Dengan mengendarai mobil Sandra, Vanya melajukan mobil diatas jalan yang masih basah akibat hujan yang baru saja reda.
"Belakangan ini Mama lihat kamu sepertinya sedang perang dingin dengan Papanya Charlos ya?" "Ah enggak kok, Ma. Perasaan Mama aja kali," elak Vanya. Meski tak segalak awal-awal waktu kejadian itu, sikap Vanya memang masih sedikit berbeda dengan Charles. Erin beberapa kali memergoki Vanya yang mengacuhkan Charles. "Kamu bilang aja sama Mama kalau Charles macam-macam sama kamu ya, biar Mama yang kasih pelajaran sama dia," ucap Erin. "Iya, Ma." Vanya mengiyakan ucapan Erin. Walau kenyataannya, itu tidak mungkin dilakukannya. Sebisa mungkin, ia berusaha mengatasi masalahnya sendiri. Mereka tiba di kantor Frans tepat jam makan siang bersamaan dengan datangnya Charles. "Kamu bawain rantang makan di kursi belakang ya," ucap Erin pada Charles sebelum masuk ke dalam kantor. "Kamu masak apa?" tanya Charles pada Vanya. "Gak masak. Bu Tuti yang masak." Vanya masuk duluan tanpa menghiraukan Charles yang agak kesusahan membuka pintu akibat kedua tangannya yang penuh memegang rantang makanan. “Sabar, sabar. Orang sabar pasti bisa ngedapetin hati Aminya Charlos lagi” gumamnya dalam hati. *** Charles terlihat serius menatap layar handphonenya. Ia tengah memilah-milah ranjang baru untuk menggantikan tempat tidur di rumah yang kemarin mereka lihat. Mungkin dengan bergantinya tempat tidur itu, sikap Vanya akan kembali seperti semula. Ia pun menjatuhkan pilihan pada satu tempat tidur dengan ukuran besar dengan dipan berwarna coklat. Setelah men screenshot gambar tersebut, Charles mengirimkannya pada Pak Rekso yang biasa membersihkan rumah, untuk membelikannya. Ia meletakkan handphonenya dan merebahkan diri di samping Vanya. “Eh, ini gak ada Charlos” Charles baru sadar kalau buah hatinya itu sudah tertidur di dalam boxnya. Ia bangun dan menghampiri Charlos. Mengusap-usap rambutnya sambil berdoa dalam hati agar Charlos tidur dengan nyenyak hingga besok pagi. Pria itu menyemprotkan parfum ke badannya kemudian berlutut di samping Vanya yang tidur dengan posisi menyamping. Otaknya berputar, memikir apa yang bisa dilakukannya untuk mengisengi Vanya. “Sekarang atau tunggu dia baik sendiri” Charles memberikan pilihan untuk dirinya sendiri. Dan ia mantap memilih sekarang, yang artinya apapun yang bakal terjadi antara dia dan Vanya, ia harus siap menghadapinya. Tapi bila tak dilakukannya sekarang, ia tak tahu akan sampai kapan dalam situasi seperti ini. Dengan irama jantung yang mulai berdebar kencang, ia mendekatkan wajahnya dan berhenti tepat di depan bibir Vanya. "Auuww," jerit Vanya kaget. Alih-alih menciumnya, Charles lebih memilih untuk menggigit bibir Vanya. Charles nyengir kuda memperlihatkan deretan gigi rapinya. "Kamu gak ada kerjaan? Bukannya tidur malah aneh-aneh!" seru Vanya memegang bibir bawahnya yang terasa sedikit sakit. Ia berbalik membelakangi Charles. "Kenapa kamu gak tidur aja sih?" "Mana bisa aku tidur kalau kamu masih kaya gini," ucap Charles yang telah berada di samping Vanya. Tangannya cepat menahan Vanya yang hendak berbalik. "Aku ngantuk. Mau tidur aja." "Kamu ngapain tidur cepat? Sama aku dong sekali-kali begadang," ucap Charles lagi. "Ngapain begadang sama kamu, gak ada hasilnya." "Oh, kamu mau ada hasilnya? Ya sudah ayok, aku mah siap terus." Tak tunggu waktu lama, Charles telah memposisikan dirinya di depan Vanya dengan pose sangat menggoda. "Ya Tuhan." Vanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Antara malu dan lucu ia melihat kelakuan aneh Bapaknya Charlos itu. 'Kasihan juga sama dia. Tapi' Vanya berpikir sejenak. 'Tapi, biarin aja lah' gumamnya lagi. "Ayok, tunggu apa lagi?" tanya Charles. "Kamu mau ngapain?" "Katanya mau bikin hasil?" Semangat masih terpancar dari wajah Charles tapi tak begitu dengan wajah Vanya. Ia menjatuhkan diri di samping Aminya Charlos itu dan membuang nafas kesal. "Awas aja ya nanti kalau kita sudah pindah ke rumah sendiri, kamu gak bakal bisa lepas!" "Emangnya aku mau?" "Ranjangnya sudah aku ganti, jadi gak ada alasan lagi kamu gak mau pindah ke sana?" "Apa hubungannya coba?" "Kan kamu yang bilang, gak mau tidur kalau ranjangnya masih itu." "Otak kamu mesum ya?" "Mesum kamu bilang?" Charles tak terima. Ia menggigit tangan Vanya, melampiaskan kekesalannya akibat perkataan Vanya. Bukan mesum, ia hanya ingin memperjuangkan haknya yang sampai sekarang belum diterimanya. *** Pagi datang menjemput, meninggalkan malam yang telah berlalu. Akhir pekan seperti ini dia biasa bangun siang bila tak ada rencana kemana-mana. Ia menyibakkan gorden, membiarkan cahaya matahari masuk. “Dia tidur apa pura-pura tidur ya” ucapnya dalam hati. Vanya berjalan mengitari kamar mencari sesuatu agar ia dapat menyentuh Charles secara tidak langsung. Ia meraih guling dan memukul pelan di muka Charles. "Pingsan ya dia ini?" tanyanya seraya mendekati Vanya. "Kamu penasaran juga ya," ucap Charles dengan cepat menarik tangan Vanya dan membuat jatuh dalam pelukan Charles. Ia mengatur nafasnya sambil berusaha melepaskan diri dari Charles. "Sepagi ini kamu sudah tampak menarik." Charles menghirup aroma tubuh Vanya. "Sepagi ini? Sudah menjelang siang tapi kamu masih bilang sepagi ini?" "Kamu sudah gak marah lagi kan?" tanya Charles mengendurkan pelukannya. Namun tetap tak membiarkan Vanya menjauh. "Setelah kusadari ternyata percuma marah sama kamu. Kamu gak sadar-sadar. Dan sepertinya aku harus punya stok sabar yang banyak dan gak terbatas untuk menghadapi kamu," ucap Vanya. "Gak sadar gimana? Ini aku sadar seratus persen. Kamunya aja yang gak tahu gimana pusingnya aku nyari cara supaya kamu berhenti marah sama aku." Charles menarik Vanya lagi dan mendudukkannya di pangkuan. “Pusing dia bilang? Tinggal minta maaf aja, apa susahnya sih? Semudah itu tapi dia bilang pusing. Ckckck” gumam Vanya tak habis pikir. “Dari semua wanita yang aku kenal, cuma kamu yang susah untuk ditaklukkan. Padahal kamu jelas-jelas sayang juga cinta sama aku. Semuanya harus aku yang mulai duluan” batin Charles. "Jadi?" "Jadi?" "Masih marah atau enggak?" Charles memastikan. "Kan aku bilang, percuma marah sama kamu. Kamu juga gak sadar-sadar," ucap Vanya. "Kamu--" Bingung harus berkata apalagi Charles, Ia mengangkat dagu Vanya seraya mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir wanita di depannya itu dengan lembut. Nafas yang semula berhembus secara teratur, kini menjadi kian memburu saat Vanya membalas ciuman Bapaknya Charlos itu. Tak ingin terjadi hal yang lebih dari ini, Vanya membuka mulutnya dan menggigit ujung bibir Charles agar ia menghentikan aksinya sebelum menjadi semakin menjadi-jadi. "Sudah cukup ya," ucap Vanya seraya berdiri dari pangkuan Charles. "Artinya kamu sudah gak marah lagi kan?" "Kamu nanya itu terus dari tadi," ujar Vanya. "Eh, udah dicium berarti udah gak marah lagi kan ya?" Charles melompat dari tempat tidur dan kembali memeluk Vanya. “Rasanya ingin terus seperti ini” gumam Vanya dalam hati. Selama menikah, hubungan mereka terus naik turun. Baru juga membaik, nanti memburuk lagi. Setelah ini ia sangat berharap semua bisa berjalan seperti biasa.Hari-hari berjalan seperti biasa, meski telah tidur terpisah selama kurang lebih satu bulan. Vanya tetap menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dan istri. Ia tetap melayani suaminya. Seperti pagi ini, ia pun tak keberatan untuk mengantarkan Charles ke kantor. Setelah menempatkan Charlos pada kursi khusus anak yang terpasang di kursi belakang, mereka meninggalkan rumah dan menuju kantor Charles."Kalian mau langsung pulang atau ada tujuan lain?" tanya Charles sebelum turun dari mobil."Mampir ke tempat Mama boleh kan?"Charles mengangguk seraya membelai lembut lengan Vanya. "Kalian hati-hati ya."***Vanya berada di rumah Mama, hingga selesai jam makan siang. Seperti tahu anak dan cucunya akan datang, Mama memasak makanan kesukaan Vanya. Ia makan dengan lahap sementara Charlos diurus oleh Mama."Wuih, hebat nih cucu Oma makannya habis," ucap Mama girang sambil bertepuk tangan yang kemudian diikuti oleh Charlos. Mama kemudian membersihkan mulut Char
Rumah baru dengan satu lantai dan halaman yang cukup luas itu, penuh dengan keluarga Vanya dan juga Charles. Setelah mengucap doa dan syukur, mereka bergantian menikmati makanan yang telah tertata rapi di meja panjang. "Cuman makan sayur aja? Kamu diet," ucap Nana saat melihat piring yang dipegang Vanya. "Mau diet apa coba, Kak. Vanya sudah gini," ucap Vanya sambil melihat badannya. Gak gemuk gak kurus juga sih."Iya kamu gak usah diet-diet ya, tapi jangan juga sampe bablas," timpal Mama."Iya, Ma," sahut Vanya.Jarum jam mulai menunjuk ke pukul tiga sore, saat beberapa keluarga sudah mulai pamit pulang. Dengan didampingi Vanya, Charles mengantarkan keluarganya yang pamit pulang. Ia juga mengucapkan terimakasih kepada mereka, karena telah bersedia hadir di acara ini. Vanya dibantu Bu Sum, membereskan meja makan kemudian membawa beberapa piring dan gelas yang kotor ke dapur."Bu Vanya di depan saja, biar saya yang bereskan, Bu," ucap Bu Sum saat melihat
Sepanjang jalan Charlos yang duduk di pangkuan Erin terus berdecak kagum melihat gedung-gedung tinggi dan ramainya kendaraan di jalan raya. Rona wajahnya sama dengan cuaca pagi ini, sangat cerah. Seperti tahu ia akan berkunjung ke makam ibunya saja. Empat puluh lima menit perjalanan, mereka akhirnya tiba di pemakaman umum tempat Kirana beristirahat untuk selamanya."Mobilnya Charles," ucap Erin seraya menunjuk mobil besar dengan warna hitam yang terparkir di bawah pohon."Iya, Ma," jawab Vanya sambil menoleh."Sayang, kamu duluan ya. Biar Mama beli bunga dulu," suruh Erin. Dengan menggendong Charlos, Vanya masuk ke area pemakaman yang dipenuhi pepohonan. Ia melangkahkan kaki pasti menuju pusara Kirana, istri pertama suaminya itu."Hai sayangku yang akan selalu mengisi hatiku," sapa Charles sambil mengusap nisan bertuliskan nama istri pertamanya itu. Sapaan yang terdengar jelas di telinga Vanya. Yang akan selalu mengisi hati ku.Kalimat itu berputar
Setelah melalui segala macam pertimbangan, dengan berat hari Erin akhirnya memperbolehkan Charles, Vanya, dan juga Charlos untuk pindah ke rumah sendiri. Bukan hari ini, namun masih beberapa hari lagi. Erin sengaja mengulur waktu, karena memang ia masih berat untuk melepas mereka pergi dari rumah. Setelah dari bayi ia merawat cucu pertamanya, mulai dari hanya bisa menangis, sampai sekarang sudah terus mengoceh tak bisa diam. Ia merasa sangat kehilangan. Ditambah lagi dengan Vanya, menantu yang sangat baik dan selalu bisa membuatnya senang.Ia membantu Vanya berkemas-kemas di kamar Charles. Memasukkan baju-baju Charlos ke dalam koper dan beberapa perlengkapannya ke dalam kardus."Mama sedih lo kalian pindah dari sini," ucap Erin sambil melipat baju Charlos."Vanya sebenarnya juga sedih, Ma. Sudah kerasan di sini. Walau sekarang Vanya sudah gak kerja lagi, Vanya tetap merasa happy, gak kesepian."Punya mertua dan ipar sebaik dan seramah keluarga Cha
Dengan mengendarai mobil Sandra, Vanya melajukan mobil diatas jalan yang masih basah akibat hujan yang baru saja reda."Belakangan ini Mama lihat kamu sepertinya sedang perang dingin dengan Papanya Charlos ya?""Ah enggak kok, Ma. Perasaan Mama aja kali," elak Vanya.Meski tak segalak awal-awal waktu kejadian itu, sikap Vanya memang masih sedikit berbeda dengan Charles. Erin beberapa kali memergoki Vanya yang mengacuhkan Charles."Kamu bilang aja sama Mama kalau Charles macam-macam sama kamu ya, biar Mama yang kasih pelajaran sama dia," ucap Erin."Iya, Ma." Vanya mengiyakan ucapan Erin. Walau kenyataannya, itu tidak mungkin dilakukannya. Sebisa mungkin, ia berusaha mengatasi masalahnya sendiri.Mereka tiba di kantor Frans tepat jam makan siang bersamaan dengan datangnya Charles."Kamu bawain rantang makan di kursi belakang ya," ucap Erin pada Charles sebelum masuk ke dalam kantor."Kamu masak apa?" tanya Charles pada Vanya."Gak masak. Bu Tuti ya
Sejak kejadian di luar dugaan itu, Vanya sama sekali tak ingin melihat Charles. Sebenarnya ia ingin mencoba membujuk, meluluhkan Hati Vanya lagi, tapi ia sendiri bingung harus mulai dari mana. Karena setiap bersama dengan yang lain, Vanya bersikap seperti biasa. Ia tetap melayani Charles, tapi saat mereka berdua saja, sikap Vanya langsung berubah.Sayup-sayup terdengar suara ayam berkokok, membuat Vanya terbangun. Ia duduk di tepi ranjang sambil mengucek-ngucek matanya. Matanya melirik ke arah jam di dinding yang masih menunjukkan pukul setengah lima pagi. Saat ia ingin melangkahkan kaki, ia tersandung dan jatuh menimpa Charles.“Ngapain dia tidur di dekat sini? Biasanya dia tidur agak jauh kesana” gumam Vanya seraya ingin bangun. Namun tangannya diraih oleh Charles. Tak ada kata-kata, namun Vanya dapat merasakan suhu badan Charles tidak seperti biasanya. "Cepatlah," ucap Vanya saat Charles ogah-ogahan pindah ke atas tempat tidur.“Masih judes aja” batin Charles. Ia