan Charles meminta maaf. "Nah gitu kan enak," ujar Erin memandang Charle dan Sanda bergantian. “Ih, disini dia bisa langsung minta maaf. Coba kalau sama aku, boro-boro. Harus didiemin dulu baru minta maaf. Ckck” gumam Vanya dalam hati. "Sudah, kalian semua istirahat. Sudah jam sembilan ini." Frans menekan tombol power pada remote tv dan mematikannya. Ia berjalan dan berhenti di depan Charlos. "Ayo kita bobo," ajak Frans yang disambut ceria oleh Charlos. Charlos mengulurkan kedua tangannya, tanda minta digendong. Ia sedikit kelimpungan melihat Charlos yang seolah tak keberatan malam ini tidur jauh darinya. "Dadah dulu sama Ami," ucap Frans sambil melambaikan tangan pada Vanya. Vanya hanya bisa tersenyum kecut melihat Frans membawa Charlos masuk ke dalam kamarnya. "Ma, nanti Charlos ngerepotin Mama sama Papa lagi," ucap Vanya saat Erin melintas di sampingnya. "Gapapa, Sayang. Sudah kalian tidur ya," ucap Erin seraya mengelus pundak Vanya pelan, kemudian meninggalkan Vanya sendirian di ruang tengah. Sandra dan Charles telah masuk ke kamar masing-masing dan tak mungkin Vanya tidur disini. “Ya ampun, tahu gini aku bawa Charlos duluan masuk kamar” rutuknya dalam hati. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju kamarnya. Tampak Charles sudah lebih dulu berada di atas ranjang. Vanya bergidik takut melihat gaya Charles. Bersandar di ranjang dengan satu tangan terbuka dan menatap Vanya. Tak langsung naik ke atas ranjang, Vanya malah masuk ke kamar mandi. Sedikit lama di dalam sana, dengan harapan saat keluar nanti Charles telah tertidur. Namun tak semudah itu. Charles masih dalam posisi terjaga saat Vanya keluar dari dalam kamar mandi, hanya kini ia tengah serius memandang layar handphonenya. Dengan sigap Vanya naik ke atas ranjang dan masuk dalam ke dalam selimut. Ia dapat merasakan apa yang dilakukan Charles di belakang punggungnya. "Kenapa?" tanya Vanya yang saat berbalik melihat raut wajah Charles sedikit muram. "Tadi aku salah ya?" "Salah lah!" seru Vanya berapi-api. "Walaupun kamu Abang, kamu gak ada hak untuk memaksakan kehendak kamu sama adik kamu sendiri. Dia bebas dengan pilihannya sendiri, asal dia bertanggung jawab kayak yang Papa bilang. Sama seperti dulu kamu maksa Vanya tetap PKL di tempat aku kerja, ujung-ujungnya dia kan PKL tempat lain kan?" "Masih inget aja kamu soal itu," ucap Charles seraya menggeser badannya lebih dekat dengan Vanya. "Ingat lah," ucap Vanya. Tak ada sungkan-sungkannya Vanya mengkritik Charles. "Jadi kamu gak boleh egois," sambung Vanya lagi. "Iya, iya." Charles lebih dekat lagi menempelkan badannya pada Vanya. "Aku gak boleh egois, kamu juga gak boleh egois dong," ucap Charles. Tangannya perlahan naik ke atas baju Vanya dan mengeluarkan satu kancing baju dari lubangnya. "Egois apa?" Vanya menangkap tangan Charles yang mulai turun pada kancing ketiga. "Aku boleh minta?" pertanyaan Charles membuat detak jantung Vanya kocar kacir tak menentu. Takut Charles meminta haknya, sedang Vanya sendiri belum benar-benar siap. Charles menyingkapkan sedikit baju Vanya yang telah terbuka. Terlihat jelas apa yang tersembunyi di balik sana. Dapat dirasakannya detak jantung Vanya seperti berlarian saat wajahnya mendekat pada apa yang ada di balik baju Vanya. Ia tersenyum sesaat setelah meninggalkan tanda merah di sana. Tidak hanya satu namun tiga tanda merah. Meskipun sangat-sangat ingin, ia berusaha tetap mengontrol emosinya, karena tahu Vanya belum siap untuk hal itu. "Selamat malam Aminya Charlos." Charles mencium kening Vanya dan mengembalikan lagi posisi kancing baju ke posisi semula kemudian mendekap Vanya dalam tidurnya. Untung lah, malam ini Vanya dapat bernafas lega.Dengan sigap Charles menarik Vanya sebelum Vanya benar-benar terjatuh dari tempat tidur."Kamu tidur kayak main kungfu aja. Kalau gak cepet aku tarik, pasti sudah jatuh kamu," ucap Charles."Untung cuma mimpi." Vanya mengatur nafasnya. "Mimpi apa?" tanya Charles."Gak mimpi apa-apa kok.""Kalau gak mimpi apa-apa kenapa sampai mau jatuh dari tempat tidur?" Charles tetap ngotot bertanya. Penasaran."Bukan apa-apa," jawabnya sambil berbalik membelakangi Charles. Mencoba untuk tidur lagi, karena jam baru menunjukkan pukul setengah dua belas malam."Atau jangan-jangan kamu mimpiin aku ya," goda Charles sambil mencolek telinga Vanya."Enggak. Pede banget sih kamu," ucap Vanya seraya memuk pelan tangan Charles."Terus mimpi apa? Mimpi hamil ya?" tebak Charles."Enggak, enggak, enggak." Dengan cepat Vanya membantah."Jadiin kenyataan aja mimpi kamu yuk." Perkataan Charles membuat Vanya bergidik geli. Ia meronta saat Charles telah menyergapnya. Masuk dalam pelukan Charles. Merasakan kokohnya
Sedikit kesal sih karena pagi-pagi Charles sudah pamit pergi kerja duluan, dan menyuruh Vanya untuk ikut dengan Sandra. Tak ada kata-kata yang berarti keluar dari mulut Charles pagi ini, pada hal hari ini adalah tepat satu tahun mereka menikah. Entah lupa atau sengaja, Vanya tak tahu. Ia memutuskan untuk tidak ambil pusing dengan sikap Charles dan menyimpannya dalam hati saja. Setelah siap dengan pakaian kerjanya, ia mengajak Charlos keluar dari kamar. Semenjak Vanya resmi menjadi Aminya Charlos, yang biasanya Charlos jarang bangun pagi, kini berubah. Ia selalu bangun pagi seolah ingin selalu mengantarkan Vanya pergi bekerja."Happy Anniversary yang pertama ya Aminya Charlos. Semoga kalian selalu bahagia, Amin," ucap Erin saat Vanya tiba di ruang makan."Amin." Frans pun turut mengamini ucapan Erin."Makasih ya, Mama, Papa. Semoga kita semua selalu bahagia, Amin," ucap Vanya. Ia menarik kursi dan duduk di samping Charlos yang telah anteng di atas kursi bayinya."Tadinya sih mau ajak d
Vanya memandangi kalender yang ada di atas meja dan membolak tiap lembar. Ia tampak memikirkan sesuatu. Kalau dihitung-hitung, ini sudah hampir satu tahun mereka menikah. Tepatnya, tiga hari lagi, genap satu tahun usia pernikahan mereka. Sebenarnya ia tak berekspektasi yang berlebihan di hari jadi mereka ini. Charles ingat saja, itu sudah hal yang luar biasa. Syukur.Belakangan ini, Vanya merasa kalau hubungannya dengan Charles jauh lebih baik dari sebelumnya. Walau kadang masih sering berdebat kecil.“Kamu mau cuti? Dari tadi liatin kalender terus," ucap Tyas."Gak sih, belum ada rencana," jawab Vanya cengengesan."Terus?""Liatin kapan gajian, udah menipis soalnya, hahahaha …." ucap Vanya."Ah, kayaknya kamu termasuk golongan orang yang uangnya gak berseri deh.""Amin Ya Allah," sahut Vanya seraya menengadahkan tangannya. Vanya mengamini saja ucapan Tyas, meski tahu yang dimaksud Tyas adalah mertuanya.Setelah membereskan meja, Vanya, Tyas, dan yang lain menuju aula kantor untuk me
Pencarian hari ketiga, akhirnya membuahkan hasil. Setelah sebelumnya, Charles menyerahkan foto diri orang yang menipu keluarganya, Charles mendapatkan kabar, bahwa orang yang diduga mirip dengan ciri-ciri yang dicari, terlihat di salah satu rumah makan di daerah Bandung siang ini. Setelah mendapatkan izin dari atasannya. Charles dan seorang temannya meluncur ke sana.Aku ke Bandung dulu. Ada yang diurus. Nanti Sandra yang jemput, karena aku mungkin pulang tengah malam.Isi pesan yang dikirim Charles pada Vanya. Sepertinya semesta mendukung rencana Charles untuk memburu tukang tipu itu. Setibanya di Bandung, Charles langsung menuju ke sebuah rumah kontrakan tempat orang itu berada, sebelumnya Charles telah minta tolong pada temannya di salah satu polsek di daerah Bandung untuk mengikuti kemana orang itu pergi. Charles memarkir jauh mobilnya, kemudian berjalan menuju rumah yang dimakasud."Mana?" tanya Charles pada temannya yang telah lebih dulu menunggu tak jauh
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Vanya hanya diam. Sedari tadi ia terus memegang perutnya dengan posisi sedikit membungkuk. Ini dilakukannya agar sakit datang bulannya sedikit berkurang. Sudah lama ia tidak merasakan sakit yang lumayan menyiksa seperti ini."Kamu sakit? Wajah kamu pucat? Sudah makan?" tanya Charles bertubi-tubi. Vanya mengangkat wajahnya dan tersenyum kecut. "Aku baik-baik aja," ucapnya dengan nada tertahan."Kalau baik-baik aja, kenapa sampai pucat kayak gitu?""Sakitnya udah biasa. Setiap bulan pasti kaya gini. Masalah wanita.""Tapi selama kita sama-sama, baru kali ini aku lihat kamu sakit sampai pucat kayak gini," ucap Charles lagi. Vanya tak menjawab, berharap Charles berhenti menanyainya. Karena gerakan bibir saat menjawab setiap pertanyaan dari Charles, menambah rasa nyeri di perutnya."Kalau gitu, sekarang kita ke dokter. Kita periksa. Supaya jelas kamu ada riwayat sakit apa. Aku gak mau kamu kaya Kirana dulu yang punya kista di
Pagi ini Vanya bangun karena suara tangisan Charlos. Ia meraba sampingnya dan tak merasakan keberadaan Charlos. Ia beranjak dari ranjang dan menggendong Charlos, keluar dari box bayinya."Sshhh sshhhh shhhhh," Vanya coba menenangkan Charlos. Ia melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul lima pagi. Di balik selimut Charles juga masih terlelap tidur. Setelah Charlos tenang dan kembali tidur, dengan perlahan ia meletakkan Charlos ke dalam box bayinya. Vanya mencuci muka, menyikat gigi, dan merapikan rambutnya, sebelum keluar dari kamar.Hannya mereka bertiga yang ada di rumah. Paling tidak, ia harus menyiapkan sarapan untuk Charles dan juga Charlos. Ia membuka kulkas dan melihat apa yang dapat dimasak pagi ini. Ia mengeluarkan ayam yang telah dibumbui dari dalam freezer dan mengeluarkan beberapa jenis sayuran. Sinar matahari mulai mengintip dari balik celah-celah jendela. Ia lalu mematikan kompor karena masakannya telah selesai. Tak perlu waktu lama untuk