Setelah melalui segala macam pertimbangan, dengan berat hari Erin akhirnya memperbolehkan Charles, Vanya, dan juga Charlos untuk pindah ke rumah sendiri. Bukan hari ini, namun masih beberapa hari lagi. Erin sengaja mengulur waktu, karena memang ia masih berat untuk melepas mereka pergi dari rumah. Setelah dari bayi ia merawat cucu pertamanya, mulai dari hanya bisa menangis, sampai sekarang sudah terus mengoceh tak bisa diam. Ia merasa sangat kehilangan. Ditambah lagi dengan Vanya, menantu yang sangat baik dan selalu bisa membuatnya senang.
Ia membantu Vanya berkemas-kemas di kamar Charles. Memasukkan baju-baju Charlos ke dalam koper dan beberapa perlengkapannya ke dalam kardus. "Mama sedih lo kalian pindah dari sini," ucap Erin sambil melipat baju Charlos. "Vanya sebenarnya juga sedih, Ma. Sudah kerasan di sini. Walau sekarang Vanya sudah gak kerja lagi, Vanya tetap merasa happy, gak kesepian." Punya mertua dan ipar sebaik dan seramah keluarga Charles memang anugerah. Sikap mereka yang tidak membedakan dan malah menganggap menantu layaknya anak kandung, siapa yang tak suka coba. "Gimana kalau kamu bilang Papanya Charlos supaya batalin rencana pindah kalian ini?" Belum sempat Vanya menjawab pertanyaan Erin. Erin kemudian menyambung ucapannya. "Tapi kalau kalian tetap disini, kapan kalian mandirinya? Ah, yang penting kamu gak keberatan kalau nanti Mama sering main ke tempat kamu atau kamu yang main ke sini," pungkas Erin yang disambut dengan anggukan kepala Vanya. Vanya menutup koper Charlos yang sudah penuh dengan baju dan perlengkapannya. "Mama bikin makan Charlos dulu ya. Udah mau jam makan dia," ucap Erin seraya berdiri dan keluar dari kamar. *** Sore hari, Charles pulang lebih cepat dari biasanya. Ia membawakan sekotak donat yang diletakkannya di meja makan. "Vanya sama Charlos dimana, Ma?" tanya Charles pada Erin yang berkutat di dapur menyiapkan makan malam bersama dengan Bu Tuti. "Di kamar. Paling beres-beres," sahut Erin yang tengah mencicipi rasa masakannya. Charles memutar balik arahnya menuju kamar. Benar saja, ibu sambung dan anaknya itu tengah mendorong koper ke sudut ruangan kamar. "Papa." Charlos berlari kecil menghampiri Charles yang tengah berjalan mendekatinya. "Sudah wangi ya anak Papa ini," puji Charles yang setengah berjongkok mencium pipi Charlos. Baru saja sebentar dengan Papanya, Charlos terus berlari keluar kamar. "Pelan-pelan Charlos." Vanya berjalan hendak menyusul anak itu, namun langkahnya terhenti oleh cegatan tangan Charles. "Kalau Aminya sudah wangi juga belum?" Charles membaui wanita di dekatnya yang tengah mengenakan baju berwarna biru malam senada dengan bawahannya. "Nanti dilihat orang," ucap Vanya. Ia mengangkat sebelah pundaknya menepis sentuhan Charles. "Orang? Siapa? Paling juga Mama," sahut Charles seraya menarik pinggang Vanya. "Sebentar lagi kita pindah," bisiknya menggoda di telinga Vanya. Vanya bergidik ngeri melihat tatapan Charles sambil berlalu pergi. “Ckck” Charles tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sudah banyak rencana tersusun di dalam kepalanya saat telah di rumah sendiri nanti. Memikirkan hal itu akan datang saja sudah membuatnya sangat bahagia. Mereka menikmati donat yang dibawa Charles tadi setelah selesai makan malam. Dengan mulut dan tangan yang penuh coklat, Charlos mendekati Vanya dan menyapukan coklat itu ke wajah Vanya. "Mau, mau," ujar Charlos dengan jari tangan yang menunjuk ke arah piring berisi donat yang ada di meja *** "Kalian berdua aja lah yang ke sana, Mama pengen main sama Charlos di rumah. Lagian supaya beres-beres kalian disana bisa cepet selesai," ucap Erin yang sedari tadi sedang menggendong Charlos. "Charlos yang baik sama Oma ya," ucap Vanya sambil mencium anak sambungnya itu. "Kita jalan sebentar ya, Ma," pamit Vanya. "Hati-hati ya." Erin melambaikan tangan Charlos pada Vanya dan Charles yang telah berada di dalam mobil dan menghilang setelah keluar dari halaman rumah. Sepanjang perjalanan, Charles tampak sangat bersemangat, senyum tak lepas dari wajahnya. Sesekali ia melirik pada Vanya yang menatap keluar jendela. Memasuki komplek perumahan, Charles membuka kaca jendela menyapa satpam yang tengah berjaga di pos depan. "Ini kuncinya," ucap Charles sambil mengeluarkan kunci dari saku celananya dan memberikan kunci pada Vanya. “God, please make everything gonna be okay” doanya dalam hati dan memutar kunci rumah, seraya melangkahkan kaki masuk. Tampak berbeda dari terakhir dia datang. Beberapa perabot terlihat baru dengan posisi yang juga telah berubah. Vanya mengambil dua koper Charlos dan langsung membawanya masuk ke kamar Charlos. Ia menyusun baju-baju Charlos dan beberapa perlengkapannya. Selesai membereskan barang-barang Charlos, ia berjalan membuka jendela kamar dan berdiri di sana melihat ke atas, menatap birunya langit dan awan putih yang menghiasi. "Sudah selesai kenapa gak langsung ke kamar kita aja." Charles datang dari arah belakang dan memeluknya. "Baru juga selesai," sahut Vanya. Masih berada di dalam pelukan Charles, mereka berjalan bersama menuju kamar melalui pintu penghubung. Saat tiba di kamar dan melihat kopernya telah terbuka dan beberapa pakaian dalamnya terlihat jelas, Vanya melepaskan tangan Charles dan berlari panik menutup kopernya. "Sembarangan banget sih buka koper orang!" Vanya kesal. "Loh, kan koper kita sama?" Vanya memandang dua koper di depannya yang berwarna dan ukuran sama. "Lagian kamu, bukannya beres-beres pakaian kita dulu," ucap Charles lagi. Vanya mendengus kesal. Dengan cepat ia memasukkan pakaiannya dan pakaian Charles ke dalam lemari. Sementara Vanya masih menatap tumpukkan baju yang baru saja disusunnya, Charles menutup kedua koper itu dan menyimpannya di samping lemari. "Jadi, kita mau ngapain lagi? Charles menarik Vanya. “Sudah gak ada” batin Vanya saat matanya berkeliling mencari foto itu tapi tak menemukannya. "Kamu mau nyoba ranjang baru kita?" Charles membawa Vanya jatuh di empuknya kasur yang baru saja digantinya. Vanya melihat sekilas ranjang yang tengah direbahinnya ini, memang baru. Ia menarik Vanya lebih ke tengah kasur, seraya melepas kacamata yang dipakai Vanya. "Emangnya aku mau?" Vanya mengambil kacamata dan memakainya lagi. "Pasti mau lah," ucap Charles yakin yang telah melepas bajunya dan menyisakan kaos dalam berwarna hitam yang membentuk badannya. Ia menimpa tubuh Vanya pelan, hendak memulai aksinya. Namun baru saja ingin menyesap bibir merah Vanya, dua suara yang tak diinginkan terdengar membuyarkan suasana hangat yang telah tercipta. Suara perut Vanya dan bunyi bel rumah. "Ya ampun! Bisanya-bisanya kamu lapar saat kita sedang seperti ini? Dan siapa lagi yang datang jam segini? Mengganggu saja!" serunya kesal. Ia turun dari atas ranjang dan melangkahkan kaki penuh emosi menuju pintu depan. "Siang, Pak," sapa Pak Rekso yang datang bersama istrinya, Bu Sum. Vanya yang mengekori Charles di belakang memperhatikan dua orang di depan pintu kemudian tersenyum sembari menyambut tangan kedua orang itu berganti memperkenalkan diri. "Kan Pak Charles sendiri yang minta saya dan istri untuk datang jam segini," jawab Pak Rekso saat Charles menanyakan perihal kedatangan mereka. "Semua sudah selesai, jadi Pak Rekso dan istri pulang saja dulu. Nanti saya kabari lagi," perintah Charles. Dua orang paruh baya itu mengangguk kemudian permisi pamit pulang. "Jadi mereka siapa?" tanya Vanya sesaat setelah mereka pergi. "Orang yang biasa aku suruh buat bersih-bersih rumah ini. Nanti Bu Sum juga yang akan membantu kamu di rumah ini," ucap Charles. "Oh." Vanya manggut-manggut. "Eh, kamu mau ngapain lagi?" tanya Vanya panik saat Charles kembali menyergapnya. "Kan tadi belum selesai." "Aku tadi sudah pesan makanan lewat aplikasi online, bentar lagi pasti datang," kilahnya yang membuat Charles melotot. Tak berapa lama seseorang memanggil-manggil dari depan pagar. "Kamu ambilin ya," ucap Vanya manja sambil mendorong pelan Charles. "Kamu sengaja kan?" "Sengaja apa? Lapar mana bisa di sengaja sih. Kamu cepet ambilin ya," ucapnya lagi. "Dosa apa aku Ya Tuhan," ujar Charles sambil berlalu menuju depan rumah. *** Setelah selesai makan, Charles tetap berusaha menggoda Vanya yang tengah membersihkan piring bekas makan mereka tadi. Ia memeluk dan mengikuti kemana Vanya bergerak. "Charles," ucap Vanya pelan saat Bapaknya Charlos itu mulai membelai lembut setiap inci kulitnya. "Kamu gak akan nangis lagi kan?" bisiknya di telinga Vanya. Ia melarikan bibir yang baru saja berbisik itu, kemudian mencecap bibir Vanya dengan penuh perasaan. Saat ternyata Vanya membalasnya dan siap lebih dalam lagi, kembali dengan nyaring suara dering handphone Charles memanggil. "Astaga!" umpatnya kesal sambil mengacak-acak rambut, berjalan menuju meja makan mengambil handphonenya. Melihat Charles seperti itu, Vanya hanya bisa tertawa. "Siap Pak. Segera meluncur," ucap Charles sambil memasukkan handphonenya ke saku celana. "Panggilan ya?" Vanya memeluk Charles dan memainkan jarinya di dekat pusar Charles yang berambut. Menggodanya karena tahu Charles harus cepat ke kantor, jadi tak mungkin ia akan balas menggoda. "Siapa bilang?" Charles mengangkat dan mendudukkan Vanya di atas meja makan. Seraya membuka beberapa kancing baju Vanya. "Iya, iya," sahut Charles singkat dibalik telepon dengan satu tangan yang masih bermain. "Awas ya Aminya Charlos, lain waktu kamu pasti gak bisa lolos," ucap Charles lagi seraya membenarkan kancing baju Vanya dan berlalu ke kamar, mengambil baju dan barang-barang Vanya."Kayaknya gak bisa deh, hari ini sampai beberapa hari kedepan Mama di Bandung. Di rumah Yuda.""Berarti lain kali harus atur jadwal dulu sama Mama ya," ucap Charles. "Gak gitu juga sih tapi jangan mendadak kaya gini juga. Gapapa kalian liburan aja ya. Nanti bawa oleh-oleh kabar baik ya," ucap Mama.Charles senyum-senyum mendengar ucapan Mama di telpon. Vanya yang dari tadi berdiri di depan connecting door, berjalan mendekat menanyakan apa yang mereka obrolan. Walaupun sebenarnya, Vanya sudah tahu Mama gak bakal bisa ikut liburan dengannya, tetap saja ia sedih mendengar jawaban dari Charles."Jadi mau gimana?" tanya Charles.Vanya mengangkat kedua pundaknya."Lain kali kita atur jadwal lagi kalau mau ajak Mama jalan," ucap Charles. Vanya mengangguk sambil mengajak Charlos ke ruang tamu untuk sarapan.Setelah menempatkan Charlos di kursinya, Vanya menyiapkan makanan untuk Charlos."Kalau kata Omanya Charlos barusan aku telpon, mereka excited buat libur
Hari-hari berjalan seperti biasa, meski telah tidur terpisah selama kurang lebih satu bulan. Vanya tetap menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dan istri. Ia tetap melayani suaminya. Seperti pagi ini, ia pun tak keberatan untuk mengantarkan Charles ke kantor. Setelah menempatkan Charlos pada kursi khusus anak yang terpasang di kursi belakang, mereka meninggalkan rumah dan menuju kantor Charles."Kalian mau langsung pulang atau ada tujuan lain?" tanya Charles sebelum turun dari mobil."Mampir ke tempat Mama boleh kan?"Charles mengangguk seraya membelai lembut lengan Vanya. "Kalian hati-hati ya."***Vanya berada di rumah Mama, hingga selesai jam makan siang. Seperti tahu anak dan cucunya akan datang, Mama memasak makanan kesukaan Vanya. Ia makan dengan lahap sementara Charlos diurus oleh Mama."Wuih, hebat nih cucu Oma makannya habis," ucap Mama girang sambil bertepuk tangan yang kemudian diikuti oleh Charlos. Mama kemudian membersihkan mulut Char
Rumah baru dengan satu lantai dan halaman yang cukup luas itu, penuh dengan keluarga Vanya dan juga Charles. Setelah mengucap doa dan syukur, mereka bergantian menikmati makanan yang telah tertata rapi di meja panjang. "Cuman makan sayur aja? Kamu diet," ucap Nana saat melihat piring yang dipegang Vanya. "Mau diet apa coba, Kak. Vanya sudah gini," ucap Vanya sambil melihat badannya. Gak gemuk gak kurus juga sih."Iya kamu gak usah diet-diet ya, tapi jangan juga sampe bablas," timpal Mama."Iya, Ma," sahut Vanya.Jarum jam mulai menunjuk ke pukul tiga sore, saat beberapa keluarga sudah mulai pamit pulang. Dengan didampingi Vanya, Charles mengantarkan keluarganya yang pamit pulang. Ia juga mengucapkan terimakasih kepada mereka, karena telah bersedia hadir di acara ini. Vanya dibantu Bu Sum, membereskan meja makan kemudian membawa beberapa piring dan gelas yang kotor ke dapur."Bu Vanya di depan saja, biar saya yang bereskan, Bu," ucap Bu Sum saat melihat
Sepanjang jalan Charlos yang duduk di pangkuan Erin terus berdecak kagum melihat gedung-gedung tinggi dan ramainya kendaraan di jalan raya. Rona wajahnya sama dengan cuaca pagi ini, sangat cerah. Seperti tahu ia akan berkunjung ke makam ibunya saja. Empat puluh lima menit perjalanan, mereka akhirnya tiba di pemakaman umum tempat Kirana beristirahat untuk selamanya."Mobilnya Charles," ucap Erin seraya menunjuk mobil besar dengan warna hitam yang terparkir di bawah pohon."Iya, Ma," jawab Vanya sambil menoleh."Sayang, kamu duluan ya. Biar Mama beli bunga dulu," suruh Erin. Dengan menggendong Charlos, Vanya masuk ke area pemakaman yang dipenuhi pepohonan. Ia melangkahkan kaki pasti menuju pusara Kirana, istri pertama suaminya itu."Hai sayangku yang akan selalu mengisi hatiku," sapa Charles sambil mengusap nisan bertuliskan nama istri pertamanya itu. Sapaan yang terdengar jelas di telinga Vanya. Yang akan selalu mengisi hati ku.Kalimat itu berputar
Setelah melalui segala macam pertimbangan, dengan berat hari Erin akhirnya memperbolehkan Charles, Vanya, dan juga Charlos untuk pindah ke rumah sendiri. Bukan hari ini, namun masih beberapa hari lagi. Erin sengaja mengulur waktu, karena memang ia masih berat untuk melepas mereka pergi dari rumah. Setelah dari bayi ia merawat cucu pertamanya, mulai dari hanya bisa menangis, sampai sekarang sudah terus mengoceh tak bisa diam. Ia merasa sangat kehilangan. Ditambah lagi dengan Vanya, menantu yang sangat baik dan selalu bisa membuatnya senang.Ia membantu Vanya berkemas-kemas di kamar Charles. Memasukkan baju-baju Charlos ke dalam koper dan beberapa perlengkapannya ke dalam kardus."Mama sedih lo kalian pindah dari sini," ucap Erin sambil melipat baju Charlos."Vanya sebenarnya juga sedih, Ma. Sudah kerasan di sini. Walau sekarang Vanya sudah gak kerja lagi, Vanya tetap merasa happy, gak kesepian."Punya mertua dan ipar sebaik dan seramah keluarga Cha
Dengan mengendarai mobil Sandra, Vanya melajukan mobil diatas jalan yang masih basah akibat hujan yang baru saja reda."Belakangan ini Mama lihat kamu sepertinya sedang perang dingin dengan Papanya Charlos ya?""Ah enggak kok, Ma. Perasaan Mama aja kali," elak Vanya.Meski tak segalak awal-awal waktu kejadian itu, sikap Vanya memang masih sedikit berbeda dengan Charles. Erin beberapa kali memergoki Vanya yang mengacuhkan Charles."Kamu bilang aja sama Mama kalau Charles macam-macam sama kamu ya, biar Mama yang kasih pelajaran sama dia," ucap Erin."Iya, Ma." Vanya mengiyakan ucapan Erin. Walau kenyataannya, itu tidak mungkin dilakukannya. Sebisa mungkin, ia berusaha mengatasi masalahnya sendiri.Mereka tiba di kantor Frans tepat jam makan siang bersamaan dengan datangnya Charles."Kamu bawain rantang makan di kursi belakang ya," ucap Erin pada Charles sebelum masuk ke dalam kantor."Kamu masak apa?" tanya Charles pada Vanya."Gak masak. Bu Tuti ya